Di Darut Taubah, santri-santri tidak dipungut biaya sepeser pun. Bahkan makan dan minum ditanggung pesantren. Ajengan Sonhaji sudah menyediakan sawah wakaf untuk makan mereka. Kang Mamad tinggal mengelola dan menyedikan lauknya saja.
Kang Mamad yakin dengan menerima pemberian dari mereka adalah sebagian dakwah dengan baik. Memanusiakan mereka. Jika tidak diterima, tentu mercederai niat baik mereka.
Ia juga tidak yakin dengan dakwah menggunakan kekerasan sebagai solusi. Malah bisa menimmbulkan masalah. “Kalau dengan kekerasan akan semakin semrawut,” tegasnya.
Itu bukan omong kosong, tapi berdasar pengalaman. Darut Taubah pernah mengundang mubaligh “keras” dalam pengajian peringatan hari besar Islam. Besoknya diprotes masyarakat. Kemudian ia tak lagi mengundang mubaligh berkarakter seperti itu. Mau tidak mau mereka juga memiliki perasaan. Mereka punya hati. Sebagaimana diungkapkan Asep Belek, ia sendiri sebenarnya tidak melakukan itu, tapi ia terjebak pada keadaan apa boleh buat.
Kini santri Darut Taubah bisa memukul rebana dengan keras. Azan setiap waktu disambungkan melalui pengeras suara. “Kalau sekarang, setiap waktu pengajian bebas. Azan Subuh melalui speaker pun bebas. Sebelumnya ada protes warga, ada yang langsung telepon,” terangnya.
Dengan apa yang dilakukannya, ia tidak berharap muluk, sebab yang mengubah jalan hidup tidak ada jalan lain selain mereka sendiri dan hidayah Allah. Kang Mamad hanya ingin memotong generasi, mengurus anak-anaknya supaya tidak mengikuti orang tuanya yang sudah terlanjur masuk dalam dunia mucikari dan calo.
Ia berpendapat, perubahan untuk Saritem bisa dengan cara menyiapkan pekerjaan yang jelas. Pemerintah tidak boleh menutupnya tanpa memikirkan hal itu. Karena pendekatan menutup tanpa solusi sebagaimana yang terjadi tahun 2007 sudah terbukti gagal.
Mereka bukan tidak mengerti agama, halal dan haram -beberapa diantara mucikari pun seorang haji- tapi karena memang sudah mengakar dalam kebiasaan mereka.
Di lain pihak, Kang Mamad juga menjaga santri-santri yang berasal dari luar daerah, supaya tidak terpangaruh kehidupan Saritem.
Ia menggunakan jargon, jangan melawan arus, tidak terbawa arus dan menyikapi dengan cerdas takdir yang sedang berjalan. Ia mencontohkan ikan di laut. Meski hidup di tempat asin, tubuhnya tidak lantas menjadi asin. Apa yang dilakukan Kang Mamad, diamini pengasuh pesantren Darut Taubah yang lebih muda, Kang Ubed.
Menurutnya, Kang Mamad melakukan dakwah dengan lemah lembut. Lebih banyak dakwah dengan perbuatan. Tujuannya memutus kebiasaan generasi tua dengan melahirkan generasi baru dengan pendidikan agama dengan model pesantren salaf, yang mengajarkan santri-santri tentang akhlak melalui tasawuf, disamping ilmu nahwu, saraf, fikih, hadis.
Kini jumlah santri Darut Taubah yang menetap sekitar 90 putra dan putri. Sementara anak-anak Saritem sendiri, karena dekat dengan rumah, mereka menjadi santri kalong.
Berbagi peran
Kang Mamad tidak berjalan sendirian. Ada Kang Ubed yang memiliki peran berbeda, tapi sangat menentukan. Kang Ubed adalah adik iparnya yang sebetulnya masih kerabat. Ia datang beberapa bulan setelah Kang Mamad dipercaya memimpin Darut Taubah.
Kang Ubed santri lulusan Kempek, Cirebon, Jawa Barat dan Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Ketika hendak pulang dari pondok, ia disuruh langsung menemui Ajengan Sonhaji. Ternyata ajengan itu memintanya untuk membantu di Darut Taubah.
Setelah beberapa bulan mengamati keadaan di Saritem, Kang Ubed menyimpulkan dia lebih banyak bergaul lebih dalam dengan orang-orang sekitar. Melihat orang bermain bulu tangkis, ia membawa raket. Mulanya mereka aneh, dan menyindir apa kedatangannya untuk menyuruh shalat. “Tidak, saya warga, situ juga warga, sama-sama harus mengenal,” katanya.
Ia juga masuk tempat-tempat biliar. Dalam bidang ini, ia punya sendiri. Sekali waktu pernah bertanding sama tokoh Saritem. Ia mampu mengalahkannya berkali-kali. Tokoh itu sampai menantangnya berkali-kali dan tetap saja kalah. Dari pergaulannya, ia semakin akrab dengan warga.
Pada titik itu ia memainkan peran sebagai agen mempertemukan kedua belah pihak, Darut Taubah dan Saritem. Ia mengajak warga ke pesantren untuk nongkrong saja di beranda. Sebaliknya, ia juga mengajak Kang Mamad untuk ke lapangan bulu tangkis.
Dalam pertemuan itu sama sekali tak pernah ngomongin ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi. Ngobrol saja ngalor-ngidul. Tapi kadang-kadang muncul dari mereka pertanyaan apa itu haidl, bagaimana wudlu yang sesuai tuntunan, sembayang yang memenuhi rukun hingga zakat yang sesuai aturan. (Baca tulisan bagian kedua)
(Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh Kementerian Agama dalam buku berjudul Mengabdi Tanpa Pamri, 2015)