Sedang Membaca
Khutbah Jumat: Belajar Nasionalisme dan Kemerdekaan Kepada Rasulullah
Noor Sholeh
Penulis Kolom

Penulis pernah mengajar di SMKN 2 Jepara, dan mengabdi di Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kabupaten Jepara. Pernah juga diamanahi menjadi Ketua MWC NU Kota Jepara. Kolom Khutbah Jumat adalah kumpulan naskah-naskah yang pernah disampaikan oleh almarhum dalam mimbar Jumat. Naskah itu kini diketik ulang supaya bermanfaat dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Lahu-alfaatihah..

Khutbah Jumat: Belajar Nasionalisme dan Kemerdekaan Kepada Rasulullah

Hadirin sidang Jumat yang berbahagia

Saat ini kita memasuki bulan Agustus. Bulan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada bulan ini, kita sebagai generasi penerus para pejuang kemerdekaan RI, dapatlah melanjutkan cita-citanya yang luhur, yaitu: mengisi kemerdekaan dengan tanggung jawab baru yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan Negara, sesuai dengan profesi dan keahlian kita masing-masing.

Yang jelas, semangat proklamasi haruslah menjiwai raga ini, rasa nasionalisme haruslah tertanam pada jiwa kita, tidak hanya sebatas pada peringatan hari kemerdekaan itu saja, akan tetapi haruslah dihayati, sekaligus diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kata pejuang yang bermental nasionalisme, antara lain:

“Jangan tanya, apa yang diberikan Negara kepada saya, tetapi apa yang telah saya berikan kepada Negara.”

Hadirin sidang Jumat yang berbahagia

Dalam perspektif Islam, konsep nasionalisme mengacu kepada kehidupan Kanjeng Rasul Muhammad Saw, sebagai uswatun hasanah dalam rangka mendirikan tatanan sosial politik di Madinah.

Mari kita cermati strategi kanjeng nabi yang luar biasa ini. Antara lain, belum genap dua tahun setelah kanjeng nabi hijrah dari Makkah ke Madinah, Kanjeng Rasul Muhammad Saw mendatangani perjanjian Madinah bersama Kaum Muhajirin, Anshor, Yahudi, Nasroni, Musyrikin, dan Majusi.

Piagam ini sering pula disebut dengan undang-undang Madinah atau Konstitusi Madinah. Dalam konteks ini, terdapat dua alasan bagi kehidupan bernegara, yang diatur di dalamnya antara lain:

Pertama, semua pemeluk islam adalah satu umat, walau mereka berbeda-beda suku. Kedua, hubungan antara komunitas Muslim dan Non-muslim didasarkan pada prinsip-prinsip antara lain: 1.) bertetangga yang baik, 2.) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama yang datang dari luar madinah, 3.) Saling menasehati, 4.) Membela mereka yang teraniaya, 5.) Menghormati kebebasan beragama. (Sadzali: 1993, 15-26).

Baca juga:  Catatan Perjalanan: Foto-foto Masjid Nusantara Terpajang 10 Hari di Belanda

Piagam tersebut pada muqoddimahnya menyatakan sebagai berikut:

“Ini perjanjian antara Muhammad Saw, yang mewakili umat Islam baik dari kelompok Mekah (Quraisy), maupun kelompok Madinah (Yatsrib), bersama-sama orang yang bersedia mengadakan perjanjian. Inti perjanjian tersebut adalah, siapapun yang berada di kota Madinah adalah satu bangsa (ummatan wahidah/one nation).”

Dengan demikian, secara sosiologis dan politis, piagam tersebut merupakan dasar konstruksi pendirian sebuah Negara bangsa atau nation state, yang dibangun atas nama pluralitas dan kesetaraan, sebagai jawaban terhadap problem bangsa.

