Subuh tadi, kembali diberi nikmat membuka kitab Sahih Bukhari di masjid Manarul Ilmi ITS. Pagi ini sampai pada hadis nomor 198. Hadis yang diceritakan Nyai Aisyah ini menceritakan mandi atau yang kita kenal dengan siraman dari tujuh tempat atau “wadah” atau sumur, yang dalam tradisi kita, biasanya untuk acara-acara tertentu, misalnya siraman calon pengantin.
Demikian bunyi hadis tersebut:
ﻭَﻛَﺎﻧَﺖْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔُ ﺭَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﺗُﺤَﺪِّﺙُ: ﺃَﻥَّ اﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ، ﺑَﻌْﺪَﻣَﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﺑَﻴْﺘَﻪُ ﻭَاﺷْﺘَﺪَّ ﻭَﺟَﻌُﻪُ: «ﻫَﺮِﻳﻘُﻮا ﻋَﻠَﻲَّ ﻣِﻦْ ﺳﺒﻊ ﻗﺮﺏ، ﻟَﻢْ ﺗُﺤْﻠَﻞْ ﺃَﻭْﻛِﻴَﺘُﻬُﻦَّ، ﻟَﻌَﻠِّﻲ ﺃَﻋْﻬَﺪُ ﺇِﻟَﻰ اﻟﻨَّﺎﺱِ»
Aisyah menceritakan bahwa setelah Nabi shalallahu alaihi wasallam masuk ke kamarnya dan sakitnya semakin bertambah, Nabi bersabda: “Siramkan kepadaku tujuh wadah air yang masih tertutup itu, supaya saya mengenali orang-orang.”
Apa yang dimaksud tujuh wadah tersebut?
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan dalam Syarah-nya dengan menggunakan riwayat hadis lainnya:
ﻭَﻓِﻲ ﺭِﻭَاﻳَﺔِ ﻟِﻠﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲِّ ﻓِﻲ ﻫَﺬَا اﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻣِﻦْ ﺁﺑَﺎﺭٍ ﺷَﺘَّﻰ ﻭَاﻟﻈَّﺎﻫِﺮُ ﺃَﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﻟِﻠﺘَّﺪَاﻭِي
Dalam riwayat Thabrani tentang hadis ini: “Dari sumur yang berbeda-beda”. Secara lahiriah atau zahir hal tersebut adalah untuk pengobatan (Fathul Bari 1/303).
Ternyata ada juga siraman tujuh sumur di zaman Nabi? Kalau dipraktekkan hari ini akan dianggap klenik bahkan dituduh syirik.
Kedudukan Hadis
Hadis Thabrani di atas dinilai mencapai derajat “hasan” oleh Al-Hafidz al-Haitsami. Beliau dan Imam Ibnu Hajar al Asqalani adalah sama-sama muridnya al-Hafidz al-Iraqi. Bedanya Imam Al-Haitsami ini diambil mantu oleh gurunya. Maka tidak aneh jika zaman sekarang ada santri yang pandai kemudian diunduh mantu oleh gurunya.
Nah, bagaimana? Masih menuduh klenik dan syirik?