
Di tengah aksi #IndonesiaGelap, puluhan mahasiswa juga ‘belajar’ tentang perang dan rekonsiliasi. Mereka semua sama-sama mencintai Indonesia.
Rombongan mahasiswa dari Universitas BINUS dan beberapa kampus lainnya, berkumpul di depan studio XXI Plaza Indonesia, Rabu sore (19/2).

Mereka bergabung dengan para penonton lain untuk menyaksikan penayangan perdana “The Last Accord: War, Apocalyse and Peace in Aceh”, sebuah dokumenter karya sutradara Arfan Sabran. Dokumenter ini diproduksi oleh FPCI Pictures.

Penonton mahasiswa datang dengan jaket almamater masing-masing berbaur dengan tamu-tamu undangan lain, diantaranya Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla; mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin; dan Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud.

“Saya kelahiran 2006, saya nggak melewati masa Reformasi 98 dan nggak tahu ada konflik antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka, saya mungkin pernah mendengar, tapi nggak tahu seperti apa awal mulanya,” ungkap Naura, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas BINUS.
Proses Perdamaian
Berdurasi 75 menit, dokumenter ini menceritakan proses perdamaian di Aceh dengan segala dinamikanya, difasilitasi mulai dari Henry Dunant Centre hingga Marti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia peraih Nobel Perdamaian 2008.
Seluruh narasumber adalah sosok-sosok yang terlibat dalam penyelesaian konflik, mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Hamid Awaluddin, Sofyan Djalil yang mewakili pemerintah RI, hingga Nur Djuli, Sofyan Dawood, dan Malik Mahmud yang mewakili GAM.

Istimewa tampil Sidney Jones, peneliti isu konflik dan terorisme Asia Tenggara yang kini bermukim di New York, AS. Jones sempat dilarang masuk ke Aceh oleh TNI lantaran komentar-komentarnya di media dianggap terlalu berbahaya.
Selain dokumentasi asli, Arfan juga menambahkan animasi untuk kelengkapan visual sehingga menjadikan film ini tampil menarik.
Lima putaran perundingan berjalan alot, tak jarang diwarnai pertengkaran. Detil-detil kamera ikut menangkap ekspresi para narasumber, termasuk saat mereka mengenang tsunami yang ikut menewaskan anggota keluarga di Aceh.
“Kalau risetnya kami kerjakan selama 2,5 tahun, semua kami kerjakan sendiri kecuali video-video arsip perundingan di Jenewa, Tokyo dan Helsinki, itu semua kami dapatkan dari pihak luar (organisasi mediator) karena semua perundingan itu kan sifatnya rahasia. Saya tambahkan animasi untuk menambal kekurangan visual,” ungkap Afran kepada alif.id.
Dino Patti Djalal selaku Produser Eksekutif dan pendiri FPCI, mengaku awalnya disangka berhalusinasi saat mengatakan ingin memproduksi dokumenter ini, lantaran banyak orang melihatnya sebagai diplomat. Penayangan dokumenter juga dilakukan setelah pelantikan Presiden 2024 agar tidak menimbulkan dugaan negatif.

“Tak ada satupun dokumenter tentang (perdamaian) Aceh yg dibuat oleh orang Indonesia. Konflik Timor-Timur juga tidak ada dokumentasinya. Padalah banyak pelajaran dari peristiwa-peristiwa ini, juga konflik berdarah di Kamboja di mana Indonesia banyak berperan. Tapi pokoknya film ini harus netral dan independen,” kata Dino.

Mayoritas mahasiswa yang menyaksikan di studio terpisah mengaku terharu menyaksikan dokumenter ini. Ada arsip-arsip video yang menggambarkan perang terbuka, rakyat sipil menjadi korban, serta desakan referendum masyarakat Aceh. Saat lampu bioskop kembali menyala, tampak wajah-wajah muda yang sedang mengusap air mata.
“Ternyata diplomasinya itu tidak mudah, padahal ini di tingkat lokal bukan dengan negara lain. Saya melihat bagaimana Indonesia menghadapi tuntutan-tuntutan yang nggak mudah dari GAM,” ujar Dimas, mahasiswa semester 4 jurusan Hubungan Internasional Universitas BINUS.
“Aku lahir tanpa tahu sejarah Aceh jadi aku baru tahu apa yang terjadi sebelum tsunami. Kejadian ini tidak boleh terulang lagi, karena perjuangan untuk persatuan sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh generasi sebelumnya,” kata Ranin, mahasiswa semester 2 dari kampus yang sama.

Duta Besar Palestina untuk Indonesia, DR. Zuhair Alshun, terkesan dengan kemampuan diplomasi dari para pemimpin Indonesia. Kabar perdamaian terdengar hingga ke tanah Palestina.
“Tentu kami pada waktu itu ikut senang mendengar perdamaian itu berhasil disepakati. Kami berharap rintisan damai yang meskipun banyak hambatan di sana sini, juga bisa terlaksana di Palestina,” kata Alshun.
Diskusi dengan para narasumber dipandu oleh jurnalis Andini Effendi. Banyak informasi baru yang diperoleh para penonton, seperti hukum syariah yang ternyata tidak masuk dalam butir kesepakatan Helsinki hingga pembentukan partai lokal di Aceh yang ternyata tidak bertentangan dengan UUD 1945.