Sedang Membaca
Fenomena Kecanduan Gadget
Sam Edy Yuswanto
Penulis Kolom

Penulis lepas bermukim di Kebumen.

Fenomena Kecanduan Gadget

Suatu malam, saya menghadiri undangan hajatan tetangga. Jadi ceritanya, malam itu tetangga saja sedang mengadakan acara tahlilan, mendoakan anggota keluarganya yang sudah tiada. Saat acara sedang berlangusng, ada seorang tamu undangan yang begitu menyita perhatian saya. Mungkin bukan menyita perhatian, tapi lebih tepatnya mengganggu konsentrasi saya, dan kemungkinan konsentrasi para tamu undangan yang lainnya.

Pasalnya, tamu udangan yang duduk persis di belakang saya itu membawa ponsel yang tidak dinonaktifkan atau minimal disetting agar tidak mengeluarkan bunyi. Namun sayangnya, ponsel milik tamu udangan yang duduk di belakang saya itu tetap disetting berbunyi atau mode dering, sehingga setiap beberapa menit sekali akan terdengar suara notifikasinya. Bisa jadi, notifikasi tersebut bersumber dari WhatsApp, Facebook, atau media sosial dan laman media online lain di ponsel tersebut.

Sungguh saya merasa heran, di tengah suasana yang tengah berlangsung dengan penuh khidmat tersebut, dia seolah tidak merasa risih dan malu menyalakan notifikasi ponselnya. Menurut saya, hal itu kurang etis, karena selain mengganggu kenyamanan orang-orang yang berada di sekelilingnya, juga menjadi pertanda bahwa dia kurang menghormati tuan rumah. Sama tidak etisnya ketika ada orang yang nekad mengaktifkan ponsel saat dia sedang melaksanakan shalat berjamaah di dalam masjid.

Baca juga:  Menggugah Kesadaran Pendidikan Agama Milik Semua

  Selama ini, ketika saya sedang berada dalam suatu perkumpulan, undangan hajatan ataupun ketika takziah misalnya, saya berusaha untuk tidak membawa ponsel. Atau bila terpaksa membawa, saya tentu akan menonaktifkan notifikasinya agar tak menimbulkan suara saat ada pesan bahkan telepon yang masuk. Alasannya tentu bisa ditebak, salah satunya karena saya tidak mau menjadi pusat perhatian ketika sedang di tengah-tengah acara yang khidmat, tiba-tiba ponsel saya berdering atau selalu memperdengarkan ringtone notifikasinya.

Pernah saya menemui sebuah kejadian yang menurut saya tak pantas ditiru oleh siapa pun. Jadi ketika itu ibu saya baru saja meninggal dunia. Saat acara pemberangkatan jenazah sedang dimulai, di mana kondisi pada saat itu keluarga sedang berduka dan orang-orang sedang konsentrasi mendengarkan seorang kiai yang didaulat untuk memberangkatkan jenazah ibu saya ke makam, tiba-tiba ponsel milik salah seorang pelayat berdering, mengeluarkan ringtone lagu dangdut dengan volume tinggi pula.

Saya sempat berpikir begini; sesibuk apa sih kita ini, sampai-sampai ponsel yang kita miliki selalu berdering di mana pun berada? Tanpa mengenal situasi dan kondisi? Tanpa ada waktu untuk rehat atau jeda sejenak. Minimal dimatikan, dan ditaruh di rumah barang sesaat, untuk menghormati orang-orang yang mengundang kita?

Baca juga:  Demokrasi dan Kebangsaan ala Gus Dur dan Franz Magnis

Notifikasi Ponsel Mempengaruhi Kualitas Tidur

Berbicara tentang definisi notifikasi, bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, adalah pemberitahuan atau kabar tentang penawaran barang dan sebagainya. Bisa juga diartikan sebagai pemberitahuan oleh pemegang surat wesel kepada penarik tentang adanya penolakan pembayaran. Bila kita melihat definisi tersebut, berarti ‘notifikasi ponsel’ dapat diartikan sebagai pemberitahuan dari berbagai aplikasi yang tersedia di dalam ponsel milik kita.   

Saya sungguh merasa heran dengan orang-orang yang selalu mengaktifkan notifikasi ponselnya, tanpa pernah ingin mematikannya barang sekejap. Bahkan mungkin ada sebagian orang yang ketika sedang tidur pun notifikasi ponselnya tak dinonaktifkan. Padahal, ciri-ciri tidur yang berkualitas adalah tak terganggu dengan suara-suara yang bersumber dari sekeliling kita. Setiap orang tentu membutuhkan waktu istirahat atau jam tidur yang berkualitas, agar saat terbangun nanti tubuh terasa segar dan dapat kembali melakukan aktivitas dengan bugar dan fresh. Orang yang memiliki kualitas tidur yang buruk; sedikit-sedikit terbangun akibat suara yang bersumber dari notifikasi ponselnya (misalnya) maka biasanya saat bangun tidur tubuhnya terasa lesu dan akhirnya kurang bergairah melanjutkan aktivitasnya.

Ketergantungan Gadget   

Orang yang hidupnya selalu ketergantungan gadget, maka ia akan sulit terlepas dari ponselnya meski hanya beberapa menit saja. Ia seolah merasa kehilangan sesuatu dan ada bagian dari tubuhnya yang hilang saat tak menggenggam ponsel ketika sedang bepergian.

Baca juga:  Praktik Fikih Selama Pandemi (4): Bagaimana Pesantren Menghadapi Wabah?

Orang yang hidupnya kecanduan gadget, menurut Nurudin, dalam buku Media Sosial, Agama Baru Masyarakat Milenial (2018) disebuat nomophobia. Nomophobia berasal dari kata no mobile phone phobia, yakni individu yang menjadi takut jika jauh dari telepon genggamnya. Nurudin melandasi keterangannya dengan penelitian yang dilakukan Secur Envoy di Inggris (2012) yang menyebutkan bahwa sekitar dua per tiga dari 1000 orang yang diteliti mengaku merasa takut jika kehlinagan atau hidup tanpa telepon genggam. Penelitian itu juga menyebutkan, kisaran umur yang mengidap nomophobia sekitar 18-24 tahun (77%), disusul responden usia 23-25 tahun (68%).

Lewat tulisan ini, mari kita bersama-sama merenungi, kira-kira seberapa banyak waktu yang kita habiskan untuk bermain ponsel setiap harinya, dan seberapa banyak waktu yang digunakan untuk beribadah dan beramal kebajikan? Bila ternyata waktu kita lebih banyak terbuang sia-sia di depan layar ponsel, mari mulai sekarang kita kurangi, selanjutnya perbanyak waktu untuk beramal kebaikan dan beragam aktivitas yang lebih bermanfaat. Wallohu a’lam bish-shawaab. (ATK)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top