Sedang Membaca
Mengenal Ciri-ciri Ulama yang Introvert dan Ekstrovert (1)
Muhammad Sofiyulloh
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly Lirboyo Kediri asal Nganjuk.

Mengenal Ciri-ciri Ulama yang Introvert dan Ekstrovert (1)

Tak Perlu Takut Kearab-Araban

Di media sosial, acapkali kita mendapati ulasan yang menyoal introvert dan stigma positif atau negatif yang ada di baliknya. Tak jarang, setelah membaca ulasan itu, alih-alih memahami keniscayaan ragam kepribadian manusia, beberapa orang termasuk dari kalangan santri justru mendiskriminasi dan nge-judge kawannya yang ternyata introvert.

Padahal Carl Gustav Jung (1875 M – 1961 M), seorang pegiat psikolog di era psikoanalisis hanya menyematkan istilah introvert pada seseorang yang suka menyendiri, cenderung pendiam dan tidak mendapat energi atau gairah saat berbaur dengan banyak orang.

Hal ini berbeda dengan orang ekstrovert, mereka berciri senang bersosial, juga lebih terbuka. Arti sederhana dari keduanya, introvert adalah orang yang punya kebiasaan mengisi ulang energi dengan cara menyendiri. Orang ekstrovert justru energinya akan cepat habis jika meniru kebiasaan itu. Sederhana, sebatas itu. Introvert tidak berarti anti-sosial. Maka sekali lagi, ini hanya tentang bagaimana manusia mengisi ulang energinya untuk melanjutkan hidup.

Baik. Sekarang kita bahas stereotipe (anggapan-anggapan terhadap individu atau suatu kelompok) mengenai seorang introvert. Tentu, ini terlepas dari persoalan bahwa introvert adalah kepribadian atau kebiasaan yang mungkin saja bisa diubah perlahan. Well, apa yang saya tuangkan dalam tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk justifikasi. Dua hal yang berikut ini tidak memastikan pelakunya sebagai seorang introvert.

Baca juga:  Ahmadiyah, Kekerasan Teologis, dan Utopia Kebebasan Beragama  

Gemar Menyendiri

Ada lho, beberapa ulama yang lebih mengutamakan uzlah (menyepi) dari pada mukholatoh (berbaur). Tapi mereka, para ulama yang mengunggulkan uzlah, terlebih di akhir zaman, sama sekali bukan sosok yang asosial, mereka sangat amat sanggup berhubungan baik dengan lingkungan sekitarnya. Mereka juga tidak merekomendasikan orang lain yang membaca kitab-kitabnya untuk memanfaatkan hening dan sepi sebagai momentum bermaksiat. Bahkan secara implisit, tidak.

Argumentasinya adalah uzlah terbukti memunculkan rasa khusyuk dan khidmat beribadah (lagi pula salat sunnah lebih utama dilakukan di rumah), dan bagi para pelajar, hal itu meningkatkan fokus. Tak heran, uzlah menurut KBBI online bermakna ‘pengasingan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah’. Uzlah juga dipastikan sahih menyelamatkan seseorang dari riya’, ghibah, atau ngobrol ngalor-ngidul yang serba omong kosong dan membuang waktu. Dan bukankah ukuran dosa yang didapatkan pendengar ghibah sama persis dengan si penggunjing?

Nah, Syekh Abu al-Fatah Abu Ghuddah di kitabnya, Shofahat Min Shobril Ulama mencuplik kisah Abu Al-Faraj, Abdurrohman Ibnu al-Jauzi (W. 597 H), dimana suatu ketika, ia ingin memiliki anak sebagai penerus estafet keilmuan, disamping itu juga merupakan peran dari kitab-kitab karyanya. Namun ia khawatir, kepribadian atau kebiasaan muthola’ah beliau sendirian itu, akan sedikit terganggu.

Baca juga:  Francis Fukuyama dan Hasrat Manusia Hari Ini

Meski demikian, mayoritas ulama dengan tegas berpendapat, berbaur lebih utama daripada uzlah. Syekh al-Qasimi menarasikan dalih jumhur (kebanyakan) ulama ini, di kitab berjudul Mau’idzoh al-Mu’minin yang merangkum Ihya’ karya monumental al -Ghozali. Ini teksnya;

وَأَمَّا أَكْثَرُ السَّلَفِ فَذَهَبُوا إِلَى اسْتِحْبَابِ الْمُخَالَطَةِ وَاسْتِكْثَارِ الْمَعَارِفِ وَالْإِخْوَانِ وَالتَّآلُفِ وَالتَّحَبُّبِ إِلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالِاسْتِعَانَةِ بِهِمْ فِي الدِّينِ تَعَاوُنًا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى، وَإِنَّ فَوَائِدَ الْعُزْلَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ يُمْكِنُ نَيْلُهَا مِنَ الْمُخَالَطَةِ بِالْمُجَاهَدَةِ وَمُغَالَبَةِ النَّفْسِ. وَ بِالْجُمْلَةِ فَلِلْمُخَالَطَةِ فَوَائِدُ عَظِيمَةٌ تَفُوتُ بِالْعُزْلَةِ

Artinya, ulama “kubu ekstrovert”, melihat bahwa faedah-faedah uzlah yang dijelaskan barusan, masih sangat mungkin untuk diraih sambil berbaur. Malah ada banyak hal positif yang mustahil dilakukan saat sendirian.

Mungkin kalian bergumam, yang kalau di kitab kuning biasanya dikatakan fa in qulta (kalau kamu menyanggah),  “Lho? Uzlah kan kegiatan? Introvert dan ekstrovert kan kepribadian?” . Maka saya menjawab, kalau di kitab biasanya dikatakan qultu (saya jawab), “Lalu darimana kita tahu kepribadian seseorang kalau tidak dari apa yang ia giat lakukan?”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
4
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top