Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an (LPMQ) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menggelar Ijtima’ Ulama Alqur’an tingkat Nasional di Bandung, mulai hari ini, 8 Juli hingga 10 Juli 2019. Agendanya adalah “Uji Sahih Terjemah Alqur’an Edisi Penyempurnaan”. Ini penting sekali. Mengapa?
Karena, di forum ini akan lahir membidani lahirnya terjemah Alquran resmi berbahasa Indonesia edisi penyempurnaan terkini, menyempurnakan edisi 2002. Terjemah Alquran inilah bisa dijadikan pegangan bagi umat Islam khususnya dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya ke depan.
Sebelumnya, perlu ditegaskan di awal bahwa kegiatan penerjemahan merupakan bagian penting interaksi budaya selama berabad-abad hingga sekarang. Meskipun begitu, penerjemahan selalu menjadi isu problematis dan kontroversial sepanjang sejarah. Penerjemahan menjadi semacam paradoks. Penerjemahan memang perlu, namun menerjemahkan dengan benar terkadang hampir tidak mungkin.
Distorsi dan kehilangan maknanya (distortion and loss of meaning) dalam penerjemahan merupakan potensi besar, mengingat setiap teks atau bahasa sangat terikat dengan kompleksitas linguistik dan konteks budayanya.
Namun penerjemahan harus tetap dilakukan, karena memang manusia harus melakukannya untuk mencari informasi, ajaran-ajaran atau nilai-nilai moral dan estetika dari budaya lain.
Penerjemahan menemukan problemnya ketika teks yang diterjemahkan adalah teks-teks keagamaan, seperti kitab suci. Pemeluk agama yang memiliki kitab suci menyakini misi penyebaran firman Tuhan. Namun mereka menghadapi kebingungan. Kata-kata di dalam kitab bersifat suci (holy) dan tidak mungkin menggantikannya.
Sedangkan penerjemahan itu tidak hanya sekadar mengganti makna-kata dari satu bahasa ke makna-kata bahasa lainnya, tetapi juga melakukan rekonstruksi struktural di mana makna-kata tersebut melekat. Di dalam teks-teks suci, struktur, bentuk, gaya teks tersebutpun akan dinilai suci. Sehingga menggantikan bentuk, gaya, struktur teks kitab suci beresiko mendapatkan kritik bahkan hujatan. Dari sini, rasanya, sebuah terjemahan memiliki sifat tidak akan pernah memuaskan, namun perjalanan untuk menyempurnakan harus terus dilakukan.
Ali Al-Halawani (2016) pernah menuliskan: the quest for a “perfect” rendition of the divine text seems endless (perjalanan menuju penerjemahan teks ilahi yang “sempurna” tampaknya tidak akan pernah berakhir).
Oleh sebab itu, jika muncul kritik atau bahkan hujatan atas penyempurnaan terjemah tahun ini, anggap saja itu sudah biasa, dan semestinya begitu. Penyempurnaan memang harus dilakukan secara berkala, berbanding lurus dengan perkembangan pemahaman manusia terhadap kitab suci. Oleh sebab itu, usaha Kementerian Agama RI untuk menyempurnakan Al-Qur’an dan Terjemahnya perlu mendapatkan apresiasi.
Edisi Jamunu
Perlu diketahui bersama bahwa Al-Qur’an dan Terjemahnya (selanjutnya disingkat menjadi QT) Kementerian Agama RI kali pertama diterbitkan secara bertahap dalam rentang waktu kurang lebih empat tahun (1965-1969 terdiri dari tiga jilid).
Terbitan pertama tersebut sering disebut “Edisi Jamunu”. Kemudian Edisi Jamunu disempurnakan pada 1971-1974 (pihak Kementerian Agama lebih sering menggunakan kata Penyempurnaan daripada Revisi). Saat itu A. Mukti Ali menjadi Menteri Agama. Oleh sebab itu, penyempurnaan pada 1971-1974 ini disebut edisi Mukti Ali. Penyempurnaanya lebih bersifat formal, tidak substansial, meliputi ejaan (dari ejaan Republik atau Soewandi menjadi Ejaan Yang Disempurnakan/EYD) dan ukuran (dari 16 x 24 cm menjadi 11 x 17 cm, lebih handy, dalam satu jilid). Meskipun ada juga beberapa penyempurnaan substansial, tapi tidak banyak, seperti kata ulil amri pada QS. An-Nisa [4]:59 di edisi Jamunu diterjemahkan orang-orang jang memegang kekuasaan, sedangkan di edisi Mukti Ali, kata tersebut tidak diterjemahkan. Mengapa tidak diterjemahkan?
Tampaknya edisi Mukti Ali membiarkan pembaca untuk menafsirkannya sendiri.
QT edisi penyempurnaan 1971-1974 ini di kemudian hari juga menuai kritik: terlalu letterlijk (M. Mansyur, 1998). Lama tidak diperhatikan, akhirnya QT disempurnakan lagi pada rentan tahun 1989-1990. Penyempurnaannya disebut-sebut ‘bersifat agak luas’ (dibandingkan sebelumnya edisi 1971-1974).
Beberapa hari yang lalu, saya berhasil berbincang-bincang dengan salah satu panitia dan juga peserta Penyempurnaan Edisi 1990, yakni KH. Mazmur Sya’rani. Beliau menceritakan latar belakang penyempurnaan edisi 1990 dilakukan. Ada dua alasan penting.
