Tentang Museum NU
Saya bersyukur pernah menjadi bagian Tim Kerja Museum NU, diketuai Drs. H. Choirul Anam. Ide awal berasal dari Gus Dur. Saat gedung Museum NU dibangun, Tim Kerja dibentuk untuk melakukan pengumpulan data, dokumen, benda-benda peninggalan para muassis NU, foto-foto dan pendokumentasian situs-situs bersejarah terkait dengan proses berdirinya NU dan perjuangan tokoh-tokoh NU. Di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, saya tenggelam di antara majalah-majalah dan buku-buku di Perpustakaan, yang menyimpan karya-karya pemikiran Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Terbitan masa-masa awal berdirinya NU, tulisan-tulisan K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahid Hasyim pada zaman pendudukan Jepang, sangat mengasyikkan disimak.Ditemani Iskandar Zubair, pelukis dan karikaturis Duta Masyarakat, berperan mengabadikan sejumlah situs-situs bersejarah.
Di Pondok Pesantren Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo, terdapat kamar yang tetap terpelihara keasliannya, tempat mondok Kiai Hasyim Asy’ari. Juga situs tempat Markas Oelama Djawa Timoer (MODT) di kawasan Pabrik Paku, Waru, Sidoarjo — tentang ini saya akan ceritakan lebih lanjut. Ada juga bekas Penjara Koblen di kawasan Bubutan Surabaya, tempat Kiai Hasyim Asy’ari dan KH Mahfudz Shiddiq dipenjara zaman pendudukan Jepang. Tim Kerja Museum NU berhasil mengoleksi Kitab Layang Ambyo’ — sebutan umum tentang Qishashul Anbiya’, kisah-kisah Para Nabi yang ditulis dalam huruf Jawa dan Pegon (aksara Arab berbahasa Jawa) dari kawasan Mataraman.
Sebelum Gedung Museum NU dibuka oleh KH. Abdurrahman Wahid, Mustasyar PBNU, dalam suatu acara pada Kamis, 25 November 2004 malam, terdapat lukisan karya M. Badri, pelukis asal Bangil, Pasuruan, yang merekonstruksi foto K.H. M. Hasyim Asy’ari. Lukisan dengan wajah merunduk, kemudian beredar luas di masyarakat. Dari lukisan inilah, sejumlah seniman lain mereproduksi untuk dilukis kembali, tapi karya M. Badri itulah yang mengesankan karena otentisitas dan kualitas penggarapannya. Pada saat pembukaan inilah, video klip Museum NU yang diproduksi itu diputar dan disaksikan bersama. Selain Gus Dur (meskipun tak mampu melihat), disaksikan sejumlah tokoh NU seperti K.H. M. Yusuf Hasyim dan sejumlah Kiai Sepuh dari Jawa Timur. Teristimewa, istri Mahbub Djunaidi (almaghfurlah). Selain sejumlah kalangan lain, dari eksekutif, legislatif dan akademisi dan aktivis.
Pembukaan Museum NU telah dilakukan. Namun, rasanya belum afdhal karena belum diresmikan oleh Rais Aam PBNU KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (almaghfurlah). Maka disusunlah acara peresmian Museum NU. Saat bertepatan dengan Pembukaan Muktamar ke-31 NU di Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, pada Minggu, 28 November 2004 — sebagaimana permintaan dari Pemimpin Tertinggi NU yang Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Di Museum NU, kini terdapat dua prasasti ditandangai K.H. Abdurrahman Wahid (Mustasyar PBNU) dan K.H. M.A. Sahal Mahfudh (Rais Aam PBNU).
Kiai Sahal berpesan agar kepada Cak Anam, agar mencatat dan mendokumentasikan seluruh sejarah NU dengan baik, atas keberadaan Museum NU, yang merupakan satu-satunya di seluruh dunia. Ketika itu, belum ada ormas Islam yang mempunyai museum kecuali NU. Kabarnya, Persyarikatan Muhammadiyah pun berencana mendirikan museum di Yogyakarta — merujuk kota kelahiran organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan. Pun berdiri di Tebuireng, Jombang, Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asy’ari, semakin memperkaya khazanah peninggalan bersejarah perjuangan umat Islam di Indonesia.
