Deretan lampu minyak terjejer indah sepanjang jalan. Di tanah lapang, lampu-lampu minyak disusun dengan ragam pola: lafaz Allah dan Muhammad, ka’bah, masjid, dan simbol Islam lainnya.
Pemandangan itu yang akan kamu dapati bila berada di Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara, sepanjang tiga malam terakhir bulan Ramadan. Sebab saat itu masyarakat muslim Bolaang Mongondow sedang merayakan tradisi Monuntul, salah satu tradisi Islam Nusantara di daerah ini.
Monuntul terambil dari bahasa setempat, bahasa Mongondow, yang berarti pasang (menyalakan) lampu. Jika lampunya belum terpasang atau belum menyala maka disebut tuntul, dan kalau sudah menyala dinamakan monuntul. Jadi tradisi Monuntul maksudnya adalah tradisi pasang lampu atau menyalakan lampu. Disebut demikian, karena ketika itu seluruh masyarakat muslim akan memasang beberapa lampu minyak di depan rumah, dan menyalakannya selepas salat Maghrib hingga selesai Subuh.
Tradisi Monuntul dilaksanakan di tiga malam terakhir Ramadan: malam ke 27-29. Saya belum tahu pasti kapan masyarakat muslim Bolaang Mongondow mulai melakukan tradisi ini, namun yang jelas Monuntul sudah berlangsung sangat lama. Jika ditaksir berdasarkan waktu awal mula masifnya Islam di wilayah ini, maka bisa jadi tradisi ini mulai ada di Bolaang Mongondow pada akhir 19 M.
Selain itu, dalam membaca tradisi Monuntul, perlu diingat juga bahwa tradisi yang sama ada di Gorontalo dengan nama Tumbilotohe, yang kalau diartikan: tumbilo artinya pasang, dan tohe berarti lampu, jadi maknanya seperti Monuntul, yaitu pasang lampu. Sehingga antara Monuntul di Bolaang Mongondow dan Tumbilotohe di Gorontalo, sebenarnya adalah tradisi yang sama, namun dengan penamaan versi daerah masing-masing. Di Gorontalo, tradisi ini diyakini lahir di masa-masa awal daerah ini menerima Islam, yaitu pada abad 16 M.
Kalau melihat peta penyebaran Islam di Bolaang Mongondow, maka kesamaan antara Monuntul dan Tumbilotohe adalah hal yang wajar. Sebab para penyebar Islam di Bolaang Mongondow salah satunya adalah jaringan ulama dari Gorontalo. Dan sebagaimana dalam teori difusi budaya bahwa pergerakan kelompok masyarakat secara otomatis bakal membawa pengaruh budaya asalnya di wilayah yang akan mereka tempati. Sehingga tidak mengherankan kalau antara budaya dan tradisi Islam di Gorontalo dengan Mongondow kadang punya kesamaan, semisal Monuntul dan Tumbilotohe.
Diketahui kalau di awal abad 19 M, di Lipung Simboy Tagadan (sekarang Motoboi Kecil, Kota Kotamobagu) telah ada kelompok masyarakat yang memeluk Islam. Pembawa syiar Islam di wilayah ini adalah jaringan ulama dari Gorontalo yang dipimpin oleh Imam Tueko. Dari Lipung Simboy Tagadan, Islam pun menyebar ke lipung-lipung (desa atau dusun-dusun) sekitar. Sehingga sangat wajar kalau kemudian corak ke-Islaman Gorontalo turut mewarnai budaya serta tradisi Islam yang terbentuk di daerah ini.
Kita bisa mengasumsikan bahwa saat jaringan ulama ini tinggal di Bolaang Mongondow, di tiga malam terakhir Ramadan mereka pasti melakukan Tumbilotohe. Kemudian masyarakat yang waktu itu sudah masuk Islam ikut melakukan hal yang sama, dan dalam bahasa setempat aktivitas ini disebut dengan Monuntul. Lambat laun, sebab sudah dilakukan turun-temurun hingga puluhan bahkan ratusan tahun, sehingga Monuntul pun sudah menjadi bagian dari tradisi Islam di Bolaang Mongondow.
Namun tradisi Monuntul tidak hanya ada di Motoboi Kecil dan sekitarnya, yang dulu menjadi wilayah garapan Islam oleh jaringan ulama Gorontalo, Imam Tueko dan kawan-kawan, melainkan menyebar di seluruh kawasan Bolaang Mongondow. Menurut saya selain adanya persentuhan budaya antara Gorontalo dan Mongondow, menyebarnya tradisi Monuntul di daerah ini juga dipengaruhi dari proses men-totabuan.
