Tersebutlah nama Bullah Shah (w. 1757 M), seorang penyair dan sufi dari Punjab. Dikisahkan, di usianya yang masih sangat belia beliau dikirim ke sebuah pesantren. Di sana beliau belajar menulis aksara Arab.
Hari berganti, minggu berlalu, Bullah hanya mahir menuliskan satu huruf, Alif. Sang guru yang mengajarinya tak tahu lagi bagaimana cara agar Bullah mampu menguasai semua huruf sebagaimana anak-anak sebayanya.
Sang guru menyerah. Bullah Shah dipulangkan ke orang tuanya. “Anakmu tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas, saya tidak bisa lagi mengajarinya.” Demikian ucap sang guru sebelum meninggalkan Bullah Shah bersama orang tuanya dalam kekecewaan.
Berbagai cara dilakukan oleh orang tua Bullah agar ia bisa mahir, beberapa guru pun dipanggil untuk mengajarnya. Tetapi tetap juga tak ada kemajuan. Hanya Alif yang bisa ia tuliskan dengan benar.
Bullah muda akhirnya melarikan diri dari rumah, berharap mampu menghilangkan kekecewaan sang guru dan orang tua.
Dia melarikan diri ke hutan. Hanya Alif yang bisa ia tuliskan. Dan ketika berada di dalam hutan, segala sesuatu memanifestasikan diri menjadi Alif: rumput, daun, pohon, tangkai, buah dan bunga; Alif termanifestasi dalam bentuk gunung dan bukit, batu dan karang; kuman, serangga, burung dan binatang juga menjelma Alif.
Alif yang ada dalam dirinya, juga semua manusia; Alif, hanya huruf yang bisa ia tuliskan. Dia memikirkan Satu, Alif, melihat Satu, merasakan Satu, menyadari Satu, dan tak ada yang lain.
Menyadari bahwa apa yang dijumpainya adalah manifestasi yang selama ini ia pelajari di pesantren, Bullah lalu bergegas menemui gurunya untuk memberikan penghormatan. Sang guru, yang terserap dalam visi keragaman sebagai puncak keilmuan, telah lama melupakannya. Tetapi Bullah Shah tidak bisa melupakan sang guru.
Dia membungkukkan jiwa dan hati, berkata, “Saya telah menguasai satu-satunya pelajaran yang telah Anda ajarkan. Maukah Anda mengajari saya apa saja yang mungkin bisa saya pelajari lagi?” Sang guru, yang lebih terbuai pada kecakapan murid-muridnya yang lain, berkata, “Tulis saja di papan tulis.”
Bullah meraih alat tulis dan mulai mengukir huruf Alif. Hanya huruf Alif. Huruf itu lalu menjadi dua tiga, dan seterusnya; menjelma huruf-huruf yang lain. Sang guru terkejut dengan keajaiban yang telah dipelajari murid terbodohnya, “Engkaulah guruku! Apa yang telah engkau pelajari dari Alif, tak pernah bisa aku kuasai dengan seluruh ilmuku.”
Dalam suasana itu, Bullah Shah berkata:
Hai, Kawan, berhentilah mencari kebenaran
Hanya Alif yang kita butuhkan
Engkau telah mengisi pikiranku
Dengan buku-buku
engkau mengisi ruang-ruang hatimu
Namun pengetahuan sejati sirna
Dengan mencari segala yang salah
Puisi ini digubah dalam bahasa Punjab dan dinyanyikan dengan indah oleh Abida Pareveen dan Nazrat Fateh Ali Khan; dan cerita Bullah kecil yang sangat masyhur tersebut dikisahkan kembali oleh Hazrat Inayat Khan dalam buku The Inner Life (1979).
Kisah Bullah Shah adalah penggambaran pemahaman sufisme tentang huruf. Alif adalah huruf pertama dalam alfabet sekaligus merujuk pada kata Tuhan. Dalam tasawuf, Alif adalah huruf yang melahirkan huruf-huruf lain. Mirip kisa Alkitab dan al-Qur’an tentang Adam yang diciptakan langsung oleh Allah, yang pada gilirannya dari Adam lahir manusia.
Al-Muhasibi (w. 857 M), seorang psikolog yang terpengaruh ide sufisme yang kuat, membuat anasir yang sangat terang:
“Ketika Tuhan menciptakan huruf sebagai bahasa untuk menyembah-Nya, huruf-huruf itu pada mulanya dalam bentuk Alif. Tetapi hanya Alif yang mempertahankan bentuknya sebagaimana pertama kali ia diciptakan.”
Seni dan Kesadaran Ruang antara Manusia dan Tuhan
Meski Alif memiliki posisi khusus dalam tasawuf, tetapi semua huruf yang telah berkembang melahirkan kata dan bahasa juga memiliki dimensi mistisnya masing-masing. Setiap huruf merupakan manifestasi dari atribut dan nama Tuhan. Secara bersama-sama, huruf membentuk bahasa untuk menyebut Tuhan dalam berbagai rupa, juga memanifestasikan Tuhan dalam dirinya masing-masing. (Lebih lanjut baca Futuhat al-Makkiyyah terjemahan Harun Nur Rosyid)
Titus Burckhardt (1976) menggambarkannya dalam dua dimensi: vertikal dan horizontal. Dalam dimensi vertikalnya, setiap huruf memiliki martabat yang hieratikal; dan dimensi horizontal menjadikan huruf saling terhubung. Dimensi vertikal dari huruf tidak akan pernah berubah, bagaimana pun ia ditulis dan dipakai dalam berbahasa. Sedangkan dimensi horizontal huruf akan terus berubah.
