Cerita paling tersohor terkait genealogi pengetahuan Islam pasca berdirinya Kerajaan Banjar adalah berangkatnya seorang anak muda, bernama Muhammad Arsyad, ke tanah suci Mekah. Dia berangkat ke sana dengan mengemban dua misi utama yaitu menunaikan ibadah Haji dan menuntut ilmu.
Saya tidak menemukan cerita keberangkatan ke tanah suci lain yang lebih populer ketimbang kisah Syekh Arsyad al-Banjari. Hampir seluruh kisah terkait rihlah ke tanah suci masyarakat, terutama dengan niat menuntut ilmu, tentu mencantumkan kisah Syekh Arsyad sebagai permulaannya.
Selanjutnya, tradisi berangkat ke tanah suci, entah beribadah, menuntut ilmu atau sekaligus berdagang, menjadi sangat populer di masyarakat Banjar. Tradisi ini bertahan hingga sekarang, bahkan animo masyarakat Banjar untuk berangkat ke tanah suci sangatlah tinggi. Buktinya, jumlah antrian jemaah haji dan keberangkatan umrah masyarakat Kalimantan Selatan termasuk yang tertinggi di Indonesia.
Menariknya, Mekah saat ini tidak lagi menjadi pilihan utama dari kebanyakan masyarakat Banjar untuk menuntut ilmu. Posisinya mulai tergantikan oleh dua kota destinasi lainnya, yaitu Tarim atau Hadramaut, Yaman dan Kairo, Mesir.
Pergumulan paham keagamaan ditengarai sebagai penyebab mulai tergerusnya pesona Mekah sebagai pusat destinasi penuntut asal Banjar. Mekah-Madinah, Arab Saudi dipandang sebagai sarang dari ideologi Wahabi, notabene ideologi antoginitis dari masyarakat Banjar.
Sebagaimana kita ketahui, mayoritas masyarakat Banjar adalah pengamal model Islam tradisionalis. Tentu tidak mengherankan kemudian jika dinamika keberislaman di tanah Banjar juga sangat dipengaruhi arus perjalanan ke tempat, yang dipercaya oleh masyarakat Banjar sebagai pusat ortodoksi keagamaan, seperti Mekah-Madinah, Yaman, Mesir.
Islam tradisionalis yang diamalkan mayoritas masyarakat Banjar biasanya memiliki ciri berpaham Ahlussunnah wal Jamaah, menganut fiqih Syafi’i yang kuat dan paham tasawuf Ghazalian. Walau klaim ini mungkin masih bisa diperdebatkan, namun mengulik pergumulan “kaum Tua-kaum Muda” bisa memberikan sedikit gambaran dinamika perbedaan paham keagamaan di di tanah Banjar.
Achmad Fedyani Saifuddin, antropolog asal Banjarmasin, pernah menceritakan pengalaman uniknya terkait pergumulan tersebut. Dalam kisah yang dia catat dalam buku Konflik dan Integrasi: Perbedaan Paham dalam Agama Islam, menceritakan masa kecilnya. Saat Fedyani diminta oleh ibunya harus pulang lebih awal saat melayat tetangganya yang meninggal.
“Cepatlah pulang jika sendok dan piring sudah gemerincing di dapur” begitu pesan ibu beliau. Pak Achmad Fedyani saat itu masih berumur belasan tahun tentu belum memahami maksud dari pesan tersebut. Baru setelah berjalan puluhan tahun kemudian, beliau akhirnya memahami bahwa pesan tersebut mengandung nilai-nilai penghormatan kepada tetangga yang mengalami musibah tetapi tidak mengorbankan keyakinan sendiri sebagai penganut suatu paham yang berbeda dengan mereka.
Kejadian di atas adalah secuil gambaran bagaimana dinamika perbedaan paham di masyarakat Banjar. Masih dalam buku yang sama, Fedyani juga menggambarkan bagaimana dinamika awal terjadinya segregasi antara Kaum Tua-Kaum Muda.
Sebelum lebih jauh, perlu diketahui, istilah Kaum Tua-Kaum Muda ini memiliki sejarah panjang dalam pergumulan paham keagamaan di Indonesia. Jika kita melakukan pencarian di laman Google, maka mayoritas yang muncul adalah dinamika keberagamaan di Minangkabau.
Di antaranya, Taufik Abdullah dalam disertasinya School and Politics: Kaum Muda Movement In West Sumatera (1971),memberikan indikasi bahwa dua istilah tersebut mulai populer tahun 1906. Taufik Abdullah menyebut nama Datuk Sutan Maharadja, seorang jurnalis di Padang, yang bertanggung jawab atas populernya istilah tersebut.
Ceritanya, label tersebut sengaja diciptakan untuk mengidentifikasi diri dan kelompok Datuk Sutan Maharadja dengan “Kaum Muda”, dan melabeli lawannya dengan “Kaum Kuno” atau “Kaum Tua”. Pergumulan antara golongan pembaharu atau moderat (kaum muda), sedangkan Kaum Tua ialah golongan lama atau kolot atau konservatif.
Terjadinya polarisasi antara Kaum Tua dan Kaum Muda di atas disebut oleh Mestika Zed, Profesor Sejarah Universitas Negeri Padang, sebagai fase kedua revolusi intelektual yang terjadi di Minangkabau setelah gerakan Paderi. Adapun agenda yang menjadi spirit perdebatan Kaum Tua dan Kaum Muda tersebut, berdasarkan telaah dari Mestika Zed, secara umum berkisar sekitar persoalan ijtihad dan modernisme.
