Proses islamisasi di Jawa merupakan salah satu babak penting dalam sejarah Nusantara, yang menunjukkan bagaimana Islam berkembang dan beradaptasi dengan budaya setempat.
Salah satu sumber sejarah yang menggambarkan proses ini adalah manuskrip kuno yang ditemukan di lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, yang merupakan koleksi teks keagamaan, mitologi, dan kearifan lokal.
Manuskrip-manuskrip ini tidak hanya menyajikan wawasan tentang bagaimana Islam pertama kali masuk ke Jawa, tetapi juga menunjukkan bagaimana ajaran Islam bersinggungan dengan kepercayaan lokal.
Apa yang terjadi setelah Majapahit sirna, ilang kertaning bumi? Ternyata, para penulis lontar masih eksis di Jawa, melestarikan berbagai kearifan lokal masa klasik—bahkan beberapa rakawi masih menggurat lontar yang islami, di Merapi-Merbabu. Ke mana lontar-lontar itu sekarang?
Romo Kuntoro Wiryo Martono, seorang Jesuit taat, dan Dr. Kartika Setyawati menemukan banyak lontar yang berserakan itu. Mereka laik kita tahbis sebagai pendekar Merapi-Merbabu zaman kiwari.
Menurut Romo Kuntoro, lontar-lontar masih terus diproduksi di kampung dan desa di dua pegunungan Jawa. Manuskrip Merapi-Merbabu adalah naskah-naskah yang diproduksi pada rentang abad ke-15 sampai 17 akhir. Sebarannya juga sampai ke Gunung Wilis, Ungaran, hingga Lawu.
Beberapa di antaranya sudah berada di Jakarta (dulu Batavia), Belanda, Jerman, Prancis, dan Inggris. Salah satunya adalah naskah tentang terciptanya hari-hari, kemudian menjadi pawukon yang bernama Basundari Rondhon.
Naskah-naskah di Merapi-Merbabu dan naskah-naskah pegunungan di Jawa Barat, seperti di Cikurai dan Salak, berangka tahun (sengkalan) yang cukup tua, bahkan ada yang sampai menembus abad ke-15.
Temuan terakhir naskah-naskah Merapi-Merbabu berangka 14-15 Saka. Berarti naskah itu ditulis saat Majapahit masih berdiri, dan itulah naskah tertua berbahasa Jawa kuno yang masih bisa kita akses.
Beberapa manuskrip penting dari lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu telah dikaji oleh sejumlah ahli sejarah dan filologi, seperti Dr. Nancy K. Florida dan Dr. Ann Kumar. Manuskrip ini ditemukan pertama kali pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dan sebagian besar telah disimpan di museum atau perpustakaan, seperti Perpustakaan Nasional Indonesia.
Teks-teks ini berisi lebih dari sekadar ajaran Islam; mereka juga mengandung mitos, sejarah, dan filsafat, yang mencerminkan interaksi budaya antara Islam dan kepercayaan lokal.
Salah satu teks penting dari koleksi Merapi-Merbabu adalah Serat Centhini, sebuah manuskrip komprehensif yang disusun pada abad ke-18 yang mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa, dari agama hingga sosial.
Meskipun tidak semua bagian dari Serat Centhini berasal dari lereng Merapi-Merbabu, banyak bagian yang merefleksikan campuran antara ajaran Islam dan budaya lokal yang diperkirakan berkembang di sekitar wilayah tersebut.
Manuskrip Merapi-Merbabu, yang umumnya ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa Kuno, berisi perpaduan antara ajaran-ajaran Islam dan tradisi Hindu-Buddha yang sudah mengakar kuat di Jawa sebelum kedatangan Islam. Manuskrip ini dianggap berharga karena mencerminkan adukan yang terjadi selama masa transisi tersebut.
Dalam banyak teks, terlihat jelas upaya para ulama atau tokoh agama lokal dalam menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan yang sesuai dengan pemahaman masyarakat setempat.
Beberapa karya terkenal dari manuskrip ini mencakup kisah-kisah mitologi yang disisipi nilai-nilai Islam, puisi mistis yang mengajarkan tentang ketuhanan, dan panduan etika yang menggabungkan ajaran moral dari agama-agama terdahulu dengan ajaran Islam.