Pertama, adanya tawaran pemerintah Saudi Arabia untuk mencetak Alquran terjemahan bahasa Indonesia untuk dibagi-bagikan kepada para Jaamaah Haji di Saudi Arabia saat itu dan juga dikirim ke Indonesia. Sehingga edisi ini sering disebut edisi Saudi.
Kedua, gaya bahasa yang digunakan dalam QT edisi awal dirasa sudah terlalu kuno alias ketinggalan zaman. (Kalau dalam terjemah Alquran dalam bahasa Inggris, mungkin bisa disebut archaic, hee…he…). Bahkan banyak diwarnai oleh bahasa Melayu dan Minang. Sebab para penerjemah edisi awal didominasi oleh ulama-ulama dari Sumatra, terutama Sumatra Barat, seperti Prof. H. Bustami Abdul Gani dan Prof. Mochtar Jahja.
Salah satu contohnya adalah kata shibghin lil akilin dalam QS. Al-Mu’minun [23]:20. Di edisi awal, frase tersebut diterjemahkan pemakan makanan. Istilah ini akan terasa aneh bagi pengguna bahasa Indonesia pada umumnya. Dalam tradisi Minang, menurut KH. Mazmur Sya’rani, pemakan makanan itu ya seperti lauk pauknya makanan. Oleh sebab itulah, dilakukanlah penyempurnaan lagi sepanjang tahun 1989-1990.
Edisi Saudi ini pun juga menuai kritik: pleonase, tidak sesuai gramatika bahasa Indonesia, dan sebagainya (Ismail Lubis, 2001), patriarchal, bias ideologi negara (Moch. Nur Ichwan, 2009).
Dengan banyaknya masukan dan kritik, akhirnya QT disempurnakan lagi paska Reformasi, dari 1998-2002. Banyak perubahan pada penyempurnaan 2002. Di antaranya pengurangan footnote, pemberian keterangan dalam tanda kurung (brecket), padanan diksi dalam bahasa Indonesia, dan konsistensi.
Menurut KH. Mazmur Sya’rani, mengurangan footnote ini sengaja dilakukan agar para pembaca merujuk pada Tafsir al-Qur’an Kementerian Agama. Karena saat itu berbareng juga diluncurkannya Tafsir Al-Qur’an garapan Kementerian Agama.
Yang menarik dari edisi penyempurnaan 2002—sejauh amatan penulis—salah satu contohnya adalah sudah mulai ada gejala sensitif terhadap perempuan. Misalnya, hampir seluruh kata wanita di edisi 1989/1990 dirubah menjadi perempuan. Pasalnya, dalam etimologi bahasa Jawa, wanita artinya ‘wani ditoto’, (berani diatur/mau didekte, tidak bebas). Sedangkan perempuan berasal dari kata dasar empu, artinya ‘tuan’ atau ‘orang yang memiliki/mahir/berkuasa.’
Pada QS. An-Nisa [4]:34, fase ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa awalnya diterjemahkan kaum laki-laki adalah pemimpin perempuan. Kemudian disempurnakan menjadi laki-laki (suami) adalah pelindung perempuan (isteri). Sehingga ayat ini tidak melarang perempuan menjadi pemimpin melainkan sebaliknya membuka peluang. Contoh-contoh terjemah yang sensitif perempuan banyak ditemukan di QT 2002. Mudah-mudahan sensitivitas ini terus beranjut pada penyempurnaan tahun ini, terutama pada ayat-ayat yang sensitif gender seperti di QS. An-Nisa [4]: 34 pada frase wadhribuuhunna. Terjemahan bahasa Indonesianya masih “(kalau perlu) pukullah istri-istrimu.”
Meskipun ada progresivitas dalam penerjemahan, QT 2002 masih juga mendapatkan kritik. Di antara kritik itu diluncurkan oleh Ustaz Muhammad Talib (2012) dan Prof. Dr. Nasruddin Baidan (2016). Atas kritik dan masukan tersebut, QT disempurnakan lagi untuk ketiga kalinya, yang dimulai sejak tahun 2016 hingga sekarang.
Seiring berubahnya zaman, ruang sensitif tersebut pun perlu diperluas lagi. Misalnya ruang sensitif atas ayat-ayat saintifik. Generasi milenial mungkin sangat butuh penjelasan ringkas dan memantik riset atas ayat-ayat tersebut.
Di Indonesia, M. Quraish Shihab dalam al-Qur’an dan Maknanya (2010) sudah memulainya. Kata khardal dalam QS. Al-Anbiya [21]47 diterjemahkan biji moster. Pak Quraish menambahkan penjelasan saintifik biji moster di dalam footnote. Banyak catatan kaki dalam terjemahnya yang mengintordusir gagasan saintifik.
Belum lagi ayat-ayat yang multi-tafsir seperti: ayat-ayat teologi (free will dan predestination), ayat-ayat terkait dengan agama-agama lain, tentu harus diterjemahkan dalam kerangka menghadirkan Islam yang ramah dan moderat (rahmatan lil a’alamin). Harapannya, edisi penyempurnaan yang sudah dilaksanakan sejak 2016 hingga tahun ini, selain intelligible (dapat dimengerti) dan comprehensible (dapat dipahami).
Dan yang paling penting dalam proses penyempurnaan terjemah Alquran ini adalah menjawab pernyataan yang pernah diajukan oleh Tarif Khalidi (Penerjemah Alquran ke dalam bahasa Inggris): Does a new translation bring a new insight? Kita berharap penyempurnaan terjemah Alquran yang sedang berlangsung ini membawa sebuah pandangan baru.