Sebetulnya aku sama sekali tak tertarik ikut-ikutan menulis soal Dewa Kipas. Tetapi kemarin aku diminta mengisi kuliah Pancasila FIB UGM untuk para mahasiswa angkatan 2021 dari semua jurusan.
Seperti biasa kelas kumulai dengan pancingan beberapa pertanyaan. “Kalau saya minta kalian untuk melupakan definisi yang kalian baca di buku tentang nasionalisme, nasionalisme menurut kalian itu apa? Problem nasionalisme seperti apa yang kamu lihat secara konkret ada di sekitarmu dan bagaimana kita harus menyikapinya?”
“Heboh Dewa Kipas itu persoalan nasionalisme yang konkret,” kata seorang mahasiswa. Lah… Aku pun minta dia menjelaskan duduk soalnya. Aku sendiri selama ini tak mengikuti kehebohan itu.
Seperti sempat ramai diberitakan, dalam permainan catur melawan Levy Rozman di Chess.com, Dewa Kipas unggul. Tapi orang-orang yang mengikuti permainan itu dan melihat banyak kejanggalan segera melapor ke situs catur itu. Sebelumnya si Dewa Kipas memang tak pernah dikenal dalam dunia catur kita. Berdasarkan algoritma yang ada, disimpulkan si Dewa rupanya memang melakukan kecurangan. Akun dia pun ditutup. Maka hebohlah para warga netizen membela Dewa Kipas.
Untuk menjernihkan kehebohan, Deddy Corbuzier menggelar pertandingan antara Dewa Kipas melawan pecatur nasional Irene Sukandar. Meski semua pihak, termasuk host DC mengambil untung dari pertandingan yang ditonton lebih dari 1 juta pengunjung itu, kekalahan 0-3 Dewa Kipas menguatkan tuduhan bahwa dalam permainan sebelumnya dia melakukan kecurangan.
Tidak ada prestasi yang bisa diraih melalui proses instan.
Pertanyaannya, apakah pembelaan para netizen Indonesia terhadap si Dewa sebagai sesama warga Indonesia dalam kasus begitu bisa dianggap nasionalisme?
Diskusi pun berlangsung semarak. Dari sana, aku minta para mahasiswa untuk membaca ulang pengertian nasionalisme yang ditawarkan Sukarno dan diadopsi dari Ernst Renan itu. Nasionalisme kan memang ikatan kebangsaan yang disatukan bukan pertama-tama oleh persamaan warna kulit atau identitas fisik lain, tapi oleh “semangat”. Indonesia adalah cita-cita. Kesamaan cita-citalah yang membuat Douwwes Dekker menjadi bagian dari Indonesia. Sebaliknya, ketaksamaan cita-cita pula yang membuat kenapa Abdulkadir Widjojoatmojo, orang Jawa kelahiran Salatiga, menjadi wakil Belanda dalam perundingan Renville berhadapan dengan Indonesia. (https://tirto.id/abdulkadir-widjojoatmodjo-membela-ratu-belanda-cBUn)
Kecurangan dan keculasan jelas lawan dari keadilan, bagian amat penting dari cita-cita Indonesia. Membela seseorang yang beridentitas sama padahal dia curang, bukanlah nasionalisme. Nasionalisme kita bukan nasionalisme buta, bukan nasionalisme bonek. Mengikuti Sukarno, nasionalisme Indonesia harus dirawat dan tumbuh subur di tengah taman sarinya internasionalisme, solidaritas dan keseteraan kemanusiaan.
Nasionalisme bonek akan gampang dipakai oleh para aktor culas, politikus, pebisnis atau lainnya yang hendak mengeruk keuntungan dengan memompa sentimen cinta-diri dan anti-asing secara irasional, termasuk meskipun warga sendiri melakukan kesalahan. Hanya karena seseorang adalah bagian dari kelompok kita, kesalahan yang dilakukanya tidak bisa dianggap benar dan harus dibela mati-matian. Salah tetap salah, curang tetap curang.
Para mahasiswa tahun pertama dengan mudah mengikuti bahkan turut merumuskan nalar itu. Aku juga mendorong para mahasiswa untuk tak alergi beda pendapat dan berdebat mengasah nalar. Jangan terjebak dalam kominikasi dunia medos yang cenderung tak dialogis. Baca lebih banyak buku dan diskusikan dengan teman-teman untuk saling menguji argumen dan tumbuh bersama dalam proses belajar yang menggembirakan.
Rupanya hari ini ada berita menarik yang juga relevan dengan diskusi itu. Meski menurut BPOM penelitian vaksin Nusantara tak memenuhi kaidah good clinial practice dan kini dihentikan sementara, DPR bersikeras mendesak agar penelitian itu bisa dilanjutkan.
https://nasional.kompas.com/read/2021/03/24/08203251/dpr-desak-penelitian-vaksin-nusantara-dilanjutkan-meski-tak-sesuai-kaidah?page=1&fbclid=IwAR2Lj55ObniR8IboUzGUoBG7Ggx1ospP5WTTROn3chyP7Q7fp2h75wwbEJc
Alasannya?
“Segera Wujudkan Vaksin Nusantara, Hindari Senosentris.” Menurut seorang anggota DPR, senosentris adalah membanggakan produk bangsa lain daripada produk bangsa sendiri. Lha, produk sendiri ya produk sendiri, tapi kaidah harus diikuti justru demi keamanan seluruh warga yang menjadi pemakainya.
Masa iya, anggota DPR kalah nalar sama para mahasiswa semester 2? Masih ngotot jadi nasionalis bonek?