Sedang Membaca
Sejarah dan Filosofi Wayang untuk Kehidupan Kita
Fahrul Anam
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Sejarah dan Filosofi Wayang untuk Kehidupan Kita

Sejarah dan Filosofi Wayang untuk Kehidupan Kita

Pluralitas masyarakat Indonesia adalah anugerah dari Tuhan Yang Mahaesa. Anugerah itu menjelma keelokan tiada tanding dan menjadikan Indonesia negara yang memiliki banyak aspek perbedaan yang terikat oleh Bhinneka Tunggal Ika. Terbukti dari majemuknya kebudayaan yang terhampar di pelbagai wilayah. Artefak-artefak kebudayaan yang berwujud kesenian bisa kita jumpai. Salah satunya adalah wayang.

Wayang (ringgit purwa/shadow puppetry) yang secara bahasa berarti bayangan, adalah kesenian yang ada di Indonesia. Dalam cerita tentang asal-usul adanya wayang di Indonesia kita mendapati banyak versi. Ada yang bilang bahwa wayang itu berasal dari India.

Dari anggapan di atas, kita membaca buku bertajuk Wayang: Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depan karangan Ir. Sri Mulyono (CV Haji Masagung, 1975). Dalam buku ini menyatakan bahwa wayang kulit dalam bentuk yang asili dengan peralatan yang sederhana, berasal dari Indonesia dan diciptakan oleh bangsa Indonesia di Jawa sebelum datangnya kebudayaan dan agama Hindu pada tahun 1500 sebelum Masehi. Namun, buku itu juga menyatakan bahwa wayang merupakan cuilan dari kisah Mahabarata yang terbukti dari kata “purwa” yang berarti bagian cerita dari Mahabarata.

Terlepas dari asal-usul atau jamaknya versi tentang lahirnya wayang di Indonesia, kita harus menjaga dan mempelajari wayang sebagai warisan kebudayaan leluhur bangsa. Minimal, kita mau melihat pentas wayang semalam suntuk. Syukur kita memahami alur lakon dan mengerti bahasa Jawa—yang terkesan njlimet—ketika menyaksikan wayang.

Baca juga:  Dawuhan, Ritual Menjaga Air di Nglurah Karanganyar

Paradoks kehidupan

Lakon dalam pementasan wayang, menentukan suasana dan petikan hikmah yang terkandung di dalamnya. Kita mengimajinasikan bahwa kita berperan dalam lakon tersebut. Mulai dari lakon pakem dan karangan (carakan) memiliki buah hikmah kehidupan bagi siapa saja yang ingin memetiknya. Karena, di dalamnya merupakan simulasi kehidupan dari mukti sampai mati.

Tokoh-tokoh dalam jagat wayang itu penuh paradoks, mempunyai watak ganda bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Sebutlah Arjuna (Permadi, Janaka, Jlamprong, Wrahanala).

Panengah Pandawa itu terkenal tampan. Konon ketampanannya setara seperempat penduduk dunia. Arjuna adalah seorang kesatria yang peng-pengan. Memiliki tekad kuat agar kehendaknya bisa terikat. Ia tokoh yang paling banyak mendapatkan wahyu (anugerah) ketimbang tokoh lainnya. Pokoknya, ia sempurna tiada cacat.

Namun, dibalik nilai plusnya Satria ing Madukara itu, Arjuna terkenal begitu tergiur kepada perempuan. Terbukti dari banyaknya perempuan yang ia nikahi: Srikandi, Subadra, Dresanala, Manuhara, dan lainnya. Dari watak ini, kita bisa mengasosiasikan bahwa Arjuna melakukan poligami. Kita tahu bahwa masyarakat Jawa itu menganggap poligami sesuatu yang tidak wajar. Juga, poligami itu mendapatkan banyak hantaman karena merupakan sebuah bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Lalu, apakah salah satu Bapak Pendiri Bangsa kita terinspirasi oleh Arjuna?

Baca juga:  Geliat Urban Sufisme: Suasana Ramadan di Desa Mantingan, Ngawi

Lain Arjuna, lain juga Karna. Karna (Basukarno, Karno Basuseno, Suyoatmaja) kita kenal adalah salah satu tokoh yang berada di kubu Kurawa yang menjadi simbol kejahatan dan kelicikan. Memang, Nalendra ing Ngawonggo itu bergabung dengan Prabu Duryudana, namun ada paradoks lain yang membuktikan bahwa seburuk-buruknya watak manusia pasti ada tetesan embun kebaikan yang ada padanya.

Kita menyimak lakon Kresna Duta. Lakon itu menjadi bunyi lonceng dimulainya Perang Baratayuda Jayabinangun. Lakon itu berkisah ketika Sri Batara Kresno menjadi duta pengawaan (diplomat) Pandawa ketika Perang Baratayuda dan menanyakan kembali tentang akankah negara Astina dan Endroprasto akan dikembalikan kepada Pandawa. Tetapi, di tengah pasewakan itu, Kurawa hendak meracun Kresna namun gagal. Hingga, Kresna menjadi raksasa dan mengamuk hingga pada akhirnya Perang Baratayudha kedaden.

Setelah segmen itu, ada segmen dimana Karna menemui Dewi Kunti. Terjadi dialog diantara mereka. Dialog itu sedih. Suasana haru membikin penonton membisu. Dialog mempertontonkan bagaimana rasa bakti anak kepada ibu.

Dalam dialog itu, Dewi Kunti menyayangkan keputusan Karna yang memilih memihak Kurawa dalam Perang Baratayuda. Padahal, musuhnya adalah Pandawa yang tak lain adalah saudara kandungnya sendiri. Tercatat tutur-sumpah Karno Basuseno kepada ibunya:

“Anggene kula ngetingalaken katresna kula dateng kadang-kadang kula Pandawa meniko lan mugio Kanjeng Ibu dados paseksen. Benjang ing Perang Baratayuda meniko, engkang pejah sanes Pandawa, nanging Karno kang kedah tombok jiwa raga kula kangge kemenangan Pandawa.”

Dari ungkapan Basukarna di atas, kita merasakan bagaimana beratnya hidup anak Betara Surya itu. Di satu ujung ia harus menuruti kemauan ibunya sebagai tanda pengabdian, namun di ujung lain ia adalah seorang kesatria yang harus setia hati kepada pendirian dan tekadnya. Namun, dari Karno kita patut belajar menjadi seorang kesatria yang teguh dan madep mantep dengan pendiriannnya. Lalu, adakah di antara kita yang memiliki watak kesatria seperti Karna?

Baca juga:  Beramadan di Iran, Yuk!

Begitulah wayang. Paradoks cerita-ceritanya bisa menggugah manusia dalam menjalani kehidupannya yang bergelimang proses dan kejutan. Tetapi, setiap insan patutnya teguh pada prinsipnya agar memantapkan ke-Diri-annya.

Selamat Hari Wayang dan mohon doa Alfatihah untuk Ki Seno Nugroho.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top