Perkembangan ushul fikih klasik yang menjadikan teks (al-Quran dan sunah) sebagai sumber primer nyaris tanpa penolakan. Mayoritas tidak membantah bahwa sumber utama di dalam hukum Islam tidak lain adalah kedua teks tersebut. Namun, persoalan muncul ketika masuk di dalam proses memeras hukum dari teks itu. Perbedaan pendapat meski mengacu pada satu teks yang sama memang tidak bisa dihindari. Selain hal tersebut, yang juga menjadi persoalan tidak lain adalah spirit dari teks tersebut.
Sebagian berpandangan bahwa kepatuhan mutlak terhadap teks harus dicapai demi kesempurnaan hukum Islam. Sementara, sebagian yang lain lebih jauh melompat, yang digali adalah spirit dari teks itu sendiri. Salah satu spirit yang dianggap tertanam di dalam teks; bahwa agama selalu mendorong untuk kemasalahatan. Agama menjadi garda terdepan untuk memberi kemaslahatan terhadap penduduknya. Dalam al-Muwafaqat, semisal, as-Syatibi menganggap bahwa disyariatkannya Islam tiada lain hanya untuk memelihara kemaslahatan umat di dunia dan di akhirat.
Dengan begitu, as-Syatibi juga mengklasifikasi kelompok maslahat dalam tiga entitas. Yakni, primer (dharuriyat), sekunder (hajjiyat), tersier (tahsiniyyat). Salah satu ulama yang juga menaruh perhatian terhadap konsep maslahat adalah at-Thufi. Ia lahir bertepatan saat Islam mengalami awal kemunduran, tepat setahun setelah serangan Mongol ke kota Baghdad. Awal di mana kehancuran perdaban Islam dan integritas di bidang politik yang luluh-lantak. Namun, kesadaran at-Thufi bisa dibangun di tengah kondisi yang berat sedemikian.
Pemikiran at-Thufi semula memang sudah dikenal melompat (untuk mengindari term melenceng) serta dianggap paling liberal. Ia banyak disalahpahami dan bahkan dituduh membawa hukum Islam keluar dari domain teks. Dengan demikian, seolah-olah konsep maslahatnya hanya untuk melegitimasi hawa nafsu. Dan yang paling keras adalah tuduhan bahwa ia tidak lagi bermazahab Hanbali—patut dicatat, at-Thufi lahir dan besar di kalangan orang yang bermazhab Hanbali—melainkan Syi’ah Rafidhah dan berakidah Murji’ah [Muhammad Roy Purwanto, 2015: 33].
Berbeda dengan apa yang dikonsepsikan al-Ghazali ihwal maslahat itu yang membuat at-Thufi mendapat banyak atensi. Ghazali menganggap bahwa kualitas dan kuantitas dari maslahat tidak bisa diukur dengan kacamata manusia. Sebaiknya justru dikembalikan kepada kehendak teks yang pada ujungnya mengerucut terhadap pemeliharaan terhadap lima hal; agama, jiwa, akal, pikiran, keturunan dan harta benda. Sementara, at-Thufi berpandangan bahwa maujud bernama maslahat bisa diketahui oleh manusia dengan modal superioritas akal.
Empat Tesis Dasar
Meski pikirannya bertolak dari pandangan bahwa hukum Isalam senantiasa mewujudkan dan memelihara kemasalahatan, namun at-Thufi membangun empat tesis dasar dari maslahat itu. Empat tesis ini yang menjadi entitas fundamental dalam mengembangkan maslahatnya. Utamanya ketika kontra dengan apa yang ada dalam teks. Di dalam keadaan kontra inilah, at-Thufi dengan bebas dan tanpa beban lebih menadahulukan maslahat daripada teks.
Tesis pertama yang mendasari konsep maslahatnya adalah anggapan bahwa akal manusia bebas untuk menentukan kemasalahatan dan kemudaratan. Dengan itu, maslahat yang digagasnya tidak sepenuhnya dikungkung oleh teks. Tesis kedua yang jadi fundamen pemikiran at-Thufi, bahwa kemaslahatan merupakan dalil yang indipenden serta terbebas dari bayang-bayang teks. Dengan anggapan bahwa kehujjahan dari maslahat sudah tidak berpangku tangan kepada teks. Tesis ketiga, bagian yang perlu dicatat sebab di sini banyak yang salah paham, bahwa penggunaan maslahat hanya menyangkut soal hukum sosial (muamalah) dan hukum kebiasaan (adat).
Di tesis yang ketiga ini at-Thufi sepenuhnya memang mengkhususkan maslahatnya untuk ranah muamalah. Sementara dalam hal ibadah, ambil contoh kewajiban solat, puasa, zakat, tidak bisa digunakan konsep masalahat itu. Sebagaimana yang diyakini at-Thufi, bahwa dalam ranah ibadah semuanya merupakan hak prerogatif Tuhan yang tidak bisa diintervensi manusia. Dengan itu, konsep maslahatnya memang hanya dan untuk problem-problem muamalah.
Tesis yang terakhir—sebenarnya lebih mengarah kepada usaha apologetika—ialah anggapan bahwa maslahat ini adalah dalil syarak yang pling kuat. Karena hal itu, maka maslahat menduduki kasta setingkat lebih tinggi dari teks. At-Thufi mengklaim bahwa kemaslahatan disepakati bahkan secara aklamatif dan berbeda dengan ijma’ yang masih diperdebatkan kehujjahannya. Sementara klaimnya mendahulukan maslahat daripada teks tidak lain bahwa teks masih memiliki aspek (ayat) paradoks yang juga sering diperselisihkan.
Diakui atau tidak, usaha yang dilakukan at-Thufi ini memang sebuah lompatan jauh. Apalagi, dinilai dari sisi bahwa at-Thufi lahir di tengah dinamika hukum Islam yang mulai mendapat hambatan. Tentu, lompatan-lompatan semacam itu patut untuk mendapat predikat “apresiasi-kritis”. Meski dianggap sebuah gerakan pemikiran yang progresif, namun kita tidak harus melupakan sisi-sisi yang harus dikaji lebih komprehensif untuk kemudian dikritisi. At-Thufi mempunyai andil besar dalam bidang ini, dalam membidani kemaslahatan agama untuk tatanan kerajaan bumi.