Naskah-naskah ini seringkali ditemukan di tempat-tempat pemujaan atau pertapaan di lereng gunung, yang dulu digunakan oleh para penyebar agama sebagai tempat mengajarkan kebijaksanaan dan spiritualitas.
Keistimewaan lontar Merapi-Merbabu terletak pada sisi kesastraannya, selaligus mata rantai yang terputus dari Jawa Kuno ke Jawa Baru, yaitu era klasik Wilwatikta dengan Demak, hingga era Kartasura.
Di dalam manuskrip Merapi-Merbabu kita bisa menemukan aksara Kawi standar seperti gaya di prasasti era Medang. Kemudian kita juga bisa mendapati aksara Jawa Baru pertama kalinya pada sekitar abad ke-15. Ada juga aksara serapan pegon yang tua, selain di banyak mushaf abad ke-17. Malah, ada pula lontar yang dwibahasa menggunakan aksara Kawi dan aksara Jawa Baru.
Dalam naskah Arjuna Wiwaha, diceritakan tentang Arjuna yang dinikahkan oleh dewa setelah mengalahkan raja raksasa, di kolofonnya tertulis bahwa ada abdi dalem bernama Brojokapono, yang diperintahkan oleh raja (kongkonane dalem) pada masa itu untuk memesan karya pengetahuan dari Gunung Merapi.
Masa kala naskah ini ditulis, sudah masuk era Mataram Islam (abad-16) yang berada di dataran bawah—yang berkorelasi dengan masyarakat di pegunungan.
Satu di antara karya yang dipesan adalah Primbon Padukunan yang berisi ratusan obat kuno yang halamannya tebal sekali. Menariknya, di naskah itu jamu dibagi dua; ada jamu yang bersifat material dari empon-empon, rempah-rempah, dan juga menggunakan mantra. Sangat khas sekali tradisi acaraki itu bila kita bisa melestarikannya kembali.
Sisi menarik lain dari manuskrip Merapi-Merbabu yang tak ikut diboyong ke mancanegara adalah yang tertinggal di lereng barat Merbabu, tepatnya di Desa Pakis, Magelang.
Peneliti pertamanya, Riboet Darmosoetopo (arkeolog-epigraf UGM pada era 70-an), namun tidak selesai.
Melanjutkan Penelitian
Setelah 2006, filolog Rendra Agusta melanjutkan penelitian itu dengan sabar, sembari mengikuti tradisi masyarakat setempat yang menyakralkan manuskrip tersebut kendati tak lagi bisa membacanya.
Berdasar pembacaan Rendra—yang sebenarnya belum rampung, kitab klasik itu berisi tata cara ruwat a la masyarakat gunung. Jenis naskah itu disebut putru.
Dalam bahasa Sansekerta, putru itu bagian dari mantra. Jadi saat seseorang wafat, isi lontar itu akan diperdengarkan: berupa peta tujuan setelah meninggal dunia.
Ditunjukkan di sana bahwa Sang Askara (Jiwa) yang berpulang itu nantinya akan melewati gunung, kemudian bertemu menuju kahyangan. Hal serupa ini masih dilestarikan dalam tradisi Bali, yang bernama memutru.
Itulah yang menjadikan lontar tersebut sakral, walaupun sebenarnya bukan digunakan untuk mantra ruwat. Ada lontar khusus Merbabu yang bernama Purwaka Bumi Kamulan, untuk mengembalikan bumi seperti semula.
Ada juga naskah-naskah ruwat panggung, yang kemudian lestari di masyarakat Jawa baru. Jadi, mereka melakukan ruwat dengan pergelaran wayang—sebagaimana tergambar dengan baik di relief Candi Sukuh.
Lontar Tantu Panggelaran yang notabene berasal dari abad ke-16, juga berisi hal yang tak jauh beda. Kalau mau yang lebih tua lagi, ada yang bernama Mawayang buat Hyang.
“Mawayang buat Hyang” adalah kalimat yang terdapat dalam Prasasti Balitung pada tahun 907. Kalimat ini ditafsirkan sebagai pertunjukan wayang yang dilakukan untuk menyembah Hyang.
