Sarjoko S
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Kajen, Pati. Aktif di Gusdurian, Jogjakarta. Selain menulis, juga suka fotografi dan desain.

Dulu Saya Kira Mercon adalah Sunah Nabi

Pedagang Petasan Dan Kembang Api

Puasa pertama terberat dalam seratus tahun terakhir telah berlalu. Wait, mengapa disebut terberat? Ya, orang boleh setuju atau tidak dengan pendapat ini. Yang jelas kita sama-sama sepakat perihal rukyatul hilal dan hisab dalam menentukan awal Ramadan tidak lagi menjadi percakapan di ruang publik.

Sepuluh tahun yang lalu selalu muncul perdebatan mengenai awal bulan puasa. NU dan Muhammadiyah menjadi dua kekuatan yang punya pengaruh masing-masing. NU dengan pendapat tak kenal komprominya bahwa rukyatul hilal adalah satu-satunya cara dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal. Sementara Muhammadiyah sudah haqqul yaqin bahwa matematika bisa menggantikan ‘tradisi lama’ dalam menentukan awal bulan. Artinya, kita tidak perlu berusaha meneropong bulan yang baru sebesar helai rambut.

Untungnya empat atau lima tahun terakhir kondisi alam memungkinkan golongan hisab dan rukyatul hilal bisa bersama-sama. Ndilalah saja hitungan hisab selalu di atas 2 derajat yang menjadi standar paling minimum. Lha ndilalah pula selalu ada orang yang berhasil melihat hilal di hari di mana kelompok hisab sudah menentukan awal bulan jauh-jauh hari.

Terus kenapa disebut terberat? Saya melihat ada kelesuan yang timbul akibat situasi Covid-19 yang semakin menjadi-jadi. Di hari ini saja (24 April) sudah lebih 8.000 orang terinfeksi. Ini menurut data pemerintah. Lha data real di lapangan? Bisa jadi jauh lebih banyak.

Nah, Covid-19 ini virus yang butuh perhatian lebih. Ia tidak ganas bagi sebagian orang. Tapi bagi sebagian lain, virus ini sangat mematikan. Terutama bagi orang-orang yang punya riwayat penyakit kronis seperti jantung dan hipertensi. Sudah gitu nularnya cepat sekali. Untuk itu para ahli wabah berijtihad bahwa salah satu cara untuk memutus rantai penyebaran adalah dengan melakukan jaga jarak alias physical distancing.

Physical distancing bukanlah budaya masyarakat kita yang religius. Ini sangat individualis mengarah ke tradisi kebarat-baratan. Tak heran ada yang percaya bahwa virus ini bagian dari konspirasi global untuk mengalahkan kaum beriman. “Lha masak salat Jumat saja enggak boleh. Tarawih berjamaah dilarang. Jamaah tabligh dibubarkan. Apalagi kalau bukan konspirasi?”

Baca juga:  Surat-menyurat Dua Tokoh Muda NU-Muhammadiyah

Beberapa orang punya kecurigaan seperti itu. Saya sih maklum saja. Covid-19 ini seperti iman, gak kelihatan tetapi bisa disaksikan. Dalam sejarahnya, jenis pandemi selalu dianggap sebagai kutukan atau amarah Tuhan. Kaum beragama biasa berikhtiar dengan cara doa bersama. Walhasil, doa untuk kesembuhan berujung pada infeksi besar-besaran.

Tetapi memang begitulah adanya. Masyarakat yang sangat komunal harus menerima kenyataan bahwa untuk sementara waktu perilaku sosialnya dikurangi. Pertemuan dengan orang asing dicurigai. ‘Jangan-jangan dia bawa virus! Atau jangan-jangan saya yang bawa virus!’

Masyarakat Indonesia yang sedang merangkak menjadi masyarakat religius seutuhnya mendapat pil pahit. Bulan Ramadan ini kita dipaksa menjalankan puasa dalam suasana yang sunyi senyap. Bentuk pengumpulan massa yang dulu dianggap sebagai bentuk solidaritas justru dikecam karena dianggap rentan.

