Bagi masyarakat Arab Jahiliah bersyair menjadi bakat alami. Mereka berlomba-lomba menciptakan syair dan mendendangkannya di hadapan publik dan di tempat-tempat tertentu; di antara tempat yang paling terkenal adalah pasar Ukaz, Dzil Majinnah, dan Dzil Majaz.
Bagi mereka, syair merupakan produk dari kreatifitas berbahasa yang sangat dibanggakan. Syair mempunyai posisi yang sangat penting dan sentral di tengah kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah.
Mengenai seberapa jauh pentingnya syair bagi masyarakat Arab, Ibnu Khaldun mengilustrasikan bahwa syair, atau puisi dalam bahasa kita, adalah seni berbahasa tingkat tinggi. Ia menjadi medium untuk mengabadikan pengalaman dan peristiwa historis yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Arab Jahiliah. Oleh karena itu, syair dijadikan sebagai rujukan pengetahuan mereka. Bahkan mereka menjadikan syair sebagai salah satu patokan untuk menilai kualitas dan kehebatan seseorang.
Lebih dari itu, Ibnu al-Nadim melalui kitab al-Fihrst menceritakan bahwa masyarakat Arab Jahiliah, dalam titik tertentu, mensakralkan syair. Mereka meyakini pensakralan terhadap syair ini menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari agama. Maka tidak mengherankan jika mereka mendendangkan syair untuk keluarganya yang mati. Bahkan tak jarang sebagian mereka tidak akan mendendangkan syair jika tidak dalam kondisi suci (berwudu).
Masyarakat Arab Jahiliah sangat menghormati seorang penyair. Mereka memuja dan menempatkan seorang penyair sebanding dengan posisi seorang nabi di hadapan umatnya. Seseorang belum bisa dianggap sempurna jika dia tidak mendendangkan syair. Bagi mereka, penyair adalah seorang filosof (hakim) dan sosok alim (berilmu).
Masyarakat Arab sangat menjaga tradisi syair dengan mewariskannya dari generasi ke generasi. Mereka mendokumentasikan dan meriwayatkannya kepada cucu-cucunya.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan, konon Raja Nu’am bin Mundzir memerintahkan bawahannya untuk menulis syair dan menyimpannya kedalam sebuah peti. Kemudian peti itu ditimbun dalam tanah di tengah istananya yang megah. Ketika suatu saat Mukhtar bin Abi Ubaid al-Tsaqafi datang menghadapnya, Raja Nu’man mengatakan: “Di bawah istana ini terdapat peti. Galilah dan keluarkan syair-syairnya.” Karena upaya Raja Nu’man inilah, masyarakat Kufah lebih hebat pengetahuan syairnya dibanding dengan masyarakat Basrah.
Dalam ruang sosial di mana syair memiliki akar yang kuat di tengah masyarakat Arab Jahiliah seperti itulah, Rasulullah saw diutus sebagai rasul untuk mendakwahkan Islam. Ketika itu, ada anggapan bagi masyarakat Arab bahwa nabi Muhammad adalah tidak jauh berbeda dengan seorang penyair. Maka, Alquran menegaskan bahwa “al-Qur’an bukan ucapan seorang penyair. Sedikit sekali dari mereka orang yang mau beriman” (QS al-Haqqah: 41). Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah saw bukan seorang penyair dan Alquran bukan produk dari penyair itu.
Status kenabian Rasulullah saw dan wahyu yang diturunkan kepadanya, tidak membuat Islam menutup diri dari syair dan penyair. Nabi Muhammad saw tidak sepenuhnya menjauhi dan menolak syair sebagai tradisi yang memiliki akar sosiologis kuat di tengah masyarakat Arab Jahiliah. Memang seperti digambarkan Alquran bahwa para penyair diikuti oleh orang-orang yang sesat, serta mereka hanya bermain kata-kata dan sebatas bicara saja, perbuatannya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan (QS. Al-Syu’ara’: 224 – 226). Penggambaran Alquran terhadap penyair seperti itu, tidak dalam konteks memutus relasi dengannya, tetapi sebagai kritik terhadap prilaku penyair yang identik dengan suka membual (bohong).
Peringatan senada juga disampaikan oleh Rasulullah saw, agar kita berhati-hati pada tipuan kata-kata. Nabi saw pernah mengatakan “Sesungguhnya diantara untaian kata yang jelas (al-bayan) adalah sihir.” Artinya, bahwa ada kekuatan dalam untaian kata-kata, yang dapat memperdaya (menyihir) seseorang. Seseorang harus memiliki kesadaran kritis untuk tidak terjebak pada untaian kata-kata yang bayan.
Nabi Muhammad saw menyadari sepenuhnya, bahwa syair hanyalah media untuk menyampaikan pesan. Pesan menjadi esensi dan bukan syairnya. Kalau syair dijadikan sebagai medium untuk menyampaikan kejelekan, maka di sini Rasulullah tidak membolehkan dan bahkan mencelanya. Maka, beliau mengecamnya, “mulut seseorang yang dipenuhi nanah lebih baik daripada mulut seseorang yang dipenuhi syair.”
Tetapi sebaliknya, tak jarang Rasulullah memuji sahabat yang fasih bersyair dengan konten-konten yang mendukung kebenaran dan dakwah ketauhidan. Zaid bin Tsabit mungkin menjadi contoh dari salah satu sahabat yang syairnya mendapatkan apresiasi baik dari Rasulullah saw.
Lebih jauh, nabi Muhammad saw tidak menjaga jarak dengan tradisi bersyair yang mengakar kuat di tengah masyarakat Arab Jahiliah. Mendengarkan dan mendendangkan syair bukan hal tabu yang harus dijauhi. Masalahnya bukan pada syairnya, tetapi bagaimana penyair menjadikannya sebagai media untuk konteks dan tujuan kebenaran/kebaikan.
Dalam sebuah cerita yang datang dari Amr bin Syarid disebutkan, bahwa “Aku berada di belakang Rasulullah saw. “Apakah kamu punya syair Umaiyyah bin Abi Shalt?” Tanya beliau kepadaku. Akupun menjawab: “Ada”. Rasulullah pun berkata: “Tolong dendangkan satu bait saja”. Maka aku pun mendendangkannya sampai seratus bait. Dan beliaupun mengatakan: “Umaiyyah hampir saja Islam dengan syair-syairnya”.
Bahkan dalam cerita lain, Rasulullah saw pun mendengarkan dendangan syair sambil menggerak-gerakkan salah satu anggota tubuhnya. “Pernah suatu malam saat dalam sebuah perjalanan, Rasulullah saw meminta kepada Hasan bin Tsabit untuk diperdengarkan syair. “Mana Hasan?” Tanya Rasulullah. “Hadir, wahai Rasulullah,” jawab Hasan. “Tolong dendangkan satu syair,” pinta beliau.
Lantas, Hasan bin Tsabit mendendangkan bait-bait puisi, hingga beliau pun menikmati dan menggerak-gerakkan anggota tubuhnya. “Nah, yang seperti ini lebih kuat daripada pengaruh orang yang cerdik,” sambut Rasulullah.
Cerita-cerita seperti itu, setidaknya menginspirasikan kepada kita betapa Rasulullah saw begitu dekat dengan tradisi bersyair. Syair tidak saja dijadikan media untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan, tetapi juga sebagai penghibur kepenatan dan kesedihan.
Saya membayangkan betapa merakyatnya dakwah yang dilakukan oleh Nabi saw, sampai-sampai beliau larut dalam untaian bait-bait puisi. (aa)