Wayang juga digunakan untuk kegiatan atau upacara yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan masyarakat. Ungkapan ‘mawayang buat hyang’ dapat berarti ‘pertunjukan wayang untuk arwah nenek moyang.
Kemudian dalam prasasti Bebetin (896 M) disebutkan beberapa kelompok kesenian, di antaranya yang disebut parbwayang, atau pertunjukan wayang. Prasasti ini dibuat pada pemerintahan raja Ugrasena di Bali.
Para wali dari Wali Songo memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16, termasuk di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta yang mencakup kawasan Merapi dan Merbabu.
Sunan Kalijaga, salah satu anggota Wali Songo, dikenal dengan pendekatan dakwah yang memanfaatkan budaya dan kesenian Jawa, seperti wayang kulit dan gamelan, untuk menyampaikan nilai-nilai Islam.
Metode penyebaran ini bertujuan agar ajaran Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa yang telah terbiasa dengan tradisi Hindu-Buddha.
Wali Songo juga mendorong penyebaran teks-teks Islam dalam bentuk tembang macapat, yaitu puisi tradisional Jawa yang kaya dengan ajaran moral dan spiritual. Misalnya, ‘Tembang Tombo Ati’ (Obat Hati), yang mengajarkan tentang pentingnya berdzikir dan mendekatkan diri kepada Tuhan, masih populer hingga sekarang sebagai bagian dari tradisi Islam-Jawa.
Di dalam manuskrip ini, peran para wali dan penyebar agama Islam di Jawa sangat menonjol. Mereka tidak hanya berperan sebagai guru agama tetapi juga sebagai penasihat dan tokoh yang dihormati di masyarakat.
Mereka memahami bahwa untuk menyebarkan Islam secara mangkus, diperlukan pendekatan terbuka dan menyesuaikan diri terhadap budaya lokal.
Manuskrip dari Merapi dan Merbabu menyiratkan bahwa para wali menggunakan pendekatan dakwah yang bijak, termasuk melalui kisah-kisah moral dan falsafah hidup yang berakar pada budaya Jawa.
Pendekatan ini tidak hanya memudahkan penyebaran ajaran Islam, tetapi juga memperkuat posisi sosial para Wali sebagai pemimpin spiritual yang dihormati.
Perpaduan Ajaran
Dalam banyak bagian manuskrip, terlihat bagaimana ajaran-ajaran Islam diadaptasi ke dalam konsep dan simbol-simbol yang sudah dikenal masyarakat.
Sebagai contoh, konsep ketuhanan dalam Islam diterjemahkan ke dalam bahasa mistik yang sesuai dengan keyakinan Jawa, di mana konsep keesaan Tuhan (tauhid) diwujudkan dalam ungkapan “Sangkan Paraning Dumadi” (asal dan tujuan hidup).
Ajaran tentang Tuhan yang tunggal, yaitu Allah, disampaikan melalui simbol-simbol alam, seperti gunung, sungai, dan pepohonan, yang diakui masyarakat sebagai representasi dari kekuasaan Ilahi.
Dengan demikian, ajaran Islam mampu diterima dengan baik karena disampaikan dalam konteks yang tidak menimbulkan resistensi budaya.
Manuskrip Merapi-Merbabu juga mencerminkan pandangan tentang etika dan moral yang diadaptasi dari ajaran Islam. Teks-teks ini memuat panduan hidup yang menekankan nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, dan kerukunan sosial.
Panduan-panduan ini disampaikan melalui kisah-kisah alegoris dan puisi misti yang memberikan pesan-pesan moral dengan cara yang halus dan tidak menggurui.
Dalam salah satu manuskrip, terdapat juga kisah tentang seorang petapa yang melakukan perenungan di Gunung Merbabu dan menemukan “nur” atau cahaya Ilahi. Cahaya tersebut melambangkan pengetahuan akan kebenaran dan kesadaran tentang pentingnya hidup yang berlandaskan nilai-nilai spiritual.
Pesan ini mengajarkan kepada masyarakat tentang pentingnya ketakwaan dan penyerahan diri kepada Tuhan, tanpa perlu meninggalkan tradisi dan identitas mereka.
