Jumlah penerima vaksin COVID-19 di Aceh berada paling bawah dari rata-rata nasional, begitu pemberitaan sejumlah media atas kondisi penanganan COVID-19 di provinsi ujung barat ini. Presiden Joko Widodo ikut mengafirmasi kenyataan itu lewat beberapa pernyataannya. Penolakan atas vaksinasi memang masih terus terjadi di Aceh. Peristiwa yang sempat jadi sorotan publik adalah perusakan alat medis dan kekerasan kepada petugasnya yang dilakukan oleh sejumlah nelayan Aceh Barat Daya karena menolak divaksin.
Masyarakat Aceh memang dikenal religius. Islam telah mendarah-daging dan menjadi penuntun arah hidup. Sejumlah studi menunjukkan faktor agama sangat berpengaruh terhadap penerimaan atau penolakan seseorang atas vaksinasi. Tulisan singkat ini berusaha mengurai dampak faktor agama terhadap vaksinasi. Dalam kaitannya dengan Aceh, tulisan ini berusaha menjelaskan apakah faktor agama menjadi penyebab penolakan vaksinasi oleh warga Aceh?
Rachel C. Shelton dkk dalam HPV Vaccine Decision-Making and Acceptance: Does Religion Play a Role melakukan studi terhadap pengaruh agama bagi orang tua dalam memvaksin anaknya. Studi itu mengungkapkan, orang tua yang sering menghadiri kegiatan keagamaan lebih memilih untuk tidak memvaksin anaknya daripada orang tua yang tidak hadir. Demikian pula, orang tua yang rajin beribadah cenderung menganggap vaksin sebagai sesuatu yang negatif. Sementara orang tua yang mengikuti kegiatan keagamaan secara moderat justru mendukung dan mendorong anaknya divaksin.
Pemuka agama turut memainkan peran besar dalam mempromosikan vaksinasi COVID-19. Penyampaian khotbah mampu meyakinkan para jamaah untuk menerima vaksin ataupun menolaknya. Di India, sebagaimana tulis Joseph Renus dan F. Galang dalam Correspondence Science and Religion for COVID-19 Vaccine Promotion, pemuka agama Hindu mengklaim bahwa vaksin COVID-19 merupakan “konspirasi internasional” karena mengandung darah sapi untuk dimasukkan ke dalam tubuh umat Hindu. Di Israel, seorang pemimpin agama menuduh vaksin dapat mengubah kecenderungan seksual penerimanya menjadi penyuka sesama jenis. Sementara di Amerika Serikat, sekelompok Kristen Avengelis dengan merujuk pada kitab suci menyatakan vaksin sebagai tanda iblis.
Di Indonesia, informasi bahwa vaksin mengandung mikrocip magnetis dikonsumsi dan diyakini masyarakat. Di Aceh, beberapa video yang tersebar di media sosial memperlihatkan penceramah agama berdiri di atas mimbar dan menolak keberadaan COVID-19 sembari bersumpah di hadapan jamaahnya tidak akan pernah melakukan vaksinasi sampai mati sekalipun.
Pernyataan-pernyataan itu memang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Akan tetapi, ia mampu merusak kepercayaan pada vaksin karena menyebabkan kebingungan di kalangan para pemeluk agama. Akibatnya, jamaah mengganggap bahwa pernyataan pemuka agama sebagai kebenaran dari kitab suci sekaligus kebenaran agama dan iman.
Kimmo Eriksson dan Irina Vartanova dalam Vaccine Confidence is Higher in More Religious Countries menjelaskan, rusaknya kepercayaan penganut agama terhadap vaksin dipengaruhi oleh ajaran agama tradisional yang cenderung tidak sesuai dengan ilmu kesehatan kontemporer. Ajaran agama mengandung unsur magis/ghaib sehingga menjadi dasar bagi penganutnya untuk tidak percaya pada vaksin.
