Sedang Membaca
Napatktilas Raden Rahmad Djoyo Ulomo
Teni Maarif
Penulis Kolom

Muallim Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan 2018-2020

Napatktilas Raden Rahmad Djoyo Ulomo

Whatsapp Image 2020 06 12 At 22.50.55 (1)

Raden Rahmad Djoyo Ulomo lahir di Banjar Melati Pare Kediri Jawa Timur pada tahun 1875. Lahir di desa yang kelak membuat beliau memiliki sifat bersahaja dan juga santun. Dimana sikap demikian juga berkat didikan ayahnya yang begitu perhatian kepada dirinya.

Ketika kecil, ia mempelajari ilmu agama seperti anak-anak desa pada umumnya yaitu belajar agama di surau. Kegiatan biasanya dimulai di sore hari sampai selepas isya seperti mayoritas masyarakat pedesaan lakukan. Kendati pada saat itu bisa dibilang anak-anak mengaji hanya bermodalkan sentir atau lampu kecil sederhana berbahan bakar minyak tanah yang kerap dijumpai di desa.

Guna memperdalam ilmu keagamaannya, dirinya pun dikisahkan pernah mondok ke beberapa pesantren besar di Jawa Timur seperti Lirboyo Kediri di bawah asuhan KH Abdul Karim, kemudian meneruskan ke Kedung Lo di bawah asuhan KH Ma’ruf, dan Pesantren Bandar Kidul di bawah asuhan KH Abu Bakar.

Saat remaja beliau memiliki keunikan lain daripada yang lain yaitu berupa peminatannya dalam dunia tasawuf yang mengantarkannya menempuh jalan thariqah. Sosok yang memperkenalkan dirinya pada tarekat adalah KH. Mustain Romli Jember Jawa Timur. Beliau adalah mursyid Thariqoh Qadriyah Wa Naqsyabandiyah yang memiliki banyak murid. Pada mulanya dirinya ngawulo kepada KH Mustain Romli, namun lambat laun dirinya pun sambil belajar tarekat. Hal ini diketahui oleh salah santri KH Mustain Romli lain yang bernama Wasdi. Dirinya mengatakan ketika itu disela-sela bai’at dan pengajian thariqah ia kerap melihat Djoyo Ulomo muda sedang belajar dengan sang mursyid.

Baca juga:  Ibnu Khaldun sebagai Politikus

Kehausannya terhadap ilmu agama tak hanya sebatas di situ, ia yang masih penasaran dengan ilmu pun melanjutkan pengembaraan intelektualnya kepada KH Bendo alias KH Chozin Muhajir Bendo pendiri pesantren Darul Hikam Kediri Jawa Timur 1930. Jika pada KH Romli Mustain, ia  belajar sufisme dengan menempuh dan memilihi jalan di thariqah Qadriyah Wa Naqsyabandiyah, lain halnya saat dirinya belajar kepada KH Chozin di mana dirinya diperintah untuk mengikuti laku kumkum (berendam) selama 41 hari siang dan malam tanpa putus.

Hal itu sepintas memang aneh, namu usut punya usut maksud laku itu ialah untuk mengetahui seberapa tabah dan kuat dirinya karena pada nantinya ia akan dikirim untuk ikut melebur dalam barisan laskar Hizbullah di Surabaya Jawa Timur. Sebab di mana jamak diketahui pada saat itu memang Indonesia sedang pada masa perjuangan membebaskan diri dari kebiadaban penjajahan. Oleh KH Chozin hal ini sebagai bentuk tindakan lanjutan dari keluarnya Fatwa dan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) 1945 oleh KH Hasyim Asy’ari.

Pada tahun 1958 KH Raden Rahmad Djoyo Ulomo memutuskan untuk berhijrah dari tempanya dilahirkan dan juga menimba ilmu ke tempat yang baru. Dan dalam hal ini yang ia pilih adalah daerah Lampung, sebuah daerah di sebelah sumatera selatan tepatnya di desa Rama Puja, Raman Utara yang sekarang masuk wilayah  kabupaten Lampung Timur. Di mana tempat ini juga menjadi salah satu tujuan dari program transmigrasi dari pemerintah pada saat itu untuk menekan angkat urbanisasi.

Baca juga:  Berkah Haul Habib Ali di Solo dan Kisah Pedagang Angkringan

Tiga tahun kemudian  di desa tersebut menjadi pusat kegiatan keagamaan selepas dirinya hadir. Pada tahun 1961 di desa itu mulai didirikan angkringan sederhana yang nantinya menjadi cikal bakal pesantren . Lambat laun, kegiatan keagaman semakin berkembang sehingga angkringan tadi turut berubah menjadi pondok pesantren, kemudian pondok itu diberi nama Tri Bakti at-Taqwa, sebuah nama yang diberikan oleh putera sulungnya KH Muhammad Adnan dengan persetujuan bersama dirinya.

Pesantren Tri Bhakti at-Taqwa menjadi salah satu pesantren tertua di Lampung selain pesantren Roudlotus Sholihin yang didirikan oleh KH Muhamad Busthomil Karim di Lampung Tengah. Di pendopo pesantren miliknya, ia menuliskan sebuah filosofi yang mesti dihikmati dengan khusyu’ oleh para santri. Tulisan itu berupa “bismillah, janji betah, oleh upah,” (dengan menyebut nama Allah, asalkan mau betah, pasti akan mendapatkan hasil). Selain filosofi tersebut, ada kearifan lain yang turut menjadi ciri khas kesederhanaan beliau, “Seng wis yo wis, seng durung yo ati-ati.” (yang sudah ya sudah, yang belum ya berhati-hatilah”.

Raden Rahmat meninggal pada usia 114 tahun, tepatnya pada tanggal 12 Desember 1989. Makam beliau berada di komplek pondok, sehingga memudahkan para santri untuk ziarah dan mendoakan. Sampai saat ini, makam beliau selalu ramai dikunjungi para peziarah yang tak cuma dari kalangan santri, tapi juga mereka yang mengenal beliau melalui keilmuan atau kealimannya atau mereka yang dulunya mempunyai orang tua yang bersahabat dengan beliau, bahkan yang mengenal beliau cuma nama pun turut menziarahinya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top