Anda mungkin sering berjumpa dengan manusia silver saat lewat di jalan raya. Terutama di sekitar lampu merah dan penyebrangan manusia silver beraktivitas. Tapi apakah anda pernah bertanya bagaimana mereka bisa ada dan apakah sama keberadaannya dengan pengemis, asongan atau pengamen.
Jika karena alasan menjual iba untuk dikasihani dan mendapatkan sejumlah uang. Maka manusia silver masuk kategori peminta-minta. Tapi ada sisi lain yang perlu kita ketahui. Bahwa keberadaan mereka tidak sekadar peminta tapi lebih dari itu. Alias terdapat value yang bisa kita pelajari dari sebuah pembacaan.
Sewaktu saya ngobrol dengan Mas Alfan dan Mba Pinut (Pendiri Rumah Merdeka Jombang), mereka berbagi seputar manusia silver. Kata Mas Alfan manusia silver itu telah mengalami pergeseran makna. Padahal awalnya manusia silver adalah gerakan amal yang diprakarsai komunitas manusia silver di era Covid -19. Tujuan utamanya adalah penggalangan dana untuk korban pandemi.
Dalam Jurnal Urban 2023 M. Harris Zulkarnain Nizam dari Organisasi Komunitas Aletta Pictures menulis judul menarik yaitu, “Presentasi Diri Manusia Silver di Jakarta: Sebuah Fenomena Antara Seni dan Pengamen”. Menurut Harris manusia silver memiliki dua fungsi yaitu antara front stage dan back stage.
Fungsi front stage atau depan panggung yaitu berkaitan dengan pendapatan atau ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Anda pasti tahu jika pengemis semakin berjamuran dan atau seniman turun ke jalan itu tanda bahwa negara sedang tidak baik-baik saja. Dalam arti kesulitan ekonomi membuat mereka harus berjuang di jalan demi dapur tetap mengepul. Akibat kesulitan mencari kerja akhirnya menjadi manusia silver adalah pilihan.
Menurut Afrizal dan Risdiana (2022) rerata manusia silver dewasa tidak mengentaskan pendidikan alias putus sekolah. Sedangkan mereka yang memiliki pendidikan bahkan sampai jenjang perguruan tinggi memilih menjadi manusia silver akibat kebijakan mutasi sepihak hingga PHK dari perusahaan tempat kerja.
Menjadi manusia silver juga menghadapi tantangan utama yaitu kesehatan. Cairan silver atau sprei pilox mengancam tubuh mereka. Karena dampak timbal yang ditimbulkan bisa berbahaya bahkan mengakibatkan kanker kulit. Jadi menjadi manusia silver pun penuh dengan resiko selain soal kesehatan mereka juga sering berhadapan dengan aparat. Sedangkan aparat selalu bersikap refresif tak mau tahu. Semua yang menganggu kenyamanan akan diamankan tanpa perlu tahu soal nilai estetikanya.
Selanjutnya manusia silver secara back stage atau belakang panggung juga memiliki fungsi seni. Kata Mas Alfan, dulu ia sering mengikuti kontes menjadi manusia silver. Apa yang dinilai tentu berdasarkan filosofi logam atau besi. Penilaian meliputi kostum, make up, warna dan lekukan. Di sinilah tidak mudah menjadi manusia silver yang hampir tidak bergerak-gerak berjam-jam lamanya. Anda mungkin berpikir bagaimana menjadi logam atau besi yang memiliki sifat kaku, keras dan ajeg. Manusia silver lah yang mampu mempraktekkannya. Mas Alfan juga menambahkan jika manusia silver masuk kategori pantomim tapi tanpa ekspresi gerak.
Pada September 2021 Kompas juga pernah menurunkan berita bahwa manusia silver menjadi fenomena sosial berbalut seni jalanan. Fenomena manusia silver menjadi paradoks antara meresahkan atau perlu diapresiasi. Pada intinya jika merujuk nilai seni toh manusia silver juga memiliki daya tarik tersendiri.
Manusia silver menjadi bagian penting untuk menyampaikan kritik dan aksi-aksi menggugat kekuasaan. Manusia silver juga tidak absen untuk ambil bagian mengkampanyekan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Manusia silver juga sering memperagakan sosok pahlawan dengan cosplay dan gerakannya. Di sanalah salah satu cara efektif untuk mendekatkan nilai-nilai kepahlawanan terutama pada anak-anak.
Sekali lagi keberadaan manusia silver tidak sedang menghibur masyarakat atau minta belas kasihan melainkan mengingatkan kita bahwa ada sesuatu yang kuat di belakang kekuasaan untuk terus kita kawal bila perlu gebuk dengan besi-besi perjuangan.[]