Dan piagam tersebut sudah mengatur kehidupan sosial politik warga Madinah yang sangat plural dan heterogen. Walaupun warga Madinah beraneka ragam, baik suku, keyakinan serta agamanya, namun mereka memiliki kedudukan yang sama, masing-masing mempunyai kebebasan untuk memeluk agamanya, melakukan aktivitas kebangsaan-kenegaraan, dan kewajiban membela Negara Madinah sebagai tempat tinggalnya.

Oleh karena itu, sebagai warga Negara Indonesia, yang mengaku seorang muslim atau Non Muslim, yang kebetulan beraliran kaku, yang hobinya melakukan kekerasan atas nama agama, bahkan sampai ngebom di tempat tertentu, apakah itu di Wihara, Gereja, Hotel, dan lain-lain, hendaknya mereka itu memahami sejarah piagam Madinah.

Dalam konteks Indonesia, mereka mestinya harus memahami masalah Negara kebangsaan yang dibangun atas nama pluralistik dan heterogen, seperti negara Indonesia ini, di mana Indonesia ini terdiri lebih dari kurang lebih 1000 suku bangsa dan pulau, yang berbeda-beda keyakinan agamanya, di mana tidak dibeda-bedakan dalam Undang-undang. Semua mempunyai hak yang sama.

Baca juga:  Masjid, Fikih, dan Air

Semestinya, mereka-mereka yang tukang ngebom dan hobinya ngrusak negeri ini, bisa memahami dan menjaga negeri ini dengan baik, seperti yang dicontohkan  oleh kanjeng Rasul Muhammad Saw dalam membangun Negara Madinah.

Oleh karena itu, kekhawatiran-kekhawatiran bagi warga Negara yang baik, khususnya umat islam yang moderat, yang paham tentang arti nasionalisme, yang paham tentang arti kemerdekaan, yang paham tentang membela bangsa dan Negara, adalah di mana ketika generasi yang akan datang itu orangnya lemah iman dan taqwanya, kerdil jiwanya, sempit wawasan kebangsaannya, rapuh nasionalismenya, dan rapuh ekonominya, sehingga mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang jahat dan teroris yang punya kepentingan-kepentingan tertentu, yang dapat menenggelamkan rasa kemanusiaan.

Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 9 yang berbunyi.

وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Dan di dalam hadis riwayat muslim, dari Abu Hurairah juga disebutkan:

اْلمُؤْمِنُ اْلقَوِيُّ خَيْرٌ وَاَحَبُّ اِلَى اللهِ مِنَ اْلمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

Baca juga:  Khutbah Jumat: Video Syur dan Tantangan Revolusi Akhlak

Orang mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada orang mukmin yang lemah.

Dengan petunjuk Al-Qur’an, Surat An-Nisa’ ayat 9, dan hadis Kanjeng Rasul tersebut, marilah kita umat islam untuk bangkit dan cancut tali wondo untuk mengisi kemerdekaan Republik Indonesia ini, dengan rasa nasionalisme yang tinggi, yaitu menjaga persatuan dan kesatuan, serta menjaga lingkungan dan keamanan, dengan sebaik-baiknya, khususnya untuk situasi seperti ini, yang diperlukan adalah membangun bangsa dari keterpurukan ekonomi, membangun moral dan akhlak pemimpin-pemimpinnya, wakil rakyat, menteri-menterinya, dan para pejabat yang mengelola dana Negara, agar mereka tidak bermental koruptor dan menghabiskan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya.

Semoga teladan Kanjeng Rasul Muhammad saw dalam membangun negara Madinah yang penuh dengan pluralistik dan heterogen itu bisa ditiru oleh pemimpin-pemimpin rakyat Indonesia sehingga tercapai Negara yang baldatun thoyyibatun warabbun ghofur. Amin Allahhumma Aamiin.

Hanya doa yang dapat kita harap, semoga Allah Swt menyelamatkan diri kita, keluarga kita, dan bangsa kita dari fitnah di dunia dan di akhirat, serta kita semua dapat terhindar dari siksa api neraka. Amien yaa Rabbal ‘Alamien..

Masjid At-Taqwa Pengkol Jepara, 23 Agustus 2013.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top