Pernikahan putri Presiden Jokowi telah berhasil menarik perhatian warga bangsa Indonesia. Perbincangan politik yang menyumpeki ruang udara kita seakan berhenti sejenak. Seluruh warga masyarakat seakan-akan hadir di dalam satu ruangan bersama Pak Jokowi yang menjabat tangan calon menantunya seraya berkata:
“Saya nikahkan dan saya jodohkan …”
Kita pun tampaknya ikut lega ketika Bobby berhasil menyatakan kalimat kabul dengan lancar dalam beberapa detik saja, “Saya terima nikah dan jodohnya…” Semakin lengkap prosesi ijab-kabul ini dengan shigat ta’liq khas Indonesia sesaat setelah itu.
Iya! Di Indonesia ijab-kabul selalu diikuti pernyataan janji dari suami berkaitan terhadap istrinya yang bila dilanggar maka istri bisa mengajukan ke pengadilan agar jatuh talak satu dari suaminya. Pemerintah mewajibkan seorang calon suami untuk mengucapkan janji ini sesaat setelah ijab-kabul.
Seseorang sah-sah saja menilai tidak etis seorang suami memperbincangkan talak sesaat kebahagiaan ijab-kabul. Juga sah pula jika seorang mempertanyakan dalil praktik shigat ta’liq ini, sebagaimana tren untuk secara lahirian mengikuti “dalil” muncul dalam sebagian masyarakat.
Namun itu pertanyaan hari yang lalu, pertanyaannya sekarang adalah kapankah prosesi yang dinilai sebagai hasil pemikiran kreatif ulama nusantara ini muncul?
Jawabnya adalah paling tidak sejak masa Sultan Agung (berkuasa 1613-1645). Buktinya terdapat pada manuskrip Sloane 2645 yang tersimpan di Perpustakaan Britania Raya.
Ia berbahan kertas lokal dluwang dan menggunakan akasara pegon. Manuskrip ini berkolofon tahun 1545 Saka atau 1623 Masehi yang menjadikannya manuskrip pegon tertua sejauh ini (lihat gambar 1). Dalam beberapa tulisan yang lalu, saya menuliskan catatan mengenai sisi kodikologisnya dan teks fikih yang dikandungnya.
Selain kedua itu, ternyata manuskrip ini juga mengandung teks singkat ijab-kabul- shigat ta’līq ala muslim Jawa abad ke-17.
Berikut ini adalah tranliterasinya dari aksara pegon ke aksara latin:Bismillah(ir) roḥmān(ir) roḥim bismillah walḥamdulillahi/
washsholatu ‘ala rosulillah muḥammadin shallallahu ‘alaihi wasallam./
Ushikum wa nafsi bitaqwallah sun kawinakan niyanu kalawan/
sira kalawan maskawine sata hil salaka minaka utangira./
Qabul(un). Manira anarima saking pakanira kawine niyanu kalawan/
maskawin kang kucap wahu punika teteng minaka (u)tang manira./
‘Aqod nikah. ‘Aqod jangji samangsane manira anambanga/
ing rabi manira niyanu satahun tiba thalaq pisan’’/
Ya’ni aniyaya kaya ora aweh pangan lan ora angomahi. lan ora/
anuroni atawa ora kalawan udzur.
Berikut adalah terjemahannya dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia:
Di dalam asma Tuhan Yang Maha Kasih lagi Maha Sayang di dalam asma Tuhan dan segala pujian bagi-Nya/
dan anugerah keagungan semoga untuk utusan Tuhan yaitu Muhammad semoga Tuhan selalu melimpahinya salam dan keagungan./
Aku berwasiat kepadamu dan diriku sendiri supaya terus takwa kepada Tuhan Aku nikahkan Niyanu dengan/
dirimu dengan mas kawin seratus hil (satuan berat?) perak sebagai hutangmu./
Qabul. Saya terima darimu nikahnya Niyanu dengan/
mas kawin yang telah diucapkan tadi, itu (teteng: tetap atau pasti?) sebagai hutangku./
Akad nikah. Akad perjanjian manakala aku meninggalkan istriku/
Niyanu selama setahun jatuhlah talak satu’’./
Yaitu perbuatan aniaya seperti tidak memberi makan dan tidak memberi tempat tinggal. dan tidak/
Beberapa catatan dapat kita berikan misalnya pada masa itu susunan kalimat ijab-kabul sama seperti masa sekarang. Secara garis besarnya susunan ijab adalah “saya nikahkan seseorang dengan seseorang dengan maskawin…”.
Sedangkan pernyatan kabul susunan umumnya adalah “saya terima nikahnya seseorang dengan maskawin…”.
Kedua, suatu praktik masih terus hidup hingga masa sekarang, ternyata pada masa itu sudah ada praktik shigat ta’liq, bahwa seorang suami menjanjikan sesuatu terhadap istrinya yang bila terlanggar akan jatuh talak.
Ketiga, sejak dahulu ijab-kabul diucapkan dalam bahasa masyarakatnya, tanpa harus memaksakan diri dengan bahasa Arab. Hal ini penting melihat manuskrip ini adalah catatan santri yang mengandung kajian kitab fikih. Ini juga penting mengingat dalam sebagian masyarakat nampaknya ijab-kabul dengan bahasa daerah dinilai kurang afdhal dari pada dengan bahasa Arab.
Namun ada juga perbedaan antara masa itu dengan sekarang. Di antaranya, pada masa itu masih ada saja seorang suami yang menghutang mahar yang diperuntukkan bagi istrinya. Tampaknya sekarang kita tidak akan menemukan hal semacam ini. Juga bentuk maharnya pada waktu itu adalah dengan perak, sekarang emas menjadi pilihan utama.
Perbedaan lainnya adalah pada batasan waktu seorang suami meninggalkan istrinya.
Praktik shigat ta’liq masa kini membatasinya dengan dua tahun berturur-turut. Sedangkan di masa itu, separuhnya sudah cukup membuat talak jatuh.
Selain itu, pada shigat ta’liq abad ke-17 itu tidak disinggung adanya keharusan istri untuk menggugat ke pengadilan agar talak itu jatuh kepadanya.
Dulu, seorang suami yang meninggalkan istrinya selama setahun berturut-turut, tidak memberinya nafkah lahir berupa pangan dan papan, serta tidak memberinya nafkah batin yaitu tidur bersama, maka jatuhlah talak suami terhadap istrinya.
Akhirulkalam, ternyata praktik shigat ta’laq sudah hidup di Nusantara (baca Jawa) paling tidak sejak 4 abad yang lalu. Yaitu ketika Sultan Agung di tengah masa kekuasaannya!
Terima kasih infonya.
hil kemungkinan tahil ukuran setara 37, 8 gram