Sedang Membaca
Hari Kesehatan Mental Sedunia 2021: Islam dan Semangat Gerakan Semicolon
Arfi Pandu Dinata
Penulis Kolom

Mahasiswa, Pegiat Toleransi dan Perdamaian di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung.

Hari Kesehatan Mental Sedunia 2021: Islam dan Semangat Gerakan Semicolon

Kesehatan Mental

Hari Kesehatan Mental Sedunia jatuh pada tanggal 10 Oktober setiap tahunnya. Pada tahun 2021 ini, World Health Organization (WHO) mengusung tema “Mental health care for all: let’s make it a reality.” Pada hari peringatan ini, kiranya akan menjadi bahasan yang menarik untuk kita mengurai Islam dan semangat gerakan Semicolon.

Semicolon dalam keseharian kita biasa dikenal sebagai tanda baca titik koma [;]. Menurut KBBI tanda baca tersebut berfungsi sebagai penanda bagian kalimat yang sejenis dan setara. Selain itu semicolon juga digunakan untuk memisahkan kalimat setara yang ada dalam kalimat majemuk sebagai substitusi dari kata penghubung.

Belakangan kembali menjadi tren tentang penggunaan simbol semicolon di jagat maya. Biasanya simbol semicolon dibubuhkan sebagai tato di bagian tubuh yang umumnya terlihat, seperti pergelangan tangan dan leher dekat telinga. Pada konteks kekinian semicolon merupakan lambang bagi gerakan kesehatan mental. Penggunaan simbol tersebut pada awalnya dipelopori Ammy Bleuel melalui Semicolon Project. Program dan kampanye tersebut hadir sebagai bentuk harapan dan perjuangan bagi orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental seperti kecanduan, depresi, bunuh diri, dan keingin untuk menyakiti diri sendiri.

Orang-orang yang sedang berjuang dengan masalah mental kerap mendapat stigma buruk. Apalagi mereka yang hidup di tengah masyarakat yang belum terbangunkan tentang pentingnya isu kesehatan mental. Berterus terang tentang pengalaman hidup yang perih dan pahit sering kali berujung pada penambahan beban mental. Di antara stigma yang lumrah muncul yaitu anggapan lemah iman, kurang beribadah, jauh dari Tuhan, dan sederet bentuk pemojokan lainnya.

Baca juga:  Cara Mudah Jadi Dai di Era Dakwah 2.0

Pernyataan-pernyataan toxic di atas secara teologis malah menunjukkan sikap keangkuhan kita di hadapan Allah. Kita berterus terang saja bahwa pemahaman kita tentang ujian dan azab kerap menjadi cara untuk menghukumi orang lain. Misalnya saja fenomena orang yang terpapar virus COVID-19, beberapa orang lebih suka menuduh bahwa orang yang sakit karena virus tersebut adalah pendosa, sebagai bentuk azab Allah terhadapnya. Sedangkan jika kita sendiri yang mengalaminya akan beda cerita, “Oh itu ujian dari Allah.” Bayangkan betapa menyakitkannya jika kata-kata tersebut terdengar oleh mereka yang positif COVID-19.

Apabila kita memposisikan diri dengan cara yang serupa kepada orang-orang yang mengalami depresi atau adiksi, sungguh zalimnya diri kita. Kita akan selalu meremehkan pengalaman hidup orang lain, beban pikiran, perasaan, dan segala ikhtiarnya. Bahkan kita bisa terjebak sikap takabur dengan menggap diri lebih baik dari orang lain, malah syirik dengan medahului Allah tentang menghukumi status keimanan orang lain.

Ketaatan seseorang dalam beragama tidak diukur dengan masalah kesehatan mental yang dihadapinya. Masalah mental adalah bagian pengalaman setiap insan yang Allah ciptakan. Artinya kita sebagai manusia biasa sebetulnya memiliki potensi kerapuhan yang sama. Semuanya wajar dan normal, sebab kesempurnaan hanyalah milik Allah semata.

Baca juga:  Fikih Tanah-Air Indonesia (6): Kita Semua Tuan Tanah

Tentu religiusitas dan kesehatan mental memiliki korelasi, bahkan praktik beragama yang “saleh” cenderung membawa pada kondisi mental yang sehat. Namun hubungan tersebut bukan relasi implikatif (sebab – akibat) yang menyatakan bahkan makin soleh makin sehat mentalnya. Bukan juga kalau punya masalah mental berarti imannya lemah. Pada kehidupan sehari-hari banyak orang taat beragama yang memiliki keyakinan penuh ditambah ibadah yang giat, ternyata memiliki persoalan mental tersendiri. Entah itu masalah komunikasi dengan pasangan di dalam keluarga, kesulitan kerja sama dengan kolega pekerjaan, atau kurang konsentrasi saat belajar di sekolah.

Agama hanyalah salah satu dari sekian cara untuk merawat kesehatan mental. Begitupun agama tidak berdiri sendiri, ia mesti berdialog dengan sains dan psikologi. Kiranya tradisi keilmuan Islam dengan beragam disiplin yang ada di dalamnya bisa menjadi ruang untuk memfasilitasi isu kesehatan mental. Ilmu kalam menyediakan banyak referensi untuk menjawab persoalan eksistensi dan filosofi tentang penderitaan, kerapuhan, dan musibah yang ada di dunia. Tasawuf dapat menjadi sarana untuk mengembangkan psikoterapi Islam lewat riyadah atau zikir tertentu. Ushulfikih dan fikih secara bersamaan merumuskan hukum Islam yang humanis. Begitupun ilmu-ilmu Alquran dan Hadis bisa memakai pendekatan studi trauma untuk memproduksi tafsir yang peduli kesehatan mental.

Baca juga:  Teologi Muktazilah dan Kepemimpinan Negara di Era Kontemporer

Dengan demikian, Islam seharusnya memberi makna pada gerakan semicolon. Saat kalimat akan berakhir dengan dibubuhkannya titik, maka semicolon adalah tanda keberlanjutan bahwa kalimat-kalimat lain masih ada. Islam adalah semicolon itu sendiri yang membawa harapan tentang rahmat dan kasih sayang Allah, tentang hidup yang masih berlanjut. Amin.

“Dan Allah tidak menjadikannya (pemberian bala-bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar hatimu tenang karenanya. Dan tidak ada kemenangan itu, selain dari Allah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Ali’ Imran: 126)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
4
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top