Sekitar seratus limapuluh tahun sebelum Nabi Muhammad lahir, puisi telah menempati posisi tertinggi di hati orang Arab. Tidak hanya itu, ketika dunia masih meraba-raba dalam keremangan ilmu pengetahuan, Arab sudah berjibaku dengan puisi dan mengenal ilmu tata bahasa (linguistik).
Di antara fenomena tingginya penghargaan bangsa Arab terhadap para penyair adalah dengan menggantung puisi-puisi terbaik mereka di dinding Kakbah sebagai simbol kebesaran dan kebanggaan suku yang mengalir pada darah mereka. Paling tidak, ada dua karya sastra penting yang ditulis sastrawan Arab Jahiliyah, yaitu Mu’allaqat dan Mufaddaliyat.
Ketika Nabi Muhammad lahir dan menjadi seorang Nabi, menurut pengamat sastra Muhammad bin Sulam al-Jumahi, dalam bukunya Thabaqat Fuhul asy-Syuara— peran penyair semakin menjadi-jadi. Diturunkanya Alquran, yang sangat luar biasa estetisya pada seorang ummi (baca; buta baca-tulis) Muhammad, telah memicu kreatifitas para penyair Jahiliyah untuk menyaingi kedahsyatan estetiknya Alquran. Karena itu banyak penyair-penyair ulung hadir ke tengah masyarakat dengan menjadi nabi-nabi palsu, dua diantaranya adalah Musailama yang melahirkan kitab puisi ma huwal fil (sering disebut kitab puisi ayat-ayat katak), sementara Imri’il-Qais menulis kitab puisi ayyuhat ath-thalali al-bali . Dalam pengamatan Adonis (kritikus Arab kontemporer), kedua penyair ulung itu, telah melahirkan banyak karya yang sangat estetis, bahkan menurutnya, hampir saja menyamai Alquran.
Selain kedua penyair di atas— yang sangat merisaukan Nabi saw dan pemeluk Islam awal, adalah penyair Ka’ab bin Zuhair. Penyair Jahiliyah yang kesohor ini tidak ingin menempuh jalan yang sama seperti Musailama dan al-Qais –membuat tandingan Alquran— akan tetapi, ia mencipta puisi dengan misi memperburuk citra Nabi.
Karena pengaruh puisinya yang sangat memukau itu, banyak pengikut Nabi saw yang masih labil, kembali menjadi musyrik. (Al-Ashma’i, Kitab al-Fuhul asy-Syuara, Beirut, Dar al-Kitab al-Jadid, 1971)
Ketika terjadi penaklukan kota Mekkah, orang bernama Ka’ab, sang penyair ulung itu merasa terancam jiwanya, ia bersembunyi untuk menghindari luapan amarah para sahabat Nabi. Saat itu saudara Ka’ab yang bernama Bujair bin Zuhair langsung mengirim surat kepada Ka’ab, yang isinya antara lain menganjuran agar Ka’ab keluar dari persembunyiannya dan menghadap Nabi untuk memohon maaf. Anjuran itupun diikuti oleh Ka’ab, melalui `tangan’ Abu Bakar as-Siddiq, di sana ia menyerahkan diri kepada Nabi.
Ia pun sangat terharu dengan sikap Nabi dan sahabt-sahabatnya, yang pada waktu itu tidak saja memberikan pintu maafnya, akan tetapi, mereka menyambut dengan baik kehadirannya, bahkan semua yang hadir pada waktu itu memberikan salam hormat yang tinggi kepada dirinya. Saat itu pulalah Ka’ab insyaf lalu bersyahadat.
Setelah Ka’ab memeluk Islam di depan Nabi. Rasa hormat Nabi kian bertambah, sampai-sampai beliau melepaskan burdah (sorban)-nya dan memberikannya kepada Ka’ab.
Sejak itu, Ka’ab langsung menggubah puisinya yang sebelumnya berisi penghinaan menjadi pujian-pujian yang sangat indah, puisi gubuhan itu sangat dikenal dengan sebutan Banat Su’ad (Putri-putri Su’ad), terdiri atas 59 bait (puisi). Kasidah ini disebut pula dengan Qasidah Burdah, yang kelak diabadikan oleh kaligrafer Hasyim Muhammad al-Baghdadi di dalam kitab kaligrafi-nya, Qawaid al-Khat al-Arabi.
Kisah masuknya Islam penyair Ka’ab ini hampir sama dengan penyair ulung Ibnu Ruwahah yang masuk Islam karena sikap santun dan pemaaf Nabi beserta sahabatnya.
