Satu nama ulama hadis keturunan Padang Sumatera yang cukup disegani oleh dunia internasional adalah Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani. Beliau lahir di Makkah tanggal 17 Juni 1915 dan meninggal dunia di Makkah tanggal 20 Juli 1990. Beliau mendapatkan gelar al-musnid al-dunya (pemilik sanad hadis terbanyak di dunia) karena kepakarannya di bidang periwayatan hadis.
Seperti pendahulunya, Muhammad Yasin al-Fadani juga belajar sekaligus mengajar ilmu hadis di Makkah. Banyak pelajar dari Indonesia di Makkah yang berguru sekaligus mencari ijazah sanad hadis darinya.
Muhammad Yasin al-Fadani termasuk salah satu pendiri madrasah Darul Ulum Makkah, bahkan tercatat sebagai wakil direkturnya. Pendirian madrasah Darul Ulum dilatarbelakangi oleh konflik di yayasan Shautiyyah, almamater Muhammad Yasin al-Fadani, yang menyinggung perasaan para pelajar dari Asia Tenggara. Dengan sifatnya yang santun dan sederhana, Muhammad Yasin al-Fadani mampu memukau para pelajar dari Asia Tenggara, terutama Indonesia, untuk bergabung di madrasah Darul Ulum Makkah. Di samping memiliki kekuatan emosional yang baik, kedalaman ilmu agama yang dimiliki Muhammad Yasin al-Fadani memberikan kemudahan baginya untuk menjelaskan materi-materi kepada muridnya.
Muhammad Yasin al-Fadani termasuk orang yang low profile. Kesederhanaan yang ditampilkan membuat banyak ulama-ulama terkemuka mendatanginya untuk mendiskusikan perkembangan Islam. Apalagi saat musim haji tiba, ia justru sengaja mengundang sahabat-sahabatnya ke rumah sambil minum teh dan menghisap shisha, semacam rokok Arab. Karena sering berdiskusi dengan ulama-ulama lain, Muhammad yasin al-Fadani mampu membukukan pergulatan ilmiahnya hingga lebih dari 100 judul kitab. Salah satunya adalah kitab berjudul al-Arba’una Haditsan min Arba’ina Kitaban ‘an Arba’ina Syaikhan yang berisi tentang 40 hadis dari 40 kitab dari 40 guru. Kitab ini kemudian dikenal dengan hadis Arba’in Yasin al-Fadani.
Kitab hadis Arba’in Yasin al-Fadani diselesikan pada tahun 1363 H. di Makkah.
Setidaknya ada beberapa alasan beliau menuliskan hadis berjumlah 40; pertama, di muqaddimah ia mengutip Qs. Al-A’raf: 142:
وَوَاعَدْنَا مُوسَىٰ ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ.
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh, maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “gantikanlah aku dalam kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”
Juga hadis Nabi Saw. berikut:
من حفظ على أمتي أربعين حديثا ينتفعون بها بعثه الله يوم القيامة فقيها عالما.
Barang siapa dari umatku yang menghafalkan 40 hadis maka akan memperoleh manfaat dan Allah Swt. akan membangkitkannya pada hari kiamat sebagai kelompok orang-orang alim dan faqih.
Sistematika penulisan kitab hadis Arba’in Yasin al-Fadani memiliki keunikan tersendiri. Sebelum menyajikan matan hadis, Yasin al-Fadani memulai dengan menuliskan referensi pada kitab hadis induk serta mencantumkan penulisnya. Selanjutnya, apabila para penulis kitab hadis Arba’in yang lain menuliskan hadisnya mulai dari imam mukharrij (orang yang mengeluarkan hadis), Yasin al-Fadani justru menuliskan rangkaian sanadnya mulai dari dirinya sendiri hingga kepada periwayat hadis pertama, sehingga rangkaian perawi hadis menjadi panjang, karena Yasin al-Fadani memposisikan dirinya sebagai mukharrij hadis.