Pengaruh budaya Jawa yang tecermin dalam manuskrip ini menunjukkan bagaimana ajaran Islam berinteraksi secara harmonis dengan budaya lokal.
Islam tidak datang untuk menggantikan budaya Jawa, melainkan beradaptasi dan mengakomodasi nilai-nilai yang ada.
Contohnya adalah penggunaan simbol dan konsep lokal dalam mengajarkan konsep-konsep Islam seperti akhirat, dosa, dan pahala.
Beberapa ritual adat yang awalnya berakar pada kepercayaan Hindu-Buddha, diintegrasikan ke dalam ajaran Islam melalui penafsiran ulang makna simbolik.
Upacara-upacara adat seperti sedekah bumi atau ruwatan mendapat dimensi baru dengan hadirnya konsep syukuran kepada Allah atas berkah dan perlindungan-Nya.
Demikian pula dengan tradisi ruwatan atau upacara pembersihan diri dari nasib buruk yang dahulu diwarnai oleh unsur kepercayaan lama. Tradisi ini kemudian diselaraskan dengan Islam melalui pengenalan doa-doa tertentu dalam upacara tersebut, mengubah maknanya menjadi lebih Islami sambil mempertahankan aspek simbolis yang sudah dikenal masyarakat.
Dengan cara ini, Islam menjadi bagian tak terpisah dari identitas masyarakat Jawa tanpa harus menghilangkan kekayaan tradisi lokal mereka.
Sejatinya, Merapi-Merbabu adalah kelanjutan dari masa lalu kita yang gilang-gemilang. Para pujangga dan rakawi tidak tiba-tiba menghilang.
Di beberapa lontar yang sudah terbaca, ada posisi yang bernama abdi dalem kabudhan. Ia bertugas untuk mempelajari ilmu-ilmu kabudhan, dalam tanda kutip, “Islam.”
Hingga masa Mataram Islam, posisi mereka tetap diberi tempat oleh “negaranya”, yang secara konstitusi sudah diwarnai Islam. Tetapi di dua gunung itu masih ada abdi dalem kabudhan, pada masa Kartasura sampai 1748 (abad ke-18).
Lontar Bernuansa Sufistik
Apakah lontar bercorak Islam itu ada? Jawabannya, iya. Di pesisir Jawa Timur ada Serat Yusuf dengan usia yang masih muda. Lontar produksi Merapi-Merbabu, usianya jauh lebih tua lagi.
Paling tidak, sejauh ini ada 32 lontar yang bersifat sufistik. Tentu saja, kita tidak menemukan naskah yang berisi Al-Quran secara menyeluruh. Tetapi dalam naskah-naskah itu mencantumkan redaksi Bismillahirrahmanirrahim di atas lontar, beraksara Jawa Kuno.
Dengan kata lain, komunitas kalangan terdidik ini, sangat terbuka dengan masuknya Islam ke bumi Jawa bagian tengah, terutama di lereng utara Merbabu.
Dalam naskah Kidung Rumekso ing Wengi, ada yang menyebutkan bahwa seluruh tubuh didiami oleh para Nabi. Sementara di naskah-naskah Merbabu, ada yang yang menyebutkan bahwa tubuh merupakan kedudukan De[v]wata.
Itu yang membuktikan bahwa dalam peralihannya, sebenarnya masyarakat Jawa tidak langsung membanting setir. Mereka berbelok pelan-pelan sekali.
Bukti nyatanya terdapat dalam temuan-temuan manuskrip pada awal abad ke-16, dan itu dilakukan dengan hanya mengganti kosa kata, menyerap bahasa, dan semacamnya.
Islamisasi di Jawa tidak hanya memperkenalkan praktik ibadah seperti sembahyang (shalat) atau puasa, tetapi juga memperkaya khazanah spiritual melalui ajaran-ajaran tasawuf atau mistisisme.
Manuskrip Merapi – Merbabu menyimpan berbagai teks yang mencerminkan aspek mistik Islam, seperti ajaran tentang mengenal diri sebagai cara untuk mengenal Tuhan (gnosis), perenungan, dan pengendalian diri.