Dalam kisah Bullah Shah, sang guru melihat jalinan huruf, kata dan bahasa dalam dimensi horizontal, sedangkan Bullah Shah telah mencapai hakikat huruf dalam dimensi vertikal.
Pemahaman ini sampai pula pada bentuk-bentuk berkesenian dalam Islam. Pada masa lalu, kaligrafi yang paling indah di Turki adalah karya yang mampu menyamai Hafiz Osman sebagai penemu model kaligrafi Hilya. Dalam syair, gubahan yang paling bisa mengakomodasi segala terma persajakan Arab adalah karya terbaik. Atau dendang musik terbaik adalah nada-nada yang mampu mengantarkan pada Penyatuan Tuhan dan Manusia secara terus-menerus.
Namun bukan berarti kesenian dalam Islam tidak memiliki pembaharuan. Mari kita buka kembali lembaran-lembaran pemikiran Sir Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Menurutnya, di dalam tradisi sufisme yang terus berjalin kelindan dengan kesenian, terdapat pula pemahaman bahwa segala unsur kemanusiaan, baik akal dan hati, memilki jalan masing-masing untuk sampai pada pemahaman yang utuh tentang Tuhan dan Agama. Setiap individu memiliki kebebasan dalam berpikir dan berimajinasi. Pada titik tertentu, di mana akal dan hati tidak bisa lagi menembus dindind-dinding ketuhanan, akal dan hati telah sampai pada Tuhan dengan bentuknya yang beragam.
Dimensi vertikal dalam seni kaligrafi adalah keterhubungan penciptanya dengan Pencipta Tertinggi. Kita jarang menemukan seni yang secara langsung berhubungan dengan aspek peribadatan selain kaligrafi. Pada jalinan huruf dan bentuk-bentuk khat yang tetap, lanjut Burckhardt, di sanalah para sufi menyembunyikan getaran-getaran cinta pada Tuhan, Alquran dan Nabi-Nya.
Dimensi vertikal menyatu dengan dimensi horizontal, sebagaimana penyatuan para sufi antara realitas dunia dan ilahi. Kita bisa menyaksikan, akhir abad 18 dan abad 19, karya-karya kaligrafi didominasi oleh bentuk tumbuhan, hewan dan berbagai benda.
Di sana, orang-orang bernaung dari ketatnya hukum fikih yang melarang menggambar segala bentuk makhluk hidup. Lantas pada abad selanjutnya, di mana hukum fikih mulai meluruh, keindahan-keindahan kaligrafi terbentuk dari pencarian bentuk khat dan menggabungkannya dengan warna dan motif.
Muhammad dan Kaligrafi
Pertauatan antara dimensi ilahiah, sosial dan kultural, mengantarkan saya pada pameran kaligrafi internasional bertema “Muhammad” di salah satu sudut kecil dari riuhnya pengetahuan UIN Sunan Kalijaga.
Saya berdiri, menghadap 27 kaligrafi yang dipajang sekenanya dalam ruang yang sangat sempit. Begitu sempit, dan tak pernah saya bayangkan sebuah pameran lukisan menempati galeri sekecil ini. Satu dua orang mahasiswa berlalu, beberapa duduk melingkar di sekitar masjid yang begitu luas.
Sesaat, saya merasa menjadi Bullah Shah di dalam kesunyian hutan, menemukan segala yang ada menjadi Alif. Alif yang telah menjelma menjadi beragam huruf, kata dan bahasa; Alif yang membentuk jalinan warna; Alif yang merangkum perkembangan kaligrafi dari masa ke masa; Alif yang memotret segala perasaan dan peribadatan manusia.
Tapi saya telah lama menjadi sang guru yang dibebani beragam buku dan ilmu pengetahuan, guru yang menjejali pikirannya dengan mengetahui kesalahan-kesalahan manusia dan sejarah. Keterpukauan saya pada dimensi horizontal sebuah kaligrafi sejatinya lebih kuat dibanding dimensi vertikal.
Maka saya melihat betapa kaligrafi-kaligrafi itu menyampaikan berbagai permasalahan sosial dan kultural yang melatari mereka berada di dalam ruang pameran. Sebuah kaligrafi yang lahir dari tangan kaligrafer Turki memperlihatkan benih-benih pemberontakan pada gaya Hilya, dengan tidak lagi memakai khat baku Tsuluts dan Naskhi. Begitu pula, beberapa kaligrafi dari Malaysia yang masih berkutat pada bentuk kaligrafi dan gambar. Atau upaya Zeinab Babayi dari Iran untuk menunjukkan kaligrafi dengan khat Shekasteh, Keresymeh dan Safir yang tak banyak dikenal di Indonesia.
Namun, apa yang dikerjakan Robert Nasrullah, membawa saya menyusuri ruang-ruang keberagamaan Indonesia yang kian hari kian riuh. Penggunaan warna, penggabungan aksara Arab dan Latin, gambar-gambar yang realis, seakan masuk dalam kanvas menjadi akumulasi dari kerinduan Robert akan sosok Sang Nabi, kerinduan akan Alif yang sunyi di tengah agama yang semakin taktis dan kehilangan dimensi vertikalnya.
Di hadapan lukisan Robert, saya tertunduk dan berdoa, di antara lekuk-lekuk garis, jalinan huruf, kata, bahasa, ilmu pengetahuan dan kesenian. Akankah kita bisa mengembalikan segalanya pada Alif yang Satu, di mana semua mulai terwujud?