Sekalipun demikian, penulisan sanadnya dipisah dalam beberapa paragaraf dengan tujuan untuk membedakan rangkaian sanad asli dari perawi awal hingga para mukharrij dengan perawi setelah mukharrij hingga Yasin al-Fadani.
Di dalam pendahuluannya, Yasin al-Fadani menyebutkan 40 kitab hadis dari 40 guru hadis yang menjadi rujukan penulisan kitab hadisnya. Satu hadis yang ia tulis dinukilkan dari satu kitab hadis karya satu ulama. Inilah yang menjadi klaim Yasin al-Fadani sebagaimana ditulis dalam judul kitabnya. Konsekuensinya, hadis yang ia tuliskan tidak semua berkualitas shahih atau hasan. Sebagian kecil hadis yang di dalamnya berkualitas ghairu ma’ruf (tidak begitu dikenal), bahkan tidak teridentifikasi.
Beberapa tema hadis yang ia tulis memiliki sensitifitas tinggi bagi perdebatan teologis. Hadis ke-23 menjelaskan tentang anjuran untuk menghormati keluarga Nabi dan hadis ke 30 tentang kisah Nabi Saw. memilih Ali bin Abu Thalib sebagai suami Fatimah. Kedua hadis tersebut sangat familiar bagi kelompok Syi’ah dalam kitab mereka. Di sisi lain, Yasin al-Fadani menuliskan hadis ke-39 tentang laknat Nabi Saw. terhadap Mu’awiyyah bin Abu Sufyan ketika ia dipanggil namun tak kunjung datang karena sedang makan. Hadis ini sangat sensitif bagi kelompok Sunni.
Oleh karena itu, Yasin al-Fadani memberikan penjelasan, dengan mengutip pandangan al-Nawawi, bahwa laknat yang dimaksud justru bentuk perhatian Nabi Saw: Jika ada yang berkata: “bagaimana bisa Rasulullah Saw. mengutuk, mencaci, melaknat atau lainnya kepada orang yang tidak pantas dikutuk? Dalam hal ini ada dua pendapat ulama; Pertama, pada hakekatnya kutukan itu tidak dianggap oleh Allah Swt. karena kenyataannya kutukan itu merupakan bentuk penghargaan. Sebab itu, Rasulullah Saw. memberikan hak pada orang yang pernah beliau laknat berdasarkan syariat yang disampaikannya. Sebenarnya, Rasulullah Saw. tidak menginginkan hal itu, tetapi beliau diperintahkan untuk memutuskan sesuai yang dhahir (nampak) dan hal yang sir (tidak nampak) menjadi keputusan Allah Swt. Kedua, panggilan nama, laknat, dan caci maki yang penah dilontarkan oleh Rasulullah Saw. sebenarnya bukan keinginannya. Tetapi hal itu sudah menjadi tradisi bangsa Arab yang berkata tanpa niat untuk menyakiti, seperti perkataan: “di tanganmu ada tanda mandul dan serak sepertiku”. Juga dalam hadis dikatakan: “Semoga kamu cepat tua” atau dalam hadis yang diriwayatkan oleh Mu’awiyyah “semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya” dan lainnya.
Demikianlah hakekat panggilan yang kadang membuat Rasulullah Saw. takut bila hal itu bisa menimbulkan permasalahan. Sebab itu Nabi Saw. berdoa kepada Allah agar perbuatan itu (umpatan dan hinaan) dapat diganti dengan rahmat, penghapus dosa, pembersih, dan pahala. Kasus seperti ini jarang dan sangat langka terjadi pada diri Rasulullah Saw. Beliau tidak pernah berbuat keji, melaknat dan balas dendam terhadap dirinya sendiri. (Arba’in Yasin al-Fadani: 81-82).
Dengan menampilkan hadis-hadis dari dua pandangan teologi secara berimbang, nampaklah netralitas al-Fadani dalam menyelesaikan perdebatan antara Sunni-Syi’ah. Allahu a’lam.