Beberapa negara dan wilayah melakukan berbagai strategi untuk meningkatkan jumlah vaksinasi COVID-19. Di India misalnya, khususnya distrik Patiala di negara bagian Punjab, para pekerja kesehatan diberikan sejumlah uang untuk meyakinkan warga agar divaksin. Bank Sentral India bahkan menawarkan bunga deposito yang lebih tinggi kepada nasabahanya yang telah divaksin. Ada pula organisasi-organisasi yang memberikan makanan dan minuman gratis serta barang-barang tertentu untuk mengambil hati masyarakat.
Pengalaman Inggris dan Turki misalnya, sebagaimana dijelaskan Gul Deniz Salali dan Mete Sefa Uysal dalam COVID-19 vaccine hesitancy is associated with beliefs on the origin of the novel coronavirus in the UK and Turkey menunjukkan, tingkat penerimaan vaksin meningkat signifikan ketika orang berhasil diyakinkan pada asal muasal virus. Sehingga informasi keliru dalam bentuk apapun perlu dibantah. Negara perlu memanfaatkan peran siapapun untuk melawan informasi bohong dan menghadirkan fakta yang sebenar-benarnya.
Pentingnya intervensi pemimpin agama dalam meyakinkan vaksinasi bagi masyarakat juga diakui Filip Viskupic dan David Wiltse. Penelitian mereka di South Dakota, Amerika Serikat dalam The Messenger Matters: Religious Leaders and Covercoming COVID-19 Vaccine Hesitancy menunjukkan pengaruh dari pemimpin agama sangat positif dibandingkan pemimpin politik dan medis. Dibandingkan instruksi dari pejabat setempat dan tenaga kesehatan, warga lebih mendengar pesan-pesan vaksin dari pemimpin agama. Pesan dari pemimpin agama lebih dipercaya karena dinilai tidak memihak.
Faktor agama memang menyumbang peran besar dalam menanggulangi pandemi COVID-19. Tidak hanya terkait vaksin, pada awal-awal pemerintah sejumlah negara memberlakukan pembatasan kegiatan, penganut agama nampak reaktif tatkala pembatasan menyangkut kegiatan keagamaan. David de Franza, dkk dalam Religion and Reactance to COVID-19 Mitigation Guideliness menjelaskan, penganut agama menjadi semakin religius tatkala kebijakan pembatasan kegiatan keagamaan diterapkan. Mereka yang sebelumnya jarang menghadiri kegiatan-kegiatan di rumah ibadah menjadi sering melakukannya. Di satu sisi, penganut agama menjadi lebih religius, tetapi di sisi lain kepatuhan pada aturan negara menjadi lebih rendah.
Ada pula negara yang tidak ingin memberlakukan kebijakan pembatasan kegiatan keagamaan karena khawatir tidak lagi mendapat dukungan dalam pemilu. Hal ini dilakukan Presiden Donald Trump sebagaimana dijelaskan Jeffrey Haynes dalam Donald Trump, the Christian Right and COVID-19: The Politics of Religious Freedom. Di Amerika, kebijakan menyangkut pembatasan kegiataan keagamaan justru dibuat oleh pemimpin negara bagian. Kelompok Kristen Evangelis, sebuah kelompok Kristen Protestan konservatif di sana, menuduh para pemimpin yang membuat kebijakan tersebut sebagai sekularis radikal.
Negara seperti Vietnam, di mana organisasi keagamaannya memiliki hubungan baik dengan pemerintah, berhasil meyakinkan para penganutnya mematuhi berbagai kebijakan pemerintah menyangkut penularan COVID-19. Dalam hal vaksinasi COVID-19, para pemimpin agama selayaknya mengikuti dan menyampaikan argumen-argumen tentang vaksin, seperti yang disediakan oleh WHO atau oleh departemen kesehatan kesehatan negara.
Dalam kondisi krisis kesehatan seperti ini, keberadaan agama tentu penting, akan tetapi penjelasan saintifik harus dikedepankan. Jadi, sangat penting bagi para pemimpin agama untuk menyampaikan pesan vaksin seilmiah mungkin. Di dalam wilayah dengan tingkat religiusitas tinggi, pemuka agama memainkan peranan penting. Setiap pesan pemuka agama dijadikan sebagai pedoman hidup dan landasan pengambilan keputusan. Pesan keliru dari pemuka agama justru akan membingungkan masyarakat dan berdampak pada berbagai hal kelak.