Misal, di kawasan pesisir selatan Bolaang Mongondow, munculnya tradisi ini pertama sebab banyak desa-desa di Bolaang Mongondow Selatan yang penduduknya adalah suku Gorontalo. Sehingga sangat wajar jika mereka juga melakukan tradisi pasang lampu.
Kedua, untuk desa-desa yang penduduknya adalah orang Mongondow, maka tradisi ini muncul sebab dari penyebaran penduduk suku Mongondow, atau saya sebut dengan men-totabuan.
Dalam sejarah Bolaang Mongondow dikenal istilah totabuan, yang berarti wilayah garapan atau perkebunan desa. Setiap desa punya totabuan-nya masing-masing. Saat totabuan sudah dihuni banyak orang, maka jadilah satu desa mandiri. Proses ini saya sebut sebagai men-totabuan, yang merupakan bagian dari penyebaran suku Mongondow ke berbagai penjuru tanah Bolaang Mongondow. Dan tidak hanya penyebaran penduduk yang ada dalam proses men-totabuan, melainkan juga budaya serta tradisi.
Dahulu, desa-desa di wilayah pesisir selatan kebanyakan adalah tanah totabuan dari desa-desa di Kotamobagu dan sekitarnya. Misalnya, Desa Pinolosian merupakan totabuan dari Poyowa Kecil, Desa Motandoi totabuan dari Pobundayan dan Matali, Desa Tobayagan totabuan dari Tabang. Ini bisa dibaca dalam buku: Mengenal Bolaang Mongondow, yang disusun Tim Litbang Amabon (Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow).
Sehingga sangat wajar kalau kemudian masyarakat muslim Bolaang Mongondow yang tadinya di Lipung Simboy Tagadan dan sekitarnya, kemudian berpindah ke wilayah pesisir selatan, juga turut membawa tradisi Monuntul.
Dari beberapa penjelasan di atas, bisa dipahami kalau Monuntul di Bolaang Mongondow berhulu dari Tumbilotohe di Gorontalo. Dan Monuntul sudah menjadi bagian dari tradisi Islam Nusantara di masyarakat muslim Bolaang Mongondow.
Ada berbagai penjelasan yang beredar mengenai awal mula kemunculan tradisi pasang lampu, Tumbilotohe atau Monuntul. Menurut Prof. Karmin Baruadi dalam bukunya: Sejarah Kebudayaan Gorontalo, bahwa ketika akan memasuki nuansa kemenangan (akhir Ramadan), langit gelap sebab bulan belum menunjukkan sinarnya, diyakini oleh masyarakat sebagai momentum yang tepat untuk merefleksikan diri manusia.
Tradisi pasang lampu pun lahir untuk menerangi malam-malam gelap itu. Menjadi bagian dari refleksi diri manusia yang gelap akibat dosa, namun kembali menjadi terang (diampuni dosa-dosa) sebagai hasil dari puasa Ramadan.
Selain itu, ada juga penjelasan bahwa dulu selepas magrib dan isya jalanan sudah sangat gelap, sebab jelas waktu itu belum ada lampu jalan seperti saat ini. Orang-orang hanya menggunakan obor untuk penerangan jalan. Sementara di malam-malam terakhir Ramadan, masyarakat banyak yang keluar untuk keperluan membayar zakat fitrah. Maka lahirlah solidaritas masyarakat, mereka berbondong-bondong memasang lampu di depan rumah masing-masing, agar jalanan bisa lebih terang. Hal ini terus berulang di Ramadan-ramadan selanjutnya hingga menjadi tradisi.
Di masyarakat Bolaang Mongondow, ada pemahaman orang-orang tua yang juga menjadi motif dalam pelaksanaan Monuntul, bahwa malam-malam terakhir Ramadan merupakan waktu bagi para malaikat turun ke bumi. Jadi langit perlu diterangi. Hal ini tidak lepas dari ajaran lailatul qadar (malam kemuliaan). Sehingga sebagian meyakini bahwa untuk menyalakan lampu dalam tradisi Monuntul tidak boleh sembarangan, harus didahului dengan membaca surah al-Qadr.
Lampu yang biasa digunakan dalam tradisi Monuntul adalah lampu botol berisi minyak tanah atau solar, ada juga yang masih mempertahankan penggunaan lampu lilin berbahan bakar minyak goreng. Ratusan bahkan ribuan lampu akan dinyalakan di malam Monuntul. Menciptakan keindahan tersendiri di malam-malam terakhir Ramadan.
Di zaman sekarang, pelaksanaannya tidak hanya menggunakan lampu botol, namun juga sudah memakai lampu tumbler, sehingga semakin menambah daya tarik dari tradisi Monuntul.
Sebagai bagian dari tradisi Islam Nusantara yang ada dalam masyarakat muslim Bolaang Mongondow, pelaksanaan Monuntul menjadi penting untuk terus dilestarikan.