Baihajar Tualeka lahir dalam keluarga Muslim pada 4 Februari 1974 di desa Pelauw, wilayah utara Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Dia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Status sang ayah membawa Bai dan keluarganya untuk tinggal di Papua sejak kecil. Di sana dia mengenyam pendidikan sekolah dasar di SD 1 Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Pada 1992, Bai memasuki Universitas Pattimura, Ambon, jurusan budidaya pertanian, program studi ilmu tanah. Dia sempat mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di kampus dan juga aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Saat semester VII, dia mengikuti sebuah organisasi Islam yang eksklusif dan tidak terbuka terhadap pandangan kelompok-kelompok lain. Kurang lebih tujuh bulan lamanya dia bergabung di organisasi tersebut.
Ketika pertama kali konflik Ambon pecah pada 1999, Baihajar pernah terlibat dalam perakitan dan peledakan bom molotov bersama beberapa pejuang dari kubu Muslim. Ketika konflik Ambon tengah memuncak, Baihajar pernah ikut membuat bom Molotov dan katapel. Bom tersebut mereka ledakkan di beberapa tempat seperti pojok-pojok pasar, jalan raya, atau titik mana saja di mana kelompok lawan berada.
Baihajar memilih untuk terlibat sebagai kombatan karena beberapa hal. Pertama, saat itu kaum perempuan dianggap sebagai “gangguan” bagi strategi laki-laki dalam melancarkan serangan ke pihak lawan. Ruang gerak perempuan dibatasi sehingga mereka tidak leluasa ketika harus pergi ke suatu tempat.
Kedua, Baihajar didorong oleh keyakinan ideologis tertentu. Konteks konflik Maluku telah menggerakkannya untuk turun tangan. Dia kerap berpikir bahwa kematian yang datang saat berjihad lebih bermakna karena kematian seperti itu sudah “dijamin” memperoleh surga. Seruan mati syahid ini sering didengarnya ketika dia mulai terlibat sebagai perakit bom.
Status Baihajar yang sejak awal merupakan korban konflik tidak lantas hilang dengan dia berubah menjadi pelaku. Semakin dia berada dalam posisi ekstrem, semakin dia merasakan pengalaman sebagai korban pada diri orang lain. Dia berpikir bahwa kelompok Kristen pun mengalami penderitaan yang sama. Dia terlibat dalam kelompok jihadis laki-laki dalam rentang waktu yang tidak begitu lama, yaitu sekitar satu hingga dua bulan. Setelah itu berhenti.
Ada beberapa faktor yang mendorong Baihajar untuk berhenti berperan sebagai pemasok bom molotov di komunitas Muslim. Pertama, dia melihat bahwa apa yang dilakukannya tidak lantas memberikan dampak lebih baik bagi kelompok Muslimnya. Dia mulai mempertimbangkan kembali keputusannya. Dia mulai menyadari bahwa hal ini merupakan langkahnya yang akan makin membuatnya menderita.
Kedua, salah satu teman perempuannya sesama perakit bom meninggal dunia. Temannya itu sering disanjung oleh laki-laki karena yang bersangkutan berani mengatur serangan dan menempatkan bom-bom untuk diledakkan di wilayah Kristen. Tetapi, suatu hari dia meninggal karena ditembak oleh lawan. Karena tidak ada satu pun yang mau bertanggung jawab atas kematian temannya itu.
Di saat yang sama, hubungan personalnya dengan kawan-kawan di kamp pengungsian juga mulai terjalin baik. Baihajar dan kelompok perempuan yang mengungsi intens bercerita, berdialog dan bernyanyi, serta bernostalgia akan budaya pela-gandong yang menjadi prinsip relasi orang-orang di Maluku.
Selain itu, ketika dia terlibat dalam perakitan bom dengan kelompoknya, banyak kesalahan fatal yang dia temui. Kesalahan terjadi ketika bom tiba-tiba meledak di luar rencana. Tidak jarang, temannya meninggal akibat bom yang meledak di tangan, saat akan diletakkan di beberapa titik untuk menyerang lawan.
Selain faktor-faktor di atas, konteks bagaimana sejumlah bantuan berkontribusi bagi transformasi konflik juga memengaruhi sikap Baihajar. Berkat bantuan pascakonflik, berbagai perbaikan berlangsung atas infrastruktur seperti pasar, sekolah, hingga fasilitas kesehatan, yang mulai menormalkan kehidupan. Selain itu, yang lebih penting adalah bahwa bantuan turut berkontribusi untuk membangun binadamai, meredakan kemarahan dan frustrasi, membangun rasa aman dan saling percaya yang hilang akibat pertikaian yang berkepanjangan (Petesh, 2011: 7). Dengan demikian, program rekonstruksi pada masa konflik mampu membawa banyak pilihan bagi perempuan.
