
Tanggal 1 Syawal seolah datang bak gelombang pasang. Menerjang kota-kota kita dengan arus manusia yang berdesakan di terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara.
Jalanan berubah menjadi sungai kendaraan yang mengular, menempuh perjalanan berjam-jam demi satu tujuan: pulang. Rumah masa kecil di kampung halaman memanggil, laksana suara adzan yang menggema di langit nostalgia.
Namun, dibalik sukacita menyongsong hari raya itu, ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan: kepanikan.
Kepanikan itu bukan hanya tentang tiket yang habis dalam hitungan menit atau kemacetan yang mengubah jalan tol menjadi lautan lampu merah. Ada panik lain yang lebih sunyi—panik karena merasa harus memenuhi ekspektasi yang tak kasatmata.
Baju baru. Buah tangan yang cukup. THR yang pantas. Semua seakan menjadi tiket masuk ke meja makan keluarga, ke pelukan sanak saudara yang tak sabar menghitung seberapa sukses kita tahun ini.
Sejak kapan Lebaran menjadi ajang pembuktian? Sejak kapan hari raya Idul Fitri berubah menjadi parade gengsi? Kenapa kita malah membiarkan diri terjebak dalam lingkaran setan itu?
Di meja makan, percakapan melompat dari satu pertanyaan ke pertanyaan lain. “Kapan nikah?” bagi yang masih sendiri. “Kapan punya anak?” bagi yang sudah menikah. “Kerja di mana sekarang?” bagi yang baru lulus. Banyak orang yang cuma mau bertanya, tapi tak semua sungguh benar ingin mendengar jawaban. Kadang, Lebaran lebih mirip wawancara ketimbang perayaan.
Namun, dibalik semua itu, ada keheningan yang lebih dalam. Panik bukan hanya milik mereka yang belum bisa menjawab pertanyaan keluarga. Panik juga ada dalam hati mereka yang menyadari bahwa waktu terus berjalan, dan setiap Lebaran membawa serta kenyataan: orang-orang yang tahun lalu masih duduk di meja makan, kini hanya tinggal nama dalam doa.
Di masjid-masjid, gema takbir membelah malam, menggetarkan langit dengan pengingat yang sering kita abaikan: hidup ini fana. Lalu, mengapa kita masih sibuk panik pada hal-hal yang sementara?
Lebaran seharusnya menjadi perhentian, bukan perlombaan. Ia adalah momen untuk kembali ke esensi—memaafkan, menyambung yang putus, melepas beban yang menyesakkan dada. Bukan untuk membuktikan seberapa jauh kita melangkah dalam dunia, tetapi seberapa dalam kita telah melangkah dalam hati.
Maka, jika Lebaran kali ini kita masih terasa panik, mungkin kita perlu bertanya kembali: apa yang sebenarnya ingin kita rayakan?
Lebaran seharusnya menjadi perayaan kebahagiaan, bukan ajang kegelisahan. Tapi bagi banyak orang, takbir yang menggema di malam hari justru menjadi lonceng panik.
Ada yang panik karena belum cukup sukses untuk “dipamerkan” di hadapan keluarga. Ada yang panik karena belum bisa memenuhi tuntutan tradisi.
Ada yang panik karena sadar bahwa Ramadhan telah pergi, dan ia tak sempat benar-benar menghayati maknanya.
Jika kita tengok lebih dalam ke inti Lebaran, ia bukanlah soal baju baru, THR, atau kepulangan fisik semata. Ia adalah momen spiritual yang menguji sejauh mana kita benar-benar kembali ke fitrah.
Dalam Islam, fitrah adalah kesucian asal manusia, keadaan bawaan yang bersih sebelum dunia mengotori hati dengan ambisi dan kepentingan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari & Muslim)
Lebaran bukan sekadar perayaan satu bulan puasa yang telah kita lewati, tetapi sebuah gerbang untuk mengingat kembali siapa kita sebelum dunia menyesaki dada dengan kegelisahan. Maka, pertanyaannya bukan lagi tentang “apa yang harus kita siapkan untuk Lebaran?” melainkan “siapa diri kita setelah Ramadhan?”