Dalam makalah Islam dan Budaya Lokal Minangkabau Modern yang ditulisnya tahun 2010 lalu, beliau menegaskan bahwa zaman terus berubah dan gejala sosial tak matematis. Masyarakat bukanlah robot-robot. Masyarakat selalu reflektif. la memiliki daya yang senantiasa aktif menilai. Poin inilah yang menyebabkan masyarakat adat Minangkabau terjebak ketidaksesuaian dengan zaman, atau Mestika Zed menyebutnya dengan anakronisme.
Kembali ke tanah Banjar, catatan dari Fedyani cukup detail merekam pergumulan paham keagamaan paling awal yang terjadi di tanah Banjar. Istilah Kaum Tua-Kaum Muda di tanah Banjar pada masa awal, dalam catatan Fedyani, lebih berorientasi pada perbedaan paham keagamaan, ketimbang pergumulan antara adat-agama, sebagaimana yang digambarkan oleh Mestika Zed, terutama di wilayah Alabio, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Menurut Fedyani, istilah tersebut muncul sekitar tahun 1926, saat masalah khilafiyah di masyarakat di wilayah Alabio mendapat perhatian pemerintah Hindia Belanda di Amuntai, yaitu Hoofd van Plattselijk Bestuur (HPB) Amuntai. Para ulama di kedua belah pihak dikumpulkan, dipertemukan dan dipersilahkan menjelaskan persoalannya di hadapan HPB.
Dalam perjumpaan itulah, lahir istilah Kaum Tua dan Kaum Muda di tanah Banjar. Fedyani mengutip informasi dari seseorang yang tidak dia sebutkan nama atau inisialnya, yang menjelaskan pertemuan tersebut juga tidak menghasilkan apa-apa, karena kedua belah pihak sama-sama mempertahankan pendapatnya.
Bahkan, HPB selaku penyelenggara tidak dapat menengahi masalah dan menutup pertemuan tersebut hanya dengan sebuah nasihat.
“Kalian kaum yang hendak mempertahankan paham lama, Kaum Tua; dan kalian yang hendak menyebarkan paham baru, Kaum Muda, dari sekarang jangan berselisih lagi” ujar HPB.
Perbedaan paham apa yang membuat mereka bisa berselisih? Akan kita jelaskan di esai berikutnya.
Dari cerita di atas, pergumulan paham keagamaan di masyarakat Banjar dimulai dari polemik di tingkat elit, yang kemudian sedikit banyak berpengaruh di tingkat akar rumput. Di kesempatan lain, saya akan eksplorasi lebih dalam pergolakan paham keagamaan di masyarakat luas Kalimantan Selatan.
Adapun para pemimpin agama di masyarakat Banjar dulu, tidak saja mereka yang berada di luar dari lingkaran kekuasaan, baik kolonial atau kerajaan. Namun, mereka yang biasa menjadi imam di masjid atau langgar dan biasanya mereka adalah para Haji, biasanya mereka dipanggil Tuan Guru.
Selain itu, tugas mereka di masyarakat, menurut Alfani Daud dalam buku Islam dan Masyarakat Banjar, juga menjadi khatib dan mengajar agama. Imbasnya, peran para tuan guru ini cukup vital dalam keseharian masyarakat Banjar. Tidak saja mereka merupakan kaum intelektual di desanya, namun para tuan guru juga menjadi tempat penduduk dalam lingkungannya mengajukan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak jarang tuan guru dijadikan tempat bertanya atau meminta saran untuk menentukan kapan mulai bercocok tanam, memberikan air penawar bagi orang yang sakit, melakukan ramalan tentang kemungkinan-kemungkinan kehidupan (calon) suami-istri, memberikan doa restu agar selamat dalam perjalanan atau madam dalam istilah orang Banjar.
Selain itu, mereka juga biasanya diminta memimpin doa haul, salamatan atau halarat. Agaknya, karena peran tuan guru di masyarakat Banjar yang begitu besar, sehingga mereka dianggap pemimpin dalam sektor informal.
Telah dijelaskan di atas, sebagian besar mereka adalah para haji dan intelektual yang tidak saja melakukan perjalanan ke tanah suci, untuk beribadah, mereka juga belajar di sana. Selain Mekah dan Madinah, sebagian mereka ada yang memilih Kairo atau tanah Jawa.
Entah sejak kapan, pilihan destinasi menuntut ilmu semakin bertambah, sepert Tarim, Hadhramaut mulai bersaing sebagai pilihan favorit para penuntut ilmu dari tanah Banjar. Sekembalinya mereka menuntut ilmu dari berbagai penjuru ke tanah Banjar, peran mereka dalam persebaran berbagai paham yang dipelajari di masyarakat.
Memang, Tarim sekarang mulai banyak dilirik sebagai destinasi menuntut ilmu. Dari sekian alasan yang bisa disebut, kedekatan kultur keagamaan yang sama-sama berkiblat pada mazhab Syafi’i, sepertinya lebih berpengaruh di masyarakat Banjar.
Kondisi seperti inilah yang menjadikan dinamika keberagamaan di tanah Banjar terus hidup hingga sekarang. Kontestasi dan pergumulan, baik secara langsung atau tidak, berlangsung hingga sekarang. Dulu antara Kaum Tua-Kaum Muda yang berlanjut ke pertarungan di antara dua organisasi otoritatif terbesar di Indonesia, yakni NU-Muhammadiyah.
Sekarang, pertarungan wacana, ideologi hingga ajaran masih terjadi walau lebih cair dan tidak mesti melibatkan otoritas keagamaan seperti tuan guru atau ustad. Kehadiran paham Salafi dan Wahabi hanya sebagian dari dinamika baru keberislaman di tanah Banjar. Geliat hijrah di kalangan anak muda dan kelas menengah juga mulai mewarnai Islam Banjar, yang dulu lebih dikenal dengan kultur tradisionalis.