Adapun tulisan pemenang pertama lomba menulis Ramadan Berkah kategori Ma’had Aly atau Perguruan Tinggi adalah Syariduddin. Din adalah santri Ma’had Aly Situbondo. Selamat ya, Din. Berikut tulisannya. Selamat menyimak!
Saat ini kita dihadapkan pada kondisi yang amat sulit. Pandemi korona yang beberapa bulan lalu melanda Wuhan kini juga telah masuk dan menyebar di Indonesia. Bukan hanya soal kesehatan dan aspek ekonomi yang dirong-rong oleh wabah ini, lebih dari itu berbagai macam praktik ritual keagamaan yang dahulu sangat sederhana untuk dilakukan, kini menjadi terasa sulit dan ribet. Dihadapkan dengan kondisi seperti ini, para ustadz dan tokoh agama dituntut mampu mempersiapkan berbagai jawaban fikih yang adaptif dengan situasi dan kondisi yang saat ini sedang terjadi.
Dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas bagaimana jawaban fikih dalam merespon kebijakan pemerintah terkait pelarangan salat jamaah di masjid. Apakah jawabannya hanya cukup “salat di rumah aja” atau mungkin ada solusi lain, misalnya salat jamaah jarak jauh, bermakmum dari rumah sementara sang imam ada di masjid. Mungkinkah? Bukankah dalam berjemaah ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu murur dan musyahadah.
Pendapat Para Ulama Fikih
Untuk menjawab kemusykilan di atas mula-mula kita harus tahu terlebih dahulu alasan di balik keharusan makmum harus musyahadah dan murur. Ulama’ Syafi’iyah menegaskan keharusan makmum untuk musyahadah dan murur didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah [al Sunan al Qubra li al Baihaki/3/111].
قال الشافعي قد صلى (1) نسوة مع عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم في حجرتها فقالت لاتصلين بصلاةالامام فانكن في حجاب
Berangkat dari hadist inilah kemudian para ulama membangun sebuah konsep tata cara salat berjemaah, bahwa dalam melakukan sholat berjemaah seorang makmum harus mengetahui gerakan salat yang dilakukan imam secara persis. Bangunan konsep ini diambil dari alasan dalam di atas yang dilontarkan oleh istri Nabi ketika mereka tidak bermakmum kepada Nabi Berangkat dari konsep inilah maka sebagian ulama kemudian berpendapat bahwa seorang makmum tak cukup hanya sekedar mendengar suara imam, melainkan makmum juga disyaratkan musyahadah kepada imam demi keesahan sholatnya.
Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sholat berjemaah yang dilakukan makmum tetap dinilai sah sekalipun ia tak melihat (musyahadah) imam. Pendapat ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Imam Syafi’i bahwa suatu ketika beliau pernah melihat Abu Hurairah sedang melakukan sholat jamaah di atas masjid sementara imam sholat yang ia ikuti tepat berada di bawahnya.
قال: “رأيت أباهريرة يصلى فوق ظهرالمسجد وحده بصلاة الإمام”.
Dari riwayat inilah kemudian sebagian ulama –termasuk Imam Malik- menyimpulkan bahwa sholat seorang makmum tetap dinilai sah sekalipun ia tidak melihat (musyahadah) imam [al Sunan al Kubra lil Baihaki/3/111].
Namun dalam ketentuan ini masih ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, posisi yang ditempati oleh si makmum harus merupakan bagian dari masjid. Syarat ini didasarkan pada posisi sholat Abu Khurairah dalam riwayat Imam Syafii di atas. Kedua, si makmum harus bisa mendengar bacaannya si Imam, sebagai perantara bagi si makmun ikut sukuk, sujud dan seterusnya bersama imam [Fatawi al Syabkah al Islamiyah/11/10855. al Sunan al Kubra lil Baihaki/3/111]. Sebab, bagaimana mungkin si makmum bisa mengikuti gerakan imam ketika kondisinya sudah tidak melihat imam dan tidak mendengar suara imam.
Bahkan lebih longgar lagi, menurut Syaikh Ato’, sholat jamaah yang dilakukan seorang makmum tetap dianggap sah sekalipun posisi antara makmum dan imam sangat jauh, dan bahkan walaupun si makmum berada jauh di luar masjid sekalipun ( tidak musyahadah), karena Dalam pandangan Syekh Ato’ syarat sahnya sholat jamaah yang dilakukan makmum hanya satu, yaitu si makmum harus tau gerakan salat yang dilakukan imam dengan perantara apapun dan tanpa dibatasi tempat atau jarak. Namun pendapat ini masih dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’, oleh karena itu masih perlu dipertimbangkan matang-matang untuk diamalkan [al Syaqi fi Syarhi Musnad al Syafi’i/2/50].
Sementara menurut internal kalangan Hanabalah, ada dua riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad melalui Ibnu Qudhamah mengenai pembahasan keharusan musyahadah atau tidak bagi makmum. Pertama, sholat jamaah yang dilakukan seorang makmum menjadi tidak sah apabila dilakukan tanpa musyahadah. Pendapat ini didasarkan pada riwayat yang disampaikan Siti ‘Aisyah ketika beliau sholat di balik hijab sebagaimana yang telah penulis tulis sebelumnya. Kedua, sholat jamaah yang dilakukan makmum tetap dihukumi sah sekalipun dilakukan tanpa musyahadah (melihat) imam, akan tetapi dengan catatan si makmum mengetahui gerakan sholat yang dilakukan imam, baik dengan cara mendengar takbir imam secara langsung maupun dengan perantara mubaligh atau speaker sebagaimana orang buta [Fatawi al Syabkah al Islamiyah/11/10855].
Pendekatan Al-Jam’u Baina Al-Riwayah
Perdebatan alot tersebut sesungguhnya bisa didamaikan dengan pendekatan al jam’u bayna al riwayat. Hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisya’ yang dijadikan dasar atas ketidaksahan jemaahnya seorang makmum yang dilakukan tanpa musyahadah (melihat) imam dihukumi batal, bisa diarahkan pada kondisi saat itu para istri Nabi selain tidak melihat mereka juga tidak mendengar suara imam. Ini logis karena mereka melaksanakan sholat di rumahnya.
Sementara hadist kedua yang dijadikan dasar tetap sahnya sholat seorang makmum yang dilakukan tanpa musyahadah mesti diarahkan pada kondisi bahwa pada saat itu meskipun Abu Hurairah tidak melihat tetapi beliau bisa mendengar suara imam. Hal ini wajar karena dalam hadist itu Abu Hurairah melakukan salat di atas masjid, masih merupakan bagian dari masjid. Maka pada intinya sholat jamaah yang dilakukan makmum tetap sah sekalipun tidak musyahadah (melihat), asalkan ia bisa mengetahui kondisi imam dengan melalui media apapun, termasuk dengan mendengar atau dengan melalui live streaming.