Seringkali detail-detail kehidupan ternyata menimbulkan banyak problemnya sendiri. Semakin rasa keingintahuan itu muncul, semakin pula getir demi getir akan dirasa setelahnya. Alih-alih jawaban dari rasa penasaran itu bisa mengobati, justru yang kadang terjadi adalah fakta sebaliknya.
Gambaran ini seperti kisah sahabat Nabi saw yang bertanya perihal kedua orang tuanya, apakah mereka selamat dari api neraka atau tidak? Jawaban pertama Nabi saw cukup tegas “bapakmu di neraka” yang spontan membuat hati sang penanya langsung down. Bagaimana tidak? coba rasakan bersama, seandainya kita diberi kabar bahwa bapak kita berakhir di neraka, pasti hati kita akan hancur berkeping-keping, terlebih kabar itu berasal dari seorang Nabi-yang mustahil berbohong-.
Dikarenakan mendengar jawaban seperti itu, respon tubuh sang penanya langsung kentara, terlihat dari muka yang berubah murung. Maka setelah itu, Nabi saw menjawab untuk yang kedua kalinya: “bapakku dan bapakmu di neraka kok”, mendengar itu sang penanya langsung sumringah. Pada dasarnya jawaban ini lebih tepatnya untuk mengurangi kegalauan sang penanya tadi. Namun apakah ini sekadar pelipur lara atau memang kenyataan yang sebenarnya?
Namun pertanyaan yang lebih patut dilontarkan lebih dulu adalah apakah orang tua Nabi saw termasuk ahli fatrah? Untuk itu ada baiknya sebelum merambah ke situ, mempertanyakan kembali wacana yang lebih mendasar, yaitu apa taklif itu sendiri? karena pembahasan ahli fatrah tidak akan muncul jika tidak terlebih dahulu diawali dengan pembahasan taklif.
Jika merujuk kitab-kitab babon-klasik jamak ditemukan bahwa taklif adalah menetapkan sesuatu dengan tuntutan/kewajiban atau juga menghendaki adanya perbuatan yang terkandung di dalamnya suatu kesukaran. Sedangkan syarat-syarat taklif sendiri adalah baligh, berakal, sampainya dakwah-dengan model yang benar- kepadanya-, dan terakhir tidak cacat. Dari sini kiranya bisa kita tarik kesimpulan bahwa ta’rif (pengertian) dari mukallaf adalah seorang baligh yang sudah menerima dakwah dan tidak cacat. Sekarang tinggal proses Tahrir at-Ta’rif atau membedah definisi secara lebih mendalam.
Pertama, “baligh” berarti mengecualikan anak kecil, yang bahkan anak kecil dari orang yang kafir sekalipun. Terlepas dari pendapat Hanafiyyah yang mengatakan bahwa anak kecil dari seorang kafir masuk neraka, pendapat ini didasari karena menurut mereka adanya akal sudah cukup menjadikan seseorang untuk beriman. Kedua, “berakal” mengecualikan orang gila. Ketiga, “sampainya dakwah Rasul” ini berarti mengeluarkan orang-orang yang tidak tersentuh dakwah rasul seperti halnya manusia yang hidup di tengah hutan belantara atau di puncak gunung tertinggi. Keempat, “tidak cacat” dalam arti sempurna secara fisik normal, dengan ini orang-orang yang bisu sekaligus buta berarti tidak terkena taklif, karena mereka tidak termasuk salim al–hawas.
Pada poin ketigalah sebenarnya inti dari tulisan ini bermula, yaitu apakah cukup dakwah siapapun nabinya atau harus nabi yang diutus khusus kepada umatnya?. Pertanyan ini menjadi penting karena akan menentukan status ahli fatrah nantinya, dan pada giliranya akan diketahui status kedua orang tua Nabi saw.