‘Bagaimana bisa disebut Ramadan jika tidak ada tarawih di masjid?’

Sebagian orang punya anggapan seperti itu karena menganggap salat tarawih di masjid sebagai bentuk ibadah sunnah. Padahal yang disunnahkan adalah salat tarawihnya. Sementara pelaksanaannya? Yuk, kita coba telusuri sejarahnya.

Sampai wafat, Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan salat jamaah tarawih di masjid. Di era kepemimpinan Abu Bakar pun belum dikenal salat tarawih berjamaah. Hal tersebut dikarenakan bulan Ramadan begitu ekstrem cuacanya. Siang sangat panas dan bahkan menjadi puncak cuaca panas, sebaliknya malam sangat dingin. Untuk itu di bulan Ramadan orang-orang diminta untuk ibadah di rumah saja.

Baca juga:  Konsepsi ‘Indonesia’ sebagai ‘Kedaulatan Sinkretis’

Sebuah tradisi baru dimulai di era Umar bin Khattab yang memulai salat tarawih berjamaah di masjid. Selain digunakan untuk mempererat solidaritas, salat jamaah di masjid bisa menjadi sarana mengajak orang-orang yang malas salat sendiri. Setelah itu, jamaah salat tarawih di masjid menjadi sesuatu yang identik dengan Ramadan.

Indonesia memiliki tradisi yang lebih beragam lagi. Pada saat saya masih kecil, puasa di kampung identik dengan obor, meriam, dan mercon. Ada banyak perakit meriam dan mercon yang bisa membuat senjata perang minimalis tersebut. Sehari sebelum puasa biasanya anak-anak kecil saling membalas ledakan. Ledakan terkuat menunjukkan kedigdayaan.

Anak zaman sekarang sepertinya tidak bisa membayangkan bagaimana minyak tanah dicampur garam atau karbit menimbulkan bunyi dahsyat dalam sebuah meriam bambu!

Beberapa tahun kemudian tradisi itu hilang. Perangkat desa resmi melarang bentuk perayaan Ramadan yang seperti itu karena tidak ada nilai substansinya dan justru membahayakan. Ternyata, hal ini terjadi di banyak wilayah. Ketika saya bercerita tentang masa kecil dengan orang-orang dari berbagai penjuru negeri, selalu ada cerita yang sama. “Wah, padahal dulu saya kira mercon itu sunnah Nabi,” ujar salah seorang teman.

Saya pun mengamini. Bahkan perang mercon antar geng musala satu dengan yang lain setelah jamaah subuh saya kira juga dilakukan oleh anak-anak di masa Rasulullah. Ternyata ini ‘hanyalah’ cara kita merayakan datangnya bulan suci.

Baca juga:  Tidak Ikut Muhammadiyah? Tidak Nahdlatul Ulama?

Saat ini mungkin banyak orang yang merasa berdosa jika tidak salat tarawih di masjid. Hal ini sangat wajar mengingat orang mengenal Ramadan dari tradisi kumpul-kumpul yang kuat. Buka bersama hingga sahur bersama jadi aktivitas rutinan.

Namun ini saatnya kita memberikan edukasi bahwa di tahun ini kita sebaiknya berdiam diri sementara waktu. Kita coba rasakan bagaimana Ramadan hadir ketika Rasulullah masih hidup. Ramadan dimaknai sebagai bulan perenungan alih-alih memburu diskonan.

Ya, sementara kita tinggalkan dulu yang sunnah seperti jamaah demi hal yang lebih besar. Hingga nanti pada saatnya Idul Fitri, kita benar-benar seperti terlahir kembali menjadi manusia seutuhnya. Menjadi manusia yang fitri meski menggunakan baju dan sarung lama.

Bismillah, mari berdoa dan berusaha agar pandemi ini cepat berlalu. Al-Faatihah..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top