Selama konflik Maluku berlangsung atau segera sesudahnya, lembaga seperti Komnas Perempuan turut berkontribusi dalam upaya rekonsiliasi. Dengan dukungan dari New Zealand Official Development Assistance, lembaga itu membentuk Komisi Penyidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Mediasi di Maluku (KPMM), dengan tujuan mengantisipasi masalah-masalah pelanggaran hak asasi manusia akibat konflik (Komnas Perempuan 2003: 29-31).
Di antara upaya-upaya mediasi KPMM adalah: pertemuan dengan masyarakat Maluku Tenggara dan tokoh-tokohnya; pertemuan dengan ibu-ibu; dan buka puasa bersama dengan ibu-ibu dari kalangan Muslim – semuanya berlangsung di Benteng Victory, Markas Batalyon 733, Masariku. Dalam acara buka puasa bersama ini, ibu-ibu dari kalangan Kristen berperan menyiapkan makanan buka puasa. Dalam semua proses ini, Baihajar turut menjadi salah satu penerima manfaat dari program yang diinisiasi Komnas Perempuan.
Pada awal 2000, Baihajar juga mulai terlibat aktif dalam sejumlah program penguatan kapasitas yang diinisiasi Komnas Perempuan. Namun, saat itu, yang dibahas belum mengenai perdamaian. “Saat itu, orang cenderung menghindari kata damai, sebab damai artinya menyerah,” ujarnya. Namun, perlahan-lahan, komunikasi yang dijalin oleh inisiatif perempuan semakin membuka jalan untuk berdialog dengan komunitas Kristen.
Salah satu inisiatif yang kuat waktu itu adalah Gerakan Perempuan Peduli (GPP), yang diinisiasi masing-masing oleh tokoh perempuan Islam dan Kristen, yakni pendeta Etta Hendriks dan Yul Latucosina (istri wakil gubernur yang tengah menjabat saat itu). Tujuannya adalah menggerakkan kelompok perempuan agar mengupayakan perdamaian, membujuk suami dan anak-anak mereka agar tidak ikut berkonflik. Baihajar merupakan salah satu perempuan yang dilibatkan dalam kerja-kerja GPP. Sejak 2001 hingga saat ini, GPP adalah mitra LAPPAN untuk terus berupaya untuk meningkatkan ketahanan diri masyarakat Maluku agar tidak mudah terprovokasi oleh segala bentuk pemicu konflik di kemudian hari.
Langkah Binadamai Baihajar
Upaya binadamai Baihajar dimulai dari kamp pengungsian. Dia berpikir untuk menginisiasi banyak agenda di kamp karena di sana tidak ada kegiatan rutin. Dia kemudian membentuk sekolah alternatif untuk anak-anak pengungsian, wadah dialog serta kegiatan ekonomi untuk ibu-ibu pengungsian.
Dengan ibu-ibu, Baihajar membuat sebuah wadah dialog dan tempat mencurahkan kondisi mereka. Dia dan ibu-ibu saat itu menamai kelompok mereka SANUSA (Saniri Satu Rasa). Di dalam SANUSA, ibu-ibu bercerita, menyanyi, dan menari, berbagi kesedihan hingga menangis.
Pada 27 Oktober 2017, barisan organisasi perempuan yang terdiri dari organisasi yang dia pimpin – Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN); Suara Hati; Fatayat Nahdlatul Ulama (NU); Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), Ambon; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII); Universitas Pattimura; dan Rumah Baku Mangente – sama-sama menyelenggarakan acara berjudul “Napak Toleransi”. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ambon bertindak sebagai donatur kegiatan. Acara tersebut mengangkat judul “Merawat Damai dan Merekatkan Kebersamaan dalam Bingkai Hidup Orang Basudara.” Selama acara berlangsung, tagar-tagar berjudul #PerempuanAgenPerdamaian #PerempuanPecintaDamai #PerempuanPerdamaianMaluku serta #PerempuanPenggiatPerdamaian menjadi “senjata” mereka untuk menggaungkan kegiatan ini di lingkup media sosial.
LAPPAN menjadi tolak ukur paling penting dalam melihat upaya binadamai Baihajar. Sebelumnya, kepanjangan LAPPAN adalah Lingkar Pembedayaan Perempuan dan Anak yang dibentuk pada 2002. Visi organisasi ini adalah “terwujudnya masyarakat yang berkeadilan gender, mandiri, dan terpastikan pemenuhan hak asasinya.” LAPPAN merupakan “perpanjangan tangan” dari sejumlah kegiatan yang diinisiasi Baihajar saat dia berada di kamp pengungsian.
Pada Oktober 2017 lalu, Baihajar bersama jaringan aktivis perempuan lainnya menyelenggarakan kegiatan bernama “Napak Toleransi” dengan tema “Merawat Damai dan Merekatkan Kebersamaan dalam Bingkai Hidup Orang Basudara.” Selama acara berlangsung, tagar-tagar seperti #PerempuanAgenPerdamaian #PerempuanPecintaDamai #PerempuanPerdamaianMaluku serta #PerempuanPenggiatPerdamaian menjadi “senjata” mereka untuk menggaungkan kegiatan ini di lingkup media sosial.