Maka sejak bergabungnya kedua penyair ulung itu kepada barisan Islam, kitab puisi sejenis karya Musailamah dan al-Qais semakin tenggelam, dan pada gilirannya Alquran semakin diminati juga dipejari. Kurun ini, sering disebut sebagai babak baru kesusastraan Arab dan juga bagi agama Islam. Penyair Islam bersama Alquran, tidak saja telah berhasil membawa pembaharuan terhadap sastra Arab, namun juga terhadap kebudayaan secara keseluruhan. (Syauqi Dlaif, Tarikh al-Adab al-Arabi, Kairo: Dar al-Maarif, 1968)
Mungkin karena terinpirasi dengan peran sastra yang sangat signifikan pada zaman Nabi itu, Sultan Salahuddin (memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub), pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H), kemudian menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi dengan karya puisi.
Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji (wafat pada 1177 H/1763 M). Karya ini dikenal sebagai Kitab Puisi “Barzanji“, yang sampai sekarang sering dibaca oleh masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Kitab itu disusun dalam dua model: natsar (prosa lirik) yang terdiri atas 19 bab dengan 355 bait, dan nazham (qashidah puitis) berisi 16 bab dengan 205 bait.
Pertanyaannya adalah, kenapa Sultan memilih “puisi” sebagai bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika terjadi perang salib, dan bukan dengan cara lain?
Jawabanya, tentu saja, karena dalam sirah (sejarah Nabi), puisi dan penyair, tercatat punya andil yang siginifikan dalam mengantarkan kemenangan umat Islam; sebagaimana terkisah dalam perang Badar, Khandaq, Uhud, Hudaibillah Khaibar dan lain sebagainya— dimana umat muslim meraih kemangan dengan jumlah pasukan yang jauh lebih sedikit. Misalnya puisi Ibnu Ruwahah yang dijadikan lagu wajib para mujahidin;
Duhai diri, bila kau tak terhunus pedang di medan juang
Suatu ketika, kau tetap menghembuskan nafas, meski di atas ranjang
Alasan di atas itu ternyata benar –ini diakui sejarawan orientalis seperti Karen Amstrong—, bahwa kitab puisi Barzanji punya andil juga dalam kemenangan umat Islam melawan tentara Salib, saat merebut kota Yerusalem pada 2 Oktober 1187 M, dan selama 800 tahun, Yerusalem tetap menjadi kota muslim. Karena itu, tak mengherankan, tradisi maulid terus berjalan di hampir seluruh belahan dunia dengan ciri dan polanya masing-masing.
Setelah puisi Barjanzi menjadi cukup terkenal di kalangan umat Islam, kemudian lahirlah kitab puisi “Burdah”, yang ditulis oleh Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al-Bushairi (610-695H/ 1213-1296 M). Burdah terdiri atas 160 bait, ditulis dengan gaya bahasa (uslub) yang menarik, lembut dan elegan, berisi panduan ringkas mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw, cinta kasih, pengendalian hawa nafsu, doa, pujian terhadap Alquran, Isra’ Mi’raj, jihad dan tawasul. Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis.
Selanjutnya tradisi Maulid, telah melahirkan kitab-kitab puisi lain yang begitu berlimpah dan menawan, seperti kitab puisi; Maulid Syaraful Anam dan Maulid ad-Diba’i karya al-Imam Abdurrahman bin Ali ad-Diba’i asy-Syaibani az-Zubaidi; Maulid Azabi, karya Syaikh Muhammad al-Azabi; Maulid Al-Buthy, karya Syaikh Abdurrauf al-Buthy; Maulid Simthud Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi; dan yang paling baru Maulid Adh-Dhiya-ul Lami’, karya al-Habib Umar bin Hafidz dari Hadhramaut, seorang habis yang kerap keliling Indonesia.
Menurut Najib Kaelani dalam bukunya madhal ila adab al-Islami , seluruh ungkapan dalam kitab kitab-kitab puisi Maulid di atas sudah masuk kategori baligh (tingkatan metafora tertinggi). Meski dengan corak penyusunan yang beragam, namun setiap karya Maulid memiliki kesamaan: yaitu penuh simbolik dan metaforik.
Demikianlah, sebuah kenyataan, bahwa kesusastraan bernafaskan religius, mampu membangkitkan kesadaran umat untuk bangkit dari keterpurukan dan kehadirannya— tidak dipungkiri— sering tampil menyejukkan di tengah situasi yang keruh dalam politik kekuasaan di belahan negeri manapun.
Hal itu terjadi, sebab kesadaran manusia pada fitrahnya, mengagungkan Khalik sebagai pencipta, memuliakan Nabi Muhammad saw yang memberikan limpahan keteladanan, dipadu dengan kerinduan saling mengasihi antar sesama menjadi salah satu pemuas batin bagi manusia.