Sedang Membaca
Konsep Ukhuwah Islamiah ala Kiai Ali Ma’shum
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Konsep Ukhuwah Islamiah ala Kiai Ali Ma’shum

KH. Ali Ma'shum dan Buku Tentang nya Karya A. Zuhdi Muhdor (Sumber Foto: Tempo)

Baru – baru ini penulis menemukan buku lawas yang memuat autobiografi KH. Ali Ma’shum dengan judul “KH. Ali Ma’shum, Perjuangan dan Pemikiran – Pemikirannya”. Buku tersebut ditulis menjelang Muktamar NU ke – 28 di Ponpes Al-Munawwir Krapyak bulan November tahun 1989. Selain memuat kehidupan Kiai Ali, buku ini juga memuat beberapa gagasan beliau tentang ukhuwah Islamiah ditengah khilafiah (perbedaan pendapat) antar kelompok Islam di tanah air Indonesia.

Karya Ahmad Zuhdi Muhdor ini disebut autobiografi karena posisi Kiai Ali Ma’shum kala itu masih sugeng dan seusai kewafatan beliau, biografi ini disempurnakan dalam sebuah buku lain karya Ahmad Athoillah dengan judul “KH. Ali Maksum: Ulama’, Pesantren, dan NU” yang diterbitkan di tahun 2019 oleh LKiS.

Kembali ke konsep ukhuwah Islamiah gagasan Kiai Ali Ma’shum, buku ini dalam bab keempatnya merekam sebuah peristiwa dimana beberapa tokoh ormas Islam dikumpulkan dalam forum ukhuwah yang diselenggrakan oleh Panitia Penyambutan Abad XV Hijriah pada tanggal 11 Desember 1980 di Gedung PDHI (Persaudaraan Djama’ah Hadji Indonesia), Sasonoworo, yang lokasinya tak jauh dari alun – alun utara kota Yogyakarta.

Forum tersebut dihadiri oleh 60 tokoh ormas Islam baik dari golongan tua dan muda. Dari NU sendiri, selain dihadiri oleh Kiai Ali, hadir pula Prof. Dr. Tholchah Mansur, H.  Saiful Mujab (Ketua Tanfidziyah PWNU Yogyakarta kala itu), dan Drs. Aliy As’ad (perwakilan angkatan muda NU).

Baca juga:  Tradisi Kiai “Ngepek Mantu” Santri Kinasih

Pada kesempatan tersebut keenam tokoh diberi kesempatan untuk berbicara di depan publik, antara lain: Dr. EZ. Muttaqin (Rektor UNISBA dan perwakilan tokoh Muhammadiyah), Prof. Dr. Tholchah Mansur (dari NU), Drs. Dzaman Al – Kindi (Tokoh PP Muhammadiyah), Dzulkifli Halim (Pimpinan HMI Cabang Yogyakarta saat itu), dan sebagai epilog, KH. Ali Ma’shum (NU) dan KH. AR Fakhruddin (Muhammadiyah) sebagai pembicara akhir.

Awalnya acara ini berlangsung dengan dramatis, EZ. Muttaqin yang menawarkan gagasan bahwa MUI sebagai wadah yang harusnya dimanfaatkan sebagai persatuan umat Islam di Indonesia mendapat kritikan dari Dzaman Al-Kindi. Menurut Dzaman, MUI bukan merupakan wadah aspirasi umat Islam di Indonesia melainkan sebuah wadah bentukan sistem politik dari Orba. Untuk menengahi adu gagasan tersebut, maka Prof. Dr. Tholchah Mansur dalam orasinya menengahi bahwa kurang tepat rasanya jika MUI dikatakan wadah pemersatu umat, namun MUI sejatinya adalah organisasinya para Ulama’ dan Kiai yang tidak memiliki massa.

