Sedang Membaca
17 Surat Cinta yang Tak Terbalas: Dari Aceh Sampai Papua

Mahasiswa sekaligus Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

17 Surat Cinta yang Tak Terbalas: Dari Aceh Sampai Papua

17 Surat Cinta yang Tak Terbalas: Dari Aceh Sampai Papua

“Melalui 17 Surat Cinta ini, kita diajak untuk memahami bahwa hutan bukan hanya kumpulan pohon, tetapi juga rumah bagi manusia, satwa liar, dan ekosistem lainnya. Ketika hutan hilang, kita semua kehilangan”.

Film dokumenter 17 Surat Cinta menggambarkan realitas pahit yang dialami oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan akibat deforestasi dan ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia sampai 17 juta hektar.

Melalui kisah nyata yang disampaikan dengan visual yang menyentuh, film ini memberikan perspektif tajam tentang dampak kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan investasi dan pengembangan ekonomi, tanpa mempertimbangkan keberlangsungan lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat adat.

Pemerintah, dalam upayanya meningkatkan pendapatan negara, sering kali menjadikan pembukaan lahan sawit sebagai solusi cepat. Namun, di balik keuntungan ekonomi yang dijanjikan, ada harga yang harus dibayar oleh masyarakat adat yang kehilangan ruang hidup mereka.

17 Surat Cinta menunjukkan bagaimana pembukaan lahan sawit sering kali dilakukan dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka, dirampas dan dihancurkan demi kepentingan korporasi besar.

Padahal, masyarakat adat memiliki hubungan spiritual dan ekonomi dengan hutan. Hutan tidak hanya menyediakan pangan, tetapi juga identitas budaya mereka. Ketika hutan hilang, masyarakat adat tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga akar kehidupan yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi.

Rusaknya Ekosistem Alam

Dalam 17 Surat Cinta, dampak deforestasi besar-besaran tergambar begitu nyata. Ekosistem yang dulu kaya menjadi rusak akibat pembukaan lahan secara masif. Satwa liar kehilangan habitat mereka, sementara tanah yang dulu subur kini menjadi tandus. Deforestasi tidak hanya menghapus keberadaan pohon, tetapi juga menghancurkan keseimbangan alam.

Baca juga:  Kisah dan Makna Mural Cantik di Kampung Batik

Salah satu dampak yang paling jelas adalah banjir. Dengan hutan yang berfungsi sebagai penahan air kini beralih menjadi perkebunan sawit, air hujan tidak lagi terserap secara alami. Alhasil, desa-desa yang berada di sekitar kawasan tersebut menjadi langganan banjir.

Dalam beberapa adegan di film ini, penonton dapat melihat bagaimana banjir mengubah kehidupan masyarakat menjadi penuh penderitaan. Rumah-rumah tenggelam, ladang pertanian rusak, dan sumber mata pencaharian hilang.

Sialnya, penderitaan tidak hanya dialami oleh manusia. Satwa liar, seperti orang utan, harimau Sumatera, dan gajah, terpaksa keluar dari habitatnya karena kehilangan tempat tinggal. Beberapa bahkan menjadi korban perburuan ilegal akibat konflik dengan manusia yang semakin meningkat.

17 Surat Cinta berhasil menyampaikan pesan bahwa kerusakan lingkungan ini bukan hanya tentang manusia, tetapi juga tentang makhluk hidup lain yang menjadi bagian dari ekosistem.

17 Surat Cinta: Suara Perjuangan yang Tidak Didengar

Bagian yang paling menyayat hati dalam dokumenter ini adalah kisah 17 surat yang dikirimkan oleh masyarakat adat dan aktivis lingkungan kepada pemerintah. Surat-surat tersebut adalah simbol cinta dan harapan mereka agar hutan dan alam tetap dilestarikan.