Museum NU berdiri di kawasan Gayungsari, Surabaya. Suatu kawasan akses menuju Masjid Al-Akbar. Berhadapan dengan Grha Astranawa, kantor DPW PKB Jawa Timur. Gedung bundar berlantai 3, didominasi warna hijau, kini dipenuhi benda-benda bersejarah, dari kelahirannya hingga sekarang, termasuk foto-foto para tokoh NU yang dilukis oleh D. Zawawi Imron.
Eksistensi Museum NU begitu penting bagi warga NU dan masyarakat umummya, guna membaca, menyimak dan meneladani serta mengambil pelajaran dari perjalanan sejarah NU. Banyak cerita yang tak diketahui warga Nahdliyin sejauh itu. Dengan berdirinya Museum NU, terkait andil besar tokoh-tokoh NU dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk Resolusi Jihad NU, terdokumentasi secara akurat.
***
Syair Syubbanul Wathan, Mars Yalal Wathan
Badannya tidak atletis. Namun, kegesitannya berpikir dan bertindak melampaui zamannya. Pada usia 28, pemuda tangguh ini mendirikan Nahdlatul Wathan – sebuah perkumpulan yang mencerminkan Kebangunan Tanah Air, 1916. Interaksinya dengan kaum pergerakan di Surabaya cukup intens. Kegairahannya berorganisasi telah dimulai sebelumnya, ketika ia tinggal di Makkah. Sosok kosmopolit ini memilih Surabaya sebagai ladang perjuangannya.
Ia pemuda gelisah menyaksikan situasi di tengah masyarakatnya, Situasi gelap akan kebodohan. Tashwirul Afkar pun berdiri pada 1918 sebagai wadah bertukar pikiran, bergerak di bidang sosial, pendidikan dan dakwah. Kebebasannya bergaul tak terbatas. Ketika Dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo, menghimpun sejumlah kaum muda untuk bergerak di ranah diskursif dengan Indonesische Studieclub pada 1924, ia pun ambil bagian. Bahkan, pada tahun itu, ia membentuk Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) untuk menggembleng kader-kadernya: Abdullah Ubaid, Thohir Bakri, Mas Alwi bin Abdul Aziz, dan Abdul Chalim Leuwimunding.
Itulah Kiai Abdulwahab Chasbullah (31 Maret 1888 – 29 Desember 1971). Dalam pergerakannya, Syubbanul Wathan lebih mengutamakan pembentukan kader pemimpin, mempunyai sayap Da’watus Syubban, lebih melakukan pendalaman pada ilmu keagamaan, dan Ahlal Wathan di bidang kepanduan. Di antara organisasi-organisasi tersebut mengarah pada satu tujuan: membangkitkan Tanah Air dari belenggu penjajah. Syair-syair berbahasa Arab pemuda Syubbanul Wathan, Ahlul Wathan dan Da’watus Syubban pada 1924, memberikan bukti perjuangan Kiai Abdulwahab Chasbullah.
Kita bersyukur syair-syair itu dicatat Kiai Abdul Chalim, pemuda asal Leuwimuding, setia mengabadi pada perjuangan Kiai Wahab hingga berdirinya Nahdlatul Ulama, 31 Januari 1926.
