Perjumpaan dengan kekasih adalah impian para pencinta (lover), tapi bagaimana jika pertemuan itu harus diawali dengan kematian?
Banyaknya narasi tentang kematian yang bermatra kesedihan, kehilangan dan air mata menjadikan kematian sebagai peristiwa yang menyedihkan dan menakutkan. Akan tetapi, membaca narasi kematian dalam kidung cinta para sufi adalah hal yang berbeda. Rumi, misalnya, menggambarkan kematian sebagai jalan untuk menuju cinta yang abadi “eternal love” serta menghantarkan cinta “hubb” dan kerinduan yang mendalam “Isq” pada sang kekasih.
Menjadikan Tuhan sebagai kekasih dan mentamsilkan kematian sebagai jalan pertemuan tentu bukan perjalanan yang mudah, ada banyak tahap yang perlu dilalui; dari tahapan syaria’a, dan tariqa menuju tahapan ma’rifa. Cinta dan perjalanan-perjalanan spiritualitas (suluk) inilah yang telah mengantarkan para sufi menuju tahapan makrifat (maqam ma’rifah) dan pada saatnya mengantarkan pada konsepsi bahwa kematian adalah hal peristiwa membebaskan nan dinantikan.
Pada tahapan ma’rifa cinta memegang kunci utama untuk menembus batasan-batasan indrawi yang terikat ruang dan waktu serta meninggalkan cinta fisik yang fana. Hal ini pula seperti yang dikatakan Ghazali bahwa jalan menuju makrifat adalah cinta (mahabbah) (Schimmel, 1975:130).
Maulana Rumi bernama asli Jalaluddin Muhammad. Pemberian gelar Maulana (master sufi yang agung) adalah bentuk rekognisi akan magnum opus-nya dalam kesufian, sementara Ar-Rumi (Persia) Al-Balkhi (Balkh) adalah untuk mengingat asal usulnya.
Ayahnya, Muhammad ibn Husayn Khatibi yang cukup dikenal dengan sebutan Bahauddin Walad atau Sultan al-‘ulama’. Menurut Nashr, Rumi juga mewarisi tradisi spiritual yang terhubung pada Najmuddin al-Kubra, pendiri Kubrawiyah pada dinasti Timurid (1993:20). Dari silisilah ini menunjukan bahwa Rumi lahir dari keluarga bangsawan Persia yang mapan baik dalam kedudukan social, keilmuan maupun keagamaan.
Kidung Kematian Rumi
“When I die, / ketika aku mati
when my coffin / ketika peti matiku
is being taken out / dibawa
you must never think / jangan pernah kamu berpikirI am missing this world. / bahwa aku rindu dunia ini
Don’t shed any tears, / jangan mengucurkan air mata
don’t lament or / jangan meratap
feel sorry / atau merasa sedih
I’m not falling / aku tidak jatuh
into a monster’s abyss. / pada jurang yang menakutkan
When you see / ketika kau melihat
my corpse is being carried/ jasadku dibawa
don’t cry for my leaving / jangan menangis untuk kepergiankuI’m not leaving / aku tidak pergi
I’m arriving at eternal love/ aku datang pada cinta yang abadi
When you leave me / ketika kau meninggalkanku
in the grave / di kuburan
don’t say goodbye. / jangan mengucap selamat tinggal
Remember a grave is / ingatlah, kuburan
only a curtain / hanyalah sebuah tirai
for the paradise behind./ untuk surga yang akan datang
You’ll only see me / kau hanya akan melihatku
descending into a grave/ masuk ke dalam kuburan
Now watch me rise / sekarang lihatlah aku yang bangkit
how can there be an end / bagaimana disana sebagai akhir
when the sun sets or / ketika matahari tengelam
the moon goes down/ dan rembulan ketilam
It looks like the end / ini terlihat seperti akhir
it seems like a sunset / terlihat seperti senja
but in reality it is a dawn / tapi dalam realitanya, ini adalah fajar
when the grave locks you up / ketika kuburan menguncimu
that is when your soul is freed / itu adalah waktu ketika jiwamu terbebaskan.
Sepenggal kidung yang membungkam, menceritakan kematian bukan dari sisi gelap yang menakutkan dan menyengsarakan, tetapi membahagiakan dan membebaskan. Tentu saja Rumi menghargai kehidupan, menyukai anggur dan makanan, akan tetapi cinta yang besar telah menghilangkan semua ketakutan-ketakutan imajiner akan kematian.
Membaca kidung kematian Rumi yang penuh cinta mengingatkan kembali kepada kita akan makna dan hakikat kehidupan. Bahwa kehidupan di dunia hanyalah bagian kecil dari perjalanan panjang menuju keabadian, kematian terlihat seperti akhir , tapi sesungguhnya itu adalah permulaan yang baru. Wallahu a’lam.