Sebagian ulama mengatakan, tanda diterimanya amal seorang mukmin adalah ketika setelah Ramadhan, ia tetap menjaga kebiasaan baiknya. Tapi realitanya, banyak dari kita yang justru panik ketika menyadari bahwa Ramadhan berlalu begitu cepat, sementara hati masih terasa sama.
Panik karena kita masih lebih sibuk memikirkan apa yang akan kita kenakan saat Lebaran, ketimbang apa yang akan kita bawa ketika menghadap Allah kelak. Panik karena kita masih lebih khawatir dengan saldo rekening, daripada saldo amal yang telah kita kumpulkan.
Bukankah Ramadhan seharusnya melatih kita untuk melepaskan keterikatan pada dunia? Bukankah ia mengajarkan bahwa yang terpenting bukanlah berapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa ringan hati kita dari ketergantungan?
Kembali ke Rumah yang Hakiki
Di Indonesia, lebaran seringkali diidentikkan dengan pulang kampung. Tapi sejatinya, ada kepulangan yang lebih dalam: kembali pada kesadaran meng-Allah. Sebagaimana kita rindu pada rumah tempat kita dibesarkan, kita seharusnya lebih merindukan rumah hakiki—kehadiran Allah dalam hati.
Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Carilah hatimu di tiga tempat: dalam shalat, dalam membaca Al-Qur’an, dan dalam mengingat kematian. Jika engkau tidak menemukannya di sana, maka mohonlah kepada Allah agar Ia memberimu hati, karena sungguh, kau tidak memilikinya.”
Lebaran bukan soal kepulangan fisik semata, tetapi kepulangan batin—sebuah perjalanan kembali kepada fitrah yang bersih. Takbir yang menggema di malam Lebaran bukan sekadar suara, melainkan panggilan:
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaha illallahu, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd.”
Betapa sering kita mendengar takbir, tapi lupa merenungi maknanya. Betapa sering kita mengucapkan kebesaran Allah, tapi masih mengkhawatirkan hal-hal kecil duniawi.
Setelah sebulan ditempa dalam ibadah dan pengendalian diri, mestinya kita lahir kembali sebagai manusia yang lebih lembut hatinya, lebih ringan tangan untuk berbagi, lebih ringan lisan untuk memaafkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala dari Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Lebaran bukan sekadar perayaan makan besar, tetapi perayaan pembebasan diri—dari kesalahan, dari beban dendam, dari ketakutan yang tidak perlu. Jika kita masih menyimpan kebencian, masih terbelenggu oleh keserakahan, masih dikuasai oleh ambisi dunia, maka mungkinkah kita benar-benar kembali sebagai manusia yang fitri?
Maka, ketika fajar Lebaran menyingsing dan kita bersiap untuk bersujud di atas sajadah, tanyakanlah kepada diri:
“Apakah aku benar-benar telah kembali pada kesejatian diri?”
Imam ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dalam Nahjul Balaghah pernah berpesan:
“Ketahuilah, sesungguhnya dunia ini adalah tempat berlalu sahaja, bukan tempat tinggal abadi. Dan manusia di dalamnya ada dua golongan: yang menjual dirinya untuk dunia, lalu membinasakannya; dan yang menjual dirinya untuk Allah, lalu membebaskannya.”
Lebaran seharusnya bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal yang baru. Setelah sebulan ditempa dalam lapar dan dahaga, dalam sujud dan munajat, tibalah saatnya bertanya: ke manakah arah perjalanan kita setelah ini? Apakah kita kembali tenggelam dalam dunia, menjual diri untuknya, ataukah kita menghidupi ruh Ramadhan dalam hari-hari setelahnya?
Jika Ramadhan adalah madrasah ketakwaan, maka Lebaran adalah ujian sesungguhnya. Apakah kita masih menjaga kesederhanaan hati? Apakah kita masih mendahulukan Allah di atas segalanya?
Jika jawabannya “ya,” maka inilah kemenangan yang hakiki. Sebab, Lebaran bukan sekadar perayaan, melainkan momentum untuk menyadari betapa Allah teramat sangat dekat dengan kita, kendati tak bersentuhan. [®]