Serat Wedharaga merupakan salah satu karya terkenal dari Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga terakhir dari Kraton Surakarta. Penulisan karya sastra ini ditandai dengan adanya candrasengkala yang berbunyi tursan rong sapteng lebu (1799 AJ) atau 1870/1871 Masehi.
Serat ini disusun dengan menggunakan tembang macapat Gambuh sejumlah tigapuluh delapan bait. Sebagaimana pernah dituliskan oleh Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita (1985), dalam Serat Wedharaga tidak ditemukan adanya sandiasma seperti karya sastra Ranggawarsita lainnya.
Sebagai karya sastra piwulang, karya Ranggawarsita ini merupakan pengaplikasian pengetahuan agama, etika, spiritual, dan ilmu-ilmu sosial lain menjadi satu kesatuan yang padu. Jika kita baca secara menyeluruh, terdapat pejelasan tentang pesan-pesan yang ditujukan untuk generasi muda. Pemuda yang baik adalah mereka yang mampu menjaga emosi dan hawa nafsunya, serta memosisikan kembali bagaimana kedudukan dirinya dengan Sang Pencipta.
Selain itu, pemuda yang baik selalu berusaha untuk mencari kembali jati dirinya dengan belajar ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan ilmu yang dipelajari tersebut akan menjadi bekal dan pedoman etis dalam menjalai kehidupan di masyarakat. Alangkah lebih baik jika pemuda itu tidak berbuat “mendukun” dengan cara berusaha sekuat tenaganya.
Melalui karya ini, Ranggawarsita hendak menjelaskan bahwa ada cara khusus dalam memandang pendidikan moral spiritual pemuda. Dari sekian sudut pandang yang ada, bisa disimpulkan menjadi tiga bagian: pengendalian diri, etika, dan perjalanan beragama. Semua aspek tersebut dijalani oleh individu pemuda dalam bentuk pemusatan individu atau kontrol diri (self-direction).
Menurut Towle & Cottrell dalam artikel Self-Directed Learning (1996), self-direction merupakan sebuah proses belajar dimana pelajar mengelaborasikan sumber, mitra, media, maupun teknik pembelajaran menurut pemikiran dan cara masing-masing. Ada tiga komponen dalam self-direction, yakni membangun basis keilmuan (building on prior knowledge), mempelajari konteks pembelajaran (learning in context), dan mengelaborasikan pengetahuan (elaboration of knowledge). Dalam pendapat Syamsu Yusuf sebagaimana ditulis oleh Fiah dalam Jurnal Konseli (2017), prinsip self-direction tidak bisa dipisahkan dengan kepercayaan diri (self-confident), kemandirian (self-reliance), dan pengendalian diri (self-control).
Menurut pandangan Ranggawarsita, tumbuh kembang seorang pemuda harus dijalani dengan mempertimbangkan kematangan usia pada umumnya. Ia memaparkan bahwa “berdukun” atau menjalani pola kehidupan orang tua tidak dianjurkan untuk pemuda. Sebenarnya boleh-boleh saja, akan tetapi pemuda perlu mengetahui ada beban tanggung jawab moral yang lebih besar untuk dia jalani di masa mudanya.
Hal ini dikuatkan dalam bait ke-3 bahwa hal yang paling penting bagi pemuda adalah membangun kompetensi diri dengan berikhtiar semaksimal mungkin. Artinya, Ranggawarsita menjelaskan bahwa kesadaran diri melalui logika bertindak perlu dibangun sejak awal dimana pemuda itu tumbuh step by step. Proses step by step inilah yang merupakan makna dari ipil-ipil kawruh atau belajar sedikit demi sedikit (dalam bait ke-9). Syaratnya adalah jangan malas untuk belajar dan jangan sungkan untuk bertanya (dalam bait ke-8).
Dari uraian diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa pengendalian diri merupakan upaya menumbuhkan kesadaran diri, bahwa kekuatan fisik dan mental pemuda harus diasah. Bahkan, bisa dikatakan unsur kemandirian ini sangat penting untuk diaplikasikan. Akan tetapi, dalam proses self-direction ini, Ranggawarsita tidak serta merta membebaskan seseorang untuk bertindak. Ia memiliki beberapa patokan khusus yang harus diperhatikan pelajar atau pemuda dalam mengarungi pendidikan menurut model self-direction ini.
Pertama, seseorang harus menyadari bahwa ilmu ataupun keterampilan itu dibawah adab. Seringkali kita melihat bahwa pemuda memiliki watak suka memunculkan dirinya dalam citra serba bisa. Menurut istilah Ranggawarsita, mereka boleh mendapatkan kelebihan ataupun “daya linuwih” dari kemampuan batin amardhukun tadi. Tetapi, sebaik-baik keterampilan adalah yang direalisasikan untuk kebaikan dan bisa dirasakan oleh orang banyak.
Elaborasi kawruh dengan laku menjadikan pemuda seharusnya tahu bahwa keilmuan hanyalah sarana untuk bersosialisasi dalam kehidupan di masyarakat. Diatas ilmu, masih ada adab dan tata krama yang harus dicamkan betul-betul. Jangan sampai keilmuan yang dimiliki menjadi bahan pembicaraan buruk di masyarakat.
Selain itu, dalam menuntut ilmu atau mengembangkan pengetahuan harus dilandasi rasa rendah hati. Dalam bait-baitnya, Ranggawarsita menjelaskan kisah seorang pemuda cerdas yang berdebat dengan orang tua. Tetapi, pemuda itu kalah gara-gara tidak berbanding dengan pengalaman laku yang dialami oleh orang tua. Sebenarnya ini wujud kritik bahwa sepandai-pandainya pemuda, tetap harus menghormati orang tua. Hal ini dikarenakan orang tua sudah mengalami banyak peristiwa dalam kehidupannya. Pemuda masih dalam tahap teoritis, sementara orang tua sudah masuk pada tataran praktis.
Hal yang kedua dan terakhir, dalam proses pendidikan self-direction ini mampu menjadi jalan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Banyak sekali pelajaran sejak zaman dahulu, bahkan sampai penjelasan tentang hal-hal yang akan datang. Hal ini bisa kita amati dari kisah perjalanan Nabi Khidlir A.S. dan Nabi Musa A.S. dalam mempelajari ilmu Allah Swt. Oleh karena itu, seseorang yang sudah ahli dalam bidang tertentu tidak diperkenankan untuk sombong, sebab diatas langit masih ada langit, diatasnya masih ada Sang Pencipta Langit yang menjadi sumber ilmu.
Dari uraian tersebut, muncul adanya pemuda yang kritis, aktif, dan tetap memiliki nilai etika dan pemahaman agama. Seorang murid hendaknya memperlihatkan sikap tawadhu’ dengan harapan agar mendapatkan berkah dari guru maupun restu dari masyarakat. Keberimbangan etos dan etis inilah yang menjadi tujuan yang diharapkan oleh Ranggawarsita, termasuk kita dan generasi yang akan datang.
Hal ini sesuai dengan kutipan yang disampaikan dalam bait ke-10, “Lamun wus sarwa putus kapinteran simpenen ing pungkur, bodhonira katokna ing ngarsa yekti, gampang traping tindak-tanduk, amawas pambekaning wong” yang artinya “jika seseorang sudah pintar segala hal, haruslah diletakkan di belakangmu, bersikaplah seperti orang yang bodoh (sederhana), hal ini memudahkanmu dalam bersosialisasi, serta memahami seluk-beluk kehidupan dunia ini.”