Ketika tiba saatnya Kiai Ali Ma’shum diberi kesempatan berbicara, beliau menyampaikan bahwa ummat Islam adalah satu dan semuanya berpegang teguh pada Al – Qur’an dan Sunnah Nabi. Hanya karena terjadi perbedaan dalam memahami tasfsiran dua sumber pokok tersebut, maka terjadilah perbedaan pendapat ulama’. Dalam forum tersebut, Kiai Ali mengingatkan bahwa ummat Islam di Indonesia sebelum tahun 1912 semuanya manunggal. Baru setelah adanya gerakan pembaharuan terhadap Islam mulai lah terjadi perpecahan disana – sini. Untuk menciptakan persatuan umat Islam sebelum tahun 1912, Kiai Ali memaparkan keempat konsep ukhuwah Islamiah sebagaimana berikut,

  • Pertama, ummat Islam tidak perlu memperuncing lagi masalah khilafiah (perbedaan pendapat). Seperti antara tarawih 20 rakaat dan 8 rakaat atau antara takbir eid 2 kali dan 3 kali. Keterangan – keterangan keagamaan yang bersifat sepihak agar segera diakhiri karena keterangan sepihak tersebut memberi kesan bahwa hanya pihaknya saja yang mengikuti ajaran dari Al – Qur’an dan Hadits dianggap benar, sementara lainnya tidak. Semestinya keterangan keagamaan tersebut dijawab secara objektif, bijaksana, dan ilmiah.
  • Kedua, ummat Islam terutama tokoh-tokohnya hendaknya meninggalkan perbuatan atau ucapan yang menyinggung perasaan umat Islam secara luas.
  • Ketiga, tiap kelompok-kelompok umat Islam agar berjiwa besar, yakni sanggup mengakui kebenaran pihak lain, menghormati pendapatnya, dan memperlakukan sebagaimana mestinya.
  • Keempat, guna memperluas cakrawala ilmiah, Kiai Ali mengajak kepada segenap elemen umat Islam untuk mempelajari kembali “Kutub al – Madzahib (Kitab para Imam Madzhab)”, baik yang lama maupun yang baru dan kitab yang nampaknya bertentangan satu sama lainnya. Disini Kiai Ali mencontohkan sebuah refrensi kitab “Kasyf al – Irtiyab fii Raddi ‘alaa Muhammad bin Abdul Wahab, Al – Laa Madzhabiyah Akhtaru Bid’ati karya Syekh Buthi, An – Nahdlatul Islahiyyah, Ghausul ‘Ibad,dsb” yang mana kitab – kitab tersebut hendaknya dijadikan refrensi pembanding, agar nalar kritis ummat Islam semakin terasah seperti Hujjatul Islam Imam Ghozali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim al – Jauziyah.[1]
Baca juga:  Bahaya Kadrunisasi

Lebih lanjut, Kiai Ali mengemukakan bahwa beliau melihat masalah khilafiyah merupakan faktor dominan perpecahan ummat Islam, maka diperlukan adanya forum keberlanjutan yang bersifat diniyah ilmiyah yang dalam forum tersebut, semua topik di – munadharah – kan menurut tinjauan syari’at berdasarkan al – Qur’an dan al – Hadits.

Konsep dan ajakan Kiai Ali Ma’shum tersebut akhirnya mendapat respon luar biasa dari masyarakat Islam, khususnya yang berdomisili di Yogyakarta. Bahkan seusai acara tersebut, beberapa delegasi dari HMI menemui Kiai Ali guna meminta agar gagasan itu benar – benar diterapkan. Akhirnya konsep ukhuwah Islamiah tersebut digodok lagi bersama KH. Achmad Shiddiq pada Munas Alim Ulama’ NU di Cilacap pada tahun 1987 sehingga menghasilkan trilogi ukhuwah berupa, ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah basyariyah (persaudaraan sebagai sesama manusia), dan ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sesama warga negara).

Wabad’du, kesemua konsep tersebut pada akhirnya bermuara menjadi sebuah konsep “Moderasi Beragama” yang kini sering disosialisasikan dan digaungkan oleh Kementrian Agama.

[1] Disarikan dari Majalah Bangkit No. X, Tahun 01, Shafar 1401 / Desember 1980, (Majalah Dirasah Ilmiyah Diniyah terbitan PWNU DIY).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
5
Ingin Tahu
5
Senang
5
Terhibur
5
Terinspirasi
5
Terkejut
5
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top