Sedang Membaca
Isra Mi’raj, Histori Shalat, dan Pesan Ekologis

Alumni UIN Sunan Ampel, Pegiat IPNU dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).

Isra Mi’raj, Histori Shalat, dan Pesan Ekologis

Ibadah di Klenteng

Saban bulan Rajab, selalu mengingatkan kita sebagai masyarakat muslim tentang peristiwa Isra Mi’raj. Sebuah wisata rohani bagi Nabi Muhammad Saw bersama malaikat Jibril, perjalanan malam dari Mekkah (Masjidil Haram) ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa, Palestina), kemudian naik ke Sidratul Muntaha.

Peristiwa bersejarah ini terkonfirmasi dalam bait-bait akhir kitab Aqidatul ‘Awwam karya Syekh Ahmad Al-Marzuqi. Dikisahkan dalam nadham-nya, sewaktu mi’raj ke langit, Nabi dapat melihat Allah secara langsung. Kemudian Allah mewajibkannya shalat lima waktu, yang awalnya lima puluh waktu.

Shalat Sebelum Isra Mi’raj

Sebelum Isra Mi’raj, sebetulnya nabi dan para sahabat yang masih minoritas, sudah melaksanakan ibadah shalat. Hal ini diterangkan dalam kitab Maulid Al-Barzanji karangan Syekh Ja’far Al-Barzanji, di bab keempat belas. Sewaktu Nabi menyerukan Islam secara terang-terangan, Nabi mendapat perintah mengerjakan shalat di sebagian waktu malam.

Kemudian dihapuskan (nusikha) dengan turunnya ayat terakhir dalam Surat Al-Muzammil. Sebagaimana penggalan ayat dalam kitab maulid ini, yang berbunyi:

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ

Artinya: …maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan dirikanlah salat.. (Surat Al-Muzammil : 20)

Wahbah Az-Zuhaily dalam Tafsir Al-Munir Juz 29 menjelaskan, turunnya ayat ini menghapus kewajiban shalat malam (qiyam al-lail). Sebagaimana hadis sahih yang diriwayatkan Muslim, An-Nasai dan At-Tirmidzi.

“Dari Anas bin Malik, seseorang bertanya kepada Nabi: Apakah ada kewajiban kepadaku selain shalat lima waktu? Nabi bersabda: tidak ada, kecuali melakukannya dengan sukarela.”

Baca juga:  Anak-Anak dan Doa

Mengenai shalat sebelum mi’raj, Syekh Ja’far Al-Barzanji menerangkan lebih rinci meski hanya singkat. Bahwa setelah turunnya ayat di atas, kewajiban shalat yang awalnya dilakukan di sebagian malam, di-nasakh (diganti) dengan shalat dua rakaat di waktu pagi dan malam hari.

Kemudian dihapus kembali dengan datangnya kewajiban shalat lima waktu pada malam Isra Mi’raj.

Hal ini menunjukkan, bahwa ibadah shalat wajib sudah dijalankan sewaktu umat Islam masih menjadi kelompok minoritas, di tengah celaan dan penganiayaan yang dilancarkan para pemuka kaum Quraisy. Di mana shalat yang awalnya dilaksanakan dalam satu waktu di sebagian malam, lalu menjadi dua waktu di pagi dan malam hari. Kemudian pasca Isra Mi’raj, shalat ditentukan secara final menjadi lima waktu.

Implikasi Sosial-Ekologis

Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Islam yang Saya Anut (2021), melaksanakan shalat sebatas pada aspek lahiriahnya saja tidaklah cukup. Ia memberi catatan khusus dengan judul Shalat dan “Melaksanakan Shalat”.

Di mana perintah Allah untuk menjalankan rukun kedua ini didahului kata iqamat yang terambil dari kata aqimu. Kata ini biasa diterjemahkan “dirikanlah”, namun pada hakikatnya mengandung makna “laksanakanlah dengan sempurna”.

Mengutip Surat Al-Ma’un ayat 4 “celakalah orang-orang yang shalat”. Quraish Shihab menegaskan bahwa Allah mengancam mereka yang melaksanakan shalat tanpa iqamat. Maksudnya, mereka menjalankan shalat secara lahiriah dalam ucapan dan perbuatan saja, namun tidak menghayati substansinya.

Baca juga:  Nasib Anak-Anak dalam Konflik Palestina-Israel

Substansinya menurut ayat di atas, adalah ketulusan dan penghormatan kepada Allah, disertai dengan membantu orang yang butuh pertolongan. Bagi Quraish Shihab, dalam shalat ada akhlak terhadap Allah dan juga akhlak terhadap sesama manusia.

Implikasinya berarti menjalankan sholat dengan khusuk dan sepenuh hati, lalu disempurnakan dengan saling membantu. Enggan memberi bantuan saja sudah diancam oleh ayat di atas, apalagi kita sampai mencelakai dan menindas terhadap sesama manusia. Inilah elan sosial yang tak terpisahkan dalam ibadah sholat, bagai dua sisi mata uang, antara ibadah ritual dan ibadah sosial.

Dalam ritual ibadah, manusia ternyata tak sendirian. Menurut Syekh Ali Jum’ah dalam kitabnya al-Bi’ah (2009), semua mahluk ciptaan Tuhan, seperti hewan, tumbuhan, gunung, sungai, laut, serta semua yang ada di bumi dan alam raya ini, sama-sama beribadah kepada Sang Pencipta.

Dalam bab relasi manusia dengan alam raya (‘Alaqah al-Insan bi al-Kawn) diuraikan, ketika kita menyembah Allah, menjalin cinta kasih kepada Allah. Sudah selayaknya pula kita menjalin kasih sayang dengan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan, yakni alam raya ini.

Maka dalam perintah shalat yang iqamat, yang benar-benar dilaksanakan dengan sempurna, punya implikasi pada hubungan triadik. Di mana manusia bersama alam raya bebarengan menyembah Tuhan, beriringan pula manusia menjalin relasi dialektik dengan alam, yang saling membutuhkan dalam tatanan ekosistem yang lestari.

Baca juga:  Kliping Keagamaan (11): Panji Masjarakat, Agama, dan Bahasa

Dalam konteks dewasa ini, maraknya bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran dan kekeringan adalah alarm dari alam. Menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan lingkungannya sedang tidak harmonis. Peringatan ini terutama bagi elit bisnis, yang suka mengeruk gunung secara berlebihan, juga membabat habis hutan untuk perkebunan.

Termasuk bagi elit penguasa, seperti wacana sang presiden, yang ingin meluaskan konsesi sawit, yang cenderung mengabaikan dampak ekologis.

Selain mengingatkan penguasa dan para pebisnis, juga penting bagi kita, untuk mulai menjalin hubungan yang harmonis (ishlah) kembali dengan alam. Misalnya menanam pohon di sekitar rumah ataupun lahan kritis di hutan, tak membuang sampah di sungai atau selokan, mengurangi penggunaan plastik, dan aktivitas-aktivitas ekologis lainnya.

Lebih-lebih dapat dilakukan secara kolektif bersama organisasi, komunitas, ataupun bersama masyarakat secara umum. Misalnya saja, setiap kumpulan, hajatan, ataupun kegiatan keagamaan, termasuk dalam perayaan Isra Mi’raj. Menjadi kegiatan yang harmoni dengan alam.

Di mana suguhan konsumsi dan berkatnya menggunakan dedaunan dan bahan alam lainnya, sehingga tidak menimbulkan sampah plastik. Adalah langkah kecil namun akan berdampak besar bagi kesadaran ekologis umat Islam di masa kemudian. Semoga!

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top