Jawabanya dua. Pertama, yang mengatakan bahwa siapapun dakwah nabinya-walaupun itu nabi Adam as-karena mereka berargumen bahwa tauhid ini bukan termasuk dari kekhususan umat Nabi saw. Kedua, dan ini pendapat yang tahqiq mengatakan bahwa dakwahnya harus dari nabi yang diutus kepada umat tersebut.
Dua pendapat ini berimplikasi pada nasib ahli fatrah, maka jika merujuk pada pendapat pertama, si ahli fatrah akan masuk neraka, karena mereka terkena taklif, sedangkan jika merujuk pendapat yang kedua, berarti si ahli fatrah akan selamat, karena mereka tidak terkena taklif, mengingat definisi ahli fatrah -menurut madzab yang benar- adalah kaum yang hidup di antara dua dimensi kekosongan nabi atau kaum yang hidup di zaman rasul yang bukan diutus kepadanya.
Jika demikian adanya, berarti kedua orang tua Nabi saw itu “selamat”, mengingat mereka termasuk ahli fatrah, karena fakta mereka yang hidup di antara dua masa kenabian dan ahli fatrah -menurut pendapat yang kedua- selamat dari api neraka.
Dari hal yang sudah jelas-jelas ini, banyak di luar sana orang-orang yang masih beranggapan bahwa kedua orang tua Nabi saw meninggal dalam keadaan kafir. Bahkan ada satu riwayat yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, bahwa beliau mengatakan kedua orang tua Nabi saw meninggal dalam keadaan kufur. Statement ini ada di kitab fiqh al-Akbar yang dinukil oleh Mulla ‘Ali Qori.
Namun setelah diteliti kembali, dalam kitabnya -Ad-Adakho’ir- Abuyya Sayyid Alawi al-Maliki al-Hasani beliau menemukan catatan Sayyid Mustofa al-Khamami “saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, yang dinukil oleh Mulla ‘Ali Qori yang mengatakan “kedua orang tua Nabi saw meninggal dalam keadaan kufur” adalah keliru, yang benar adalah “kedua orang tua Nabi saw meninggal dalam keadaan fitrah dan Abu Thalib dalam keadaan kufur”.
Sayyid Khamami mengatakan telah menemukan redaksi ini-yang kedua-dalam manuskrip yang tersimpan di Maktabah Syaih al-Islam Madinah, yang konon katanya telah ditulis sejak zaman Abbasiyyah, artinya keontetikan manuskrip ini tidak perlu ditanyakan lagi.
Terakhir, sebenarnya apa urgensitas tema ini dalam dunia hari ini?, jawabanya akan kita temukan jika kita mengingat salah satu sabda Nabi saw “ janganlah memanggil kafir sehingga kamu membuat sakit hatinya” konteks ini penulis kira masih umum, artinya Nabi saw sedang menasihati para sahabatnya agar tidak terlampau dalam memanggil orang-orang kafir di sekitarnya. Memanggil yang sampai orang kafir sendiri merasa dikucilkan, termarjinalkan, ini tidak lain ajaran bagaimana bermuamalah dengan sesama manusia. Inilah ajaran Nabi kita, ajaran islam. Dalam konteks yang lebih khusus maka melebelkan kufur terhadap orang tua Nabi saw penulis rasa terlalu berlebihan, atau bisa juga termasuk menyakiti hati Nabi saw dan ini sangat dicekam dalam surat at-Taubah Dan hemat penulis dunia hari ini absen dengan ajaran-ajaran toleran dan saling menghargai. Di sinilah peran tema ini dalam kehidupan modern, yaitu untuk menumbuhkan kembali rasa saling menghargai dan menyayangi.
Sumber bacaan :
- Tuhfah al-murid ‘ala jauhar at-Atauhid, karangan Imam al-Bajuri, tahkikan Syech ali jumah
- Syarh as-Sowi ‘ala jauhar at-Tauhid, karangan Imam Sowi, tahkikan dr. Abdul fattah bazam
- Adakhoir al-Muhammadiyyah, karangan Sayyid Muhammad ibn Alawi al-Maliki