Napak toleransi menjadi potret kerja-kerja Baihajar lainnya. Program ini turut mendapat respons baik pemerintah dan diagendakan untuk menjadi program tahunan di Ambon karena berkontribusi bagi perbaikan kohesi sosial di kota itu. Meski sempat memiliki kehidupan kelam di kamp pengungsian, kini Baihajar mampu melakukan sesuatu yang lebih dari ongkos konflik yang dia terima. Dia bahkan tidak segan berbagi saat diminta menceritakan tentang bagaimana keterlibatannya dalam pembuatan bom.
Acara berakhir dengan perjalanan dari Katedral ke Kampung Waringin di Ambon, kampung terdepan yang dibakar ketika konflik pertama kali mencuat. Singkat cerita, kampung ini sudah terbakar sebanyak tiga kali sejak konflik pada 1999, 2002 dan 2011. Napak toleransi diakhiri di kampung ini dengan maksud sebagai penanda sekaligus harapan mendalam agar konflik tidak kembali terjadi di Ambon.
Selain program-program di atas, kegiatan lain yang diinisiasi LAPPAN dan Baihajar adalah pengajaran di Madrasah Tsanawiyah Hasyim Asyari di Airbesar, Ambon. Inisiatif tersebut datang ketika Baihajar lewat dan menawarkan bantuan secara sukarela. Sekolah ini baru berdiri pada 2017 dengan jumlah siswa sebanyak 19 orang dan satu orang pendidik. Baihajar memaparkan, tema pengajaran bulan ini di sekolah itu adalah mengenai toleransi, karena anak-anak perlu diperkenalkan secara bertahap dengan upaya-upaya binadamai.
Selain aspek pendidikan, aspek pemberdayaan ekonomi juga menjadi fokus LAPPAN. Kini koperasi yang dibentuk Yayasan LAPPAN pada 2006 sudah memiliki nasabah sekitar 900 orang dan tersebar misalnya di Kabupaten Seram dan Maluku Tengah. Ketika ada ketegangan pada 2011, Koperasi LAPPAN sempat terhenti karena situasi yang tidak aman dan beberapa nasabah menjadi korban. Upaya menghidupkan kembali koperasi kemudian dimulai pada 2012 dengan cara mengembangkan usaha ekonomi keluarga bagi kelompok petani di Waralohi dan Uraur, Kabupaten Seram. Selain itu, kegiatan ekonomi produktif bagi perempuan korban bencana banjir juga dirintis di daerah Ahuru, Ambon.
Kerja-kerja aktivis Baihajar semacam ini mendapat dorongan kuat dari sang ibu, Binur Latuponu. “Mama berkata, semua manusia dengan agama apa pun tujuannya adalah sama. Bagaimanapun kita harus berbuat baik dan menaburkan kebaikan di antara sesama manusia. Jangan pernah sakiti ciptaan Tuhan,” kata Baihajar mengikuti pesan ibunya.
Selain keluarga, khususnya ibunya, yang menginspirasi Baihajar untuk konsisten dalam kerja-kerja binadamai adalah teman-teman dan ibu komunitas yang membuatnya bertahan. Dia juga banyak mengagumi tokoh-tokoh agama yang humanis, yang menyebarkan cinta kasih. Salah satunya adalah Bunda Theresia, seseorang yang sepanjang hidupnya menyebarkan perdamaian. Dari bumi Indonesia, dia juga mengagumi Saparinah Sadli, Musdah Mulia, dan Quraish Shihab selaku figur yang menebarkan humanisme dan berjuang untuk tidak tunduk kepada diskriminasi atas dasar agama, suku dan identitas lainnya.
Baihajar Tualeka merupakan contoh hidup bahwa kompleksitas konflik mampu memobilisasi seseorang untuk turut serta dalam ekstremisme, tetapi hal itu tak menutup kemungkinan bagi dirinya untuk dan melakukan sejumlah upaya binadamai. Berkaca dari pengalaman Baihajar, seseorang mampu berhenti dari melakukan aksi-aksi kekerasan karena beberapa faktor pemicu seperti pengalaman traumatis dan tersedianya pilihan-pilihan seperti adanya teman dialog dan bantuan dari sejumlah lembaga untuk penguatan kapasitas.
Selain itu, bantuan dari lembaga kemanusiaan merupakan salah satu faktor pendorong yang mampu menjelaskan mengapa seseorang memilih. Konflik Maluku yang mencuat pada 1999 memiliki “daya tarik” yang besar bagi lembaga-lembaga yang membantu proses rekonsiliasi dan perdamaian di wilayah tersebut. Keinginan Baihajar untuk keluar dari ekstremisme turut dipermudah atau bahkan difasilitasi oleh tersedianya dukungan lembaga-lembaga ini.
Dinukil dari tulisan Fini Rubianti dalam buku Keluar dari Ekstremisme (Delapan Kisah “Hijrah” dari Kekerasan Menuju Binadamai) yang diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 2018.