Dahulu, pada medio 1980-an atau jauh sebelumnya, santri jamak dikenal sebagai sosok yang ahli tirakat. Tidak heran bila laku hidup kesehariannya pun banyak dihabiskan untuk puasa, membaca pelbagai hizib, berlatih pencak silat, munajat di tempat-tempat yang dipandang angker dan menjalani laku hidup penuh dengan kesederhanaan. Sementara hal-hal yang menyangkut dengan persoalan keilmuan ‘ditangguhkan’ terlebih dahulu.
Kondisi tersebut tidak bisa dilepaskan dengan perlawanan kaum santri terhadap penjajah untuk mengantarkan negeri ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa pesantren merupakan salah satu komunitas paling heroik yang melawan penjajahan. Karenanya dari rahim pesantren ini pula lahir pasukan perlawanan seperti laskar Hizbullah dan Sabilillah yang dikomando oleh para kiai. Beberapa pesantren juga menjadi markas berkumpul laskar Hizbullah maupun Sabilillah untuk menyusun strategi perlawanan.
Dari segi peralatan perang laskar Hizbullah dan Sabilillah jelas kalah canggih, tapi tidak dengan semangat perlawanan yang terus bergelora. Karena itu, laskar Hizbullah maupun Sabilillah dibekali dengan peralatan perang ‘gaib’ berupa ilmu kanuragan dan bela diri atau hizib-hizib kekebalan oleh para kiai.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945 dan penjajah telah angkat kaki dari bumi Indonesia kegemaran santri akan ilmu kanuragan, bela diri, dan bacaan pelbagai hizib tidak luntur begitu saja. Apalagi saat Orde Baru berkuasa, tindakan represif aparat keamanan yang berbuah konflik-konflik sosial mengganggu psikologi publik untuk hidup rukun berdampingan.
Diakui atau tidak, hal tersebut telah ikut menyuburkan minat santri akan ilmu kanuragan. Seperti zaman penjajahan, di beberapa pesantren santri yang tergolong senior digembleng langsung oleh kiai untuk belajar ilmu kanuragan. Bahkan, ada beberapa pesantren yang lebih fokus mengajarkan pelbagai ilmu kanuragan.
Di Madura, petuah leluhur juga punya pengaruh terhadap kegandrungan santri akan ilmu kanuragan atau bela diri. Bahwa mondok itu yang harus digeluti bukan hanya bisa baca kitab kuning dan mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Tak kalah penting adalah ilmu kanuragan.
Sebelum berbaur dengan masyarakat ia juga harus mempersiapkan diri dari ‘musuh’ yang dapat mengancam keselamatannya suatu waktu. Karena ada saja masyarakat yang usil yang akan mengetes keampuhan santri tersebut dalam urusan ilmu kanuragan.
Di samping itu, ilmu kanuragan juga bisa dijadikan sebagai salah satu media dakwah. Ibaratnya, bila kita ingin menolong anak kambing yang terjerumus dalam kali. Tidak bisa hanya dengan berteriak menyuruhnya untuk naik atau melempar tali sebagai pegangan, karena anak kambing jelas tak mengerti. Langkah paling memungkinkan kita berhasil adalah terjun langsung ke dalam kali dan mengangkat anak kambing tersebut dari dalam kali.
Di dalam pergaulan dunia hitam seseorang hanya dapat dijadikan panutan bila ilmu yang dimiliki berada di atas rata-rata. Karenanya, adakah aral melintang bagi sang panutan apabila mengajak teman-temannya untuk kembali ke jalan yang lurus? Tentu terlepas dari campur tangan adanya hidayah dari Tuhan.
Untuk memperoleh ilmu kanuragan atau bela diri cukup jarang santri yang langsung memintanya pada kiai, sebab sungkan. Ilmu kanuragan atau bela diri itu didapat dari hasil ia berkelana ke beberapa kiai di luar pesantren yang terkenal memiliki ilmu kalalakèan. Kiai dimaksud biasanya biasanya juga alumni pesantren yang sama atau dari pesantren lain. Untuk menemui kiai yang memiliki ilmu kalalakèan (identik dengan ilmu kebal) itu santri diam-diam keluar tanpa izin dari pengurus pesantren. Kalau pun izin mereka tak berterus terang perihal maksud dan tujuannya.