Surat-surat ini tidak hanya berisi keluhan, tetapi juga harapan, permohonan, dan permintaan agar pemerintah menghentikan kebijakan deforestasi besar-besaran yang merusak. Namun, surat-surat tersebut tidak pernah mendapat balasan. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah lebih memilih berpihak kepada korporasi besar dibandingkan mendengarkan suara rakyat kecil yang berjuang mempertahankan tanah leluhur mereka.

Baca juga:  Film Pendek yang Menyentuh Hati: Doa Suto dan Bacaan Alpatekah

Dalam adegan yang paling emosional, salah satu aktivis lingkungan, Mas Lukman dengan berlinang air mata menyatakan bahwa “Sedih, membayangkan kerusakan alam ini, red”.

Surat-surat ini bukan hanya sekadar protes, melainkan juga bentuk cinta kepada hutan dan alam. Cinta yang tidak egois, tetapi penuh pengorbanan untuk menjaga bumi yang lebih baik.

Melalui surat ini, 17 Surat Cinta ingin menyampaikan pesan bahwa perjuangan masyarakat adat dan aktivis lingkungan adalah perjuangan yang mulia, meskipun sering kali diabaikan oleh pihak berwenang.

Krisis bagi Satwa Liar

Salah satu aspek penting yang diangkat dalam 17 Surat Cinta adalah dampak deforestasi terhadap satwa liar. Orang utan, yang dikenal sebagai spesies ikonik Indonesia, menjadi salah satu korban utama. Ketika habitat mereka diubah menjadi perkebunan sawit, mereka terpaksa mencari makanan di luar hutan, yang sering kali menyebabkan konflik dengan manusia. Banyak dari mereka yang akhirnya ditangkap, disiksa, atau bahkan dibunuh.

Harimau Sumatera dan gajah juga menghadapi nasib serupa. Dalam beberapa adegan, penonton dapat melihat bagaimana konflik antara manusia dan satwa liar meningkat akibat perebutan ruang hidup. Satwa liar yang dulunya bebas berkeliaran di hutan kini harus menghadapi ancaman dari perburuan ilegal dan aktivitas manusia lainnya.

Baca juga:  Seni Musik Perspektif Al-Farabi (1): Kombinasi Akal dan Pendengaran

Panggilan untuk Bertindak

17 Surat Cinta bukan hanya sebuah film dokumenter, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Melalui visual yang menggetarkan hati dan cerita yang mendalam, film ini mengajak penonton untuk berpikir ulang tentang konsekuensi dari kebijakan yang terlalu mementingkan keuntungan ekonomi.

Kritik utama yang disampaikan adalah bagaimana pemerintah dan swasta harus bertanggung jawab atas kerusakan yang telah mereka sebabkan. Kebijakan yang berfokus pada investasi dan pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan lingkungan dan masyarakat. Pemerintah harus mendengar suara masyarakat adat dan aktivis lingkungan yang berjuang mempertahankan hutan, bukan mengabaikan mereka demi kepentingan korporasi.

Selain itu, film ini juga mengingatkan kita bahwa kerusakan lingkungan adalah masalah kita bersama. Sebagai masyarakat, kita harus mendukung upaya pelestarian lingkungan dan menolak kebijakan yang merusak. Dukungan kepada masyarakat adat dan aktivis lingkungan adalah salah satu cara untuk melindungi bumi yang kita tinggali bersama.

Hutan adalah Kehidupan

Melalui 17 Surat Cinta, kita diajak untuk memahami bahwa hutan bukan hanya kumpulan pohon, tetapi juga rumah bagi manusia, satwa liar, dan ekosistem yang tak tergantikan. Ketika hutan hilang, kita semua kehilangan.

Film ini adalah “alarm” bagi kita semua. Pemerintah harus peka dan berhenti memprioritaskan kepentingan korporasi, khususnya mulai mendengarkan suara rakyat kecil. Jika tidak, maka kita akan mewariskan bumi yang rusak kepada generasi berikutnya. Dan pada saat itu, tidak ada surat cinta yang mampu mengembalikan apa yang telah hilang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top