Pengalaman merasakan masakan Taiwan selama sepekan ternyata rentan ketagihan. Namun, tenang, masakan dengan campuran bumbu yang seiras banyak dijumpai di restoran-restoran di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lain di Indonesia. Satu hal yang ditekankan dalam pengalaman makan itu, semua masakannya halalan thoyyiban, halal dan enak.
Dalam halal tourism atau wisata halal (meliputi halal hotel, halal destination, halal food, halal cosmetic, hingga halal honeymoon), halal yang paling halal memang urusan makanan. Sebab, halal-haram dalam makanan dirasa lebih jelas batasannya. Paling gampangnya, tidak daging babi dan tidak minuman beralkohol.
Urusan halal lingkungan masih bisa kompromistis. Misalnya, hotel tidak menyediakan keran air mengucur untuk berwudu, tidak jadi soal. Wudu bisa di wastafel, kaki bisa diangkat. Contoh lain, tidak ada keran air untuk cebok padahal kita tidak yakin bersih dengan hanya memakai tisu. Ada solusi, kita masih bisa membawa botol air saat masuk bilik toilet.
Contoh satu lagi, tidak ada penanda arah kiblat di hotel dan tempat-tempat wisata. Gampang, pakai aplikasi. Mau contoh agak ekstrim? Banyak perempuan mengenakan bikini di pantai, banyak laki-laki memperlihatkan perut seksi berbuku-buku. Mana tahan. Tidak adakah pantai khusus muslim? Gampang, tinggal merem sambil goler-goleran.
Nah, khusus untuk makanan halal, memang harus dicari sewaktu berwisata ke negara-negara dengan muslim minoritas. Untuk itulah banyak negara menggalakkan kuliner halal, termasuk di Taiwan yang sangat giat dalam tiga tahun terakhir. Terlebih, kuliner adalah andalan di semua destinasi wisata karena mampu menyedot mata uang. Sudah lumrah jika orang ingin makan enak saat melancong, kecuali kepepet makan mi instan bekal dari rumah.
Halal Sejak di Pesawat
Makanan halal pertama dalam pelancongan ke Taiwan, 22-28 Juli 2019 saya jumpai di pesawat China Airlines, karena kami memang memesan menu halal di pesawat. Label MOML (moslem meal) ditempel di tiap wadah makanan. Pelayanan yang sama juga diberikan untuk vegetarian, dengan label VGML (vegan meal). Inilah sebentuk penghormatan atas hak pilihan makan orang.
“Moslem?” tanya mas pramugara. “Yes,” jawab saya.
“What would you like to drink?”
“May I have white wine?”
“Excuse me, you chose moslem meal, right?”
“Oh yes…yes…, orange juice, please”
Bahkan mas pramugara itu berkenan meralat.
Saya lantas melirik ke kursi sebelah yang dibatasi gang. Ia rupanya memilih makanan vegan. Di sebelahnya, menu pasta. Saya sendiri dapat nasi dengan ayam kari. Wah, padahal saya ingin menu pasta. Namun karena sejak awal Biro Wisata Taiwan (TTB) telah meminta menu halal untuk rombongan kami, saya memutuskan untuk mengikuti pilihan mereka.
Masakan Thailand di Taipei
Sesampai di Taipei, acara makan malam sudah menyambut, dan kami dipilihkan menu masakan Thailand milik Yunus Ma, yang meminta disapa dengan Haji Yunus. Restoran milik Haji Yunus ini rupanya sudah dikenal oleh banyak orang Indonesia dan kerap menjadi “jujukan” (tempat yang langsung dituju) wisatwan muslim karena letaknya yang strategis di Taipei.
Haji Yunus memajang foto-foto para pesohor Tanah Air yang pernah datang ke restorannya, di antaranya Wapres Ma’Ruf Amin, ulama A Mustofa Bisri atau Gus Mus, dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar. Cara marketing seperti ini juga lazim di Indonesia sebagai semacam bukti kepopuleran warungnya, selain juga sebagai bahan cerita demi menghangatkan suasana.
Haji Yunus yang parasnya sekilas mirip Triawan Munaf itu menyambut kami dengan senyum lebar. Ia langsung meminta kami duduk karena semua masakan telah matang dan tinggal ditata di meja putar. Tidak ada pad thai kesukaan saya, tapi ada sup tom yam, ayam dan daging sapi pedas manis, daging sapi rebung, telur dadar, dan ikan bumbu lemon. Bumbunya memang khas Thailand dengan rasa sengir daun ketumbar dan rasa khas serai, yang katanya cocok untuk lidah orang Taiwan.
Di sela-sela makan, Haji Yunus menceritakan restoran yang dibangunnya sejak 20 tahun yang lalu dan ia duga menjadi satu di antara beberapa restoran halal tertua di Taiwan. Niat membuka restoran muncul karena pengalamannya sendiri sebagai muslim yang sulit mencari warung halal, ditambah usulan beberapa temannya dari Amerika Serikat dan Jepang yang juga repot ketika hendak makan di Taiwan. Jadilah Yunus Halal Restaurant di Jalan Pei Ning Taipei.
Mengapa masakah Thailand? Karena orang Taiwan suka. “Orang Taiwan kalau berwisata itu memilih Thailand di urutan pertama, karena suka dengan rasanya. Campuran rasa manis, pedas, asin, dan asamnya itu pas. Berbeda dengan makanan dari Indonesia yang sebagian dominan manis, sebagian dominan asin. Orang Taiwan kalau bicara makanan luar negeri, yang diingat Thai food, bukan Indonesia atau Timur Tengah,” kata Yunus, yang restorannya juga kerap dikunjungi warga nonmuslim Taiwan.
Thailand memang pintar. Menurut data dari Departemen Promosi Perdagangan Internasional (DITP), Thailand mengekspor 35,7 miliar dollar makanan pada tahun 2018. Terdapat sekitar 5.000 perusahaan di Thailand yang berkecimpung dalam industri halal serta menghasilkan lebih dari 150.000 produk dan layanan halal. Produk halal Thailand merasuk dengan mulus ke pasar muslim.
Saya pun cocok dengan masakan Thailand, dan langsung melahap sup tom yam tanpa basa-basi. Enak, segar. Meski, jujur, lidah saya lebih mantap dengan warung Thailand langganan di Indonesia. Satu menu yang unik di warung Yunus ini adalah tumis rebung dengan bau khas “amis” rebung yang hampir hilang. Rebung asli Taiwan itu dicampur dengan irisan daging sapi dan ramuan bumbu Thailand, yang ternyata menghasilkan rasa istimewa. Kalau boleh menilai, menu terbaik malam itu adalah masakan rebung dan ikan bumbu lemon.