Media yang digunakan dalam ilmu kanuragan, untuk mendapatkan kekebalan tubuh misalnya, tidak melulu memakai teks bacaan. Tapi juga melalui pelbagai ritual atau syarat tertentu yang harus dilalui, sekaligus beberapa pantangannya.
Kegemaran santri akan ilmu-ilmu kanuragan atau bela diri menimbulkan beberapa ekses negatif. Karena selalu timbul hasrat untuk mencoba keampuhan hizib atau ilmu kanuragan yang dimiliki. Syahdan, suatu waktu seorang guru baru tak betah bila mengajar di kelas kami. Usut punya usut, guru baru yang tak berlatar belakang pesantren, itu telah dikena hizib salah satu santri.
Di kalangan santri pun ekses negatif dan kenakalan kecil seperti tersebut di atas memang kerap terjadi, yang sifatnya lebih pada kedaerahan atau kesukuan. Tapi tak pernah pecah kongsi apalagi sampai menumpahkan darah. Karena, sekuat apa pun ego antarkelompok atau setinggi apa pun ilmu kanuragan yang dimiliki, akan luntur di hadapan kiai. Demikian keyakinan yang tertanam pada diri setiap santri.
Di samping ilmu kanuragan santri juga mengenal ilmu mahabbah. Ilmu ini digunakan khusus untuk menaklukkan ‘kerasnya’ hati seorang perempuan. Adagium yang berkembang di kalangan santri, bila dibacakan mahabbah jangankan perempuan, hewan sekalipun yang tak berakal akan klepek–klepek dibuatnya. Mahabbah kebanyakan memakai media teks atau bacaan yang dibaca pada waktu tertentu, menyebut nama, tanggal lahir, orangtua perempuan yang dituju misalnya.
Selain ilmu kanuragan atau bela diri (dan mahabbah) seperti tersebut di atas, petuah leluhur Madura juga menekankan kepada santri untuk belajar dan mendalami kètab potèh. Sebuah kitab yang tak beraksara.
Tentu ini adalah pameo yang bermaksud supaya seorang santri mendahulukan dan tidak melupakan keluhuran budi pekerti. Sedemikian rumitnya pelbagai wacana keagamaan, di mata orang Madura, tetap bisa dipecahkan dan kelak dapat dikuasai atau dipahami jua. Ini karena pelbagai wacana keagamaan tersebut ada ‘teks’ tertulisnya.
Berbeda dengan budi pekerti yang lebih menitikberatkan pada aspek laku, bukan pemikiran. Karena kalau sudah bilè bhè-bhè tè’ ta’ e kènnèng ote’ (perilaku buruk maupun baik bila sudah menjadi karakter susah untuk diubah). Memang ada ‘teks’ yang mengurai tentang budi pekerti, walau sedikit, tetapi menjadi percuma bila tak diwujudkan dalam interaksi hidup sehari-hari. Itulah yang disebut kètab potèh di kalangan orang Madura.
Kètab potèh menjadi kian penting untuk mengembalikan manusia ke jalur kemanusiaannya. Sebab bagi seseorang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi (dan ilmu-ilmu lainnya), godaan untuk sombong, riya’, ujub dan sifat-sifat semacamnya dengan mudah datang setiap saat. Dan bukan tidak mungkin ia akan lepas dari jalur kemanusiaannya itu -pada akhirnya akan memandang rendah setiap mereka yang liyan.
Oleh karena itu, kètab potèh diajarkan terlebih dahulu di kalangan santri zaman dahulu dan beberapa langgar di Madura. Seperti menyajikan kopi pada tamu, turun dari kendaraan bila berjumpa dengan yang lebih tua, memakai bhàsa alos (strata bahasa atas di Madura), dan begitu seterusnya.
Kini, zaman telah berubah. Masihkah kètab potèh menjadi perhatian utama di kalangan santri, khususnya di Madura. Atau lebih mendahulukan dan mementingkan kecerdasan otak? Wallahu ‘alam