Mari kita simak Syair Syubbanul Wathan, yang awal:
Ya ahlal wathan ya ahlal wathan
Hubbul wathan minal iman
Hubbul wathan ya ahlal wathan
Wala takun ahlal hirman
Innal kamala bil a’mal
Walaisa zalika bil aqwal
Fa’mal tanal maa fil amal
Wala takun mahdlal qawal
Dun-ya kumuu maa lil-maqar
Wa innama hiya lil mawar
Fa’mal bil mal maula amar
Walaa takun baqaraz zimar
Lam ta’lamuu man dau-waruu
Lam ta’qiluu maa ghaiyaruu
Aina in-tihaa-i maa sai-yaruu
Kaifa in-tihaa-i maa shai-yaruu
Am humuu fii-hi saa-qakum
Ilaa al-madzaabikhi dzab-khakum
Am i’taquu-kum uq-baa-kum
Am yudii-muu a’baa-kum
Ya ahlal ‘uquulis saa-limah
Wa ahlal quluu-bil ‘aa-zimah
Kuu-nuu bil-himmati ‘aa-liyah
Walaa takun kassaa-imah
Terjemahannya:
Wahai bangsaku
Cinta Tanah Air bagian dari iman
Cintailah tanah airmu
Jangan kalian jadi jajahan
Semua itu menuntut perbuatan
Tak cukup hanya dengan ucapan
Berbuatlah demi cita-cita
Jangan cuma bicara
Dunia ini bukan tempat menetap
Hanya tempat berlabuh
Berindaklah karena perintah Tuhan
Jangan seperti sapi tunggangan
Kalian tak tahu siapa yang bikin ulah
Juga kalian tak berfikir sesuatu bakal berubah
Kapan perjalanan macam ini terhenti
Juga bagaimana suatu peristiwa akan usai
Adakah mereka memberimu minum?
Juga kepada ternakmu?
Adakah mereka membebaskanmu dari beban?
Wahai bangsaku yang berfikir jernih
Berperasaan halus
Kobarkanlah semangatmu
Jangan jadi pembosan!
Dalam perkembangannya, syair-syair Syubbanul Wathan ini terus bergema di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, dengan variasi dan cara menyanyikannya sendiri-sendiri. Di Pesantren Tebuireng Jombang, misalnya, hingga masa pendudukan Jepang pada 1940-an, syair tersebut tetap dinyanyikan para santri setiap kali memulai aktivitas belajar di sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan syair itu, para santri diminta berdiri tegak sebagaimana laiknya menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Pada 2012 Kiai Maimun Zubair (almaghfurlah), memberikan ijazah syair Yalal Wathan, untuk dijadikan Mars (kemudian dikenal Mars Yalal Wathan). Saya menduga, syair ini mengalami metamorphosis pada 1934, ditashih Pengasuh Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang itu.
Mari kita simak pula Mars Syubbanul Wathan atau Yalal Wathan:
Ya lal wathan
Ya lal wathan
Ya lal wathan
Hubbul wathan minal iman
Wala takun minal hirman
Inhadlu alal wathan.
Indonesia biladi
Anta ‘unwanul fakhama
Kullu may ya’tika yauma
Thamihay yalqa himama
Pusaka hati wahai Tanah Airku
Cintaku dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai Bangsaku
Pusaka hati wahai Tanah Airku
Cintaku dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai Bangsaku
Indonesia Negriku
Engkau panji martabatku
Siapa datang mengancammu
‘Kan binasa di bawah dulimu
Sebagaimana faset pemikiran, antara Syair Syubbanul Wathan dan Mars Syubbanul Wathan atau Yalal Wathan, keduanya sama-sama penting. Ia tertanam di hati kaum santri. Apalagi, saya pun merasa tergairahkan ketika menyanyikan mars, yang mula-mula diajarkan pada Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama, dipelopori K.H. As’ad Said. Seiring dengan lagu Padamu Negeri. Mars Syubbanul Wathan pun terasa menggairahkan setelah kita menyanyikan Indonesia Raya. Pada akhirnya, yang asli memang Syair Syubbanul Wathan – yang sempat diaransemen seniman Nasar al-Batati atas permintaan Cak Anam. Dari mulut Cak Anam, saya menyaksikan syair Syubbanul Wathan yang otentik dihafalnya, saat kami melakukan pengambilan gambar untuk video klip Museum NU.