Ajaran ini memperlihatkan sisi spiritual yang memperdalam pengalaman keagamaan masyarakat Jawa.
Tasawuf dalam Islam diterjemahkan dalam konsep meditasi dan pencarian jati diri, yang sangat selaras dengan ajaran mistik Jawa. Melalui manuskrip ini, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Jawa menemukan keseimbangan antara ajaran Islam dengan pemahaman mistik mereka tentang alam semesta dan kehidupan.
Hal ini memperlihatkan bagaimana Islam di Jawa tidak hanya menjadi agama yang formal, tetapi juga sebuah jalan spiritual yang dalam.
Beberapa manuskrip, seperti Serat Dewaruci dan Serat Wirid Hidayat Jati, menunjukkan bagaimana konsep tauhid disampaikan dalam bahasa yang sesuai dengan filosofi Jawa.
Misalnya, Serat Dewaruci mengisahkan tentang perjalanan tokoh Bima dalam mencari makna hidup, yang mencerminkan pencarian spiritual untuk mengenal Tuhan.
Perjalanan ini menjadi lambang dari ajaran “Sangkan Paraning Dumadi,” yang dalam pandangan Islam dapat dimaknai sebagai perjalanan manusia menuju Allah sebagai pencipta.
Martin van Bruinessen menyebutkan bahwa tasawuf merupakan salah satu pendekatan penting dalam Islamisasi Jawa, karena konsep-konsep tasawuf yang mengajarkan pengenalan diri dan kesatuan dengan Tuhan (Wahdatul Wujud) sangat selaras dengan ajaran kebatinan Jawa yang mendalam.
Hal ini terlihat dalam ajaran tentang “Nur Muhammad” atau Cahaya Muhammad, yang dipandang sebagai cahaya pertama dan paling mulia dari ciptaan Allah, sebuah konsep yang kemudian diterjemahkan secara metaforis dalam budaya Jawa.
Selain manuskrip, sejumlah situs di sekitar lereng Merapi dan Merbabu menjadi saksi penyebaran Islam di wilayah tersebut. Masjid-masjid tua dan makam-makam Wali yang tersebar di daerah sekitar gunung ini, menjadi bukti bagaimana Islam disebarkan melalui tokoh-tokoh lokal yang dihormati.
Salah satu contohnya adalah Masjid Agung Demak, yang meskipun tidak berada di kawasan Merapi-Merbabu, memainkan peran besar dalam mpenyebaran Islam melalui jaringan ulama yang mencakup seluruh wilayah Jawa Tengah, termasuk di sekitar lereng Merapi.
Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817) mencatat pengaruh ajaran Islam di Jawa, termasuk di kawasan pedalaman seperti lereng Merapi-Merbabu.
Raffles mengamati bagaimana masyarakat Jawa mengintegrasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari tanpa meninggalkan tradisi lama mereka.
Selain Raffles, sejarahwan Belanda H.J. de Graaf dalam studinya mengenai sejarah Jawa, juga mencatat adanya perpaduan-percampuran dalam penyebaran Islam di pedesaan Jawa—di mana kepercayaan lokal dan Islam menyatu dalam praktik keseharian masyarakat.
Islamisasi di Jawa, terutama berdasarkan manuskrip Merapi-Merbabu, memperlihatkan bagaimana agama dapat menyebar dan diterima dengan pendekatan yang terbuka.
Manuskrip ini memberikan bukti sejarah mengenai akulturasi Islam dengan budaya Jawa melalui percampuran, tasawuf, dan penyebaran ajaran moral yang sesuai dengan konteks lokal.
Proses islamisasi yang terjadi di Jawa menunjukkan kelenturan dakwah Islam dalam menyesuaikan diri dengan budaya setempat, sehingga Islam dapat diterima sebagai bagian dari identitas Jawa tanpa menimbulkan konflik budaya yang berarti.
Manuskrip-manuskrip Merapi-Merbabu memberi kita pandangan bahwa Islam tidak hadir dengan menggantikan seluruh sistem kepercayaan yang ada secara keseluruhan, melainkan dengan cara mengawinkan doktrin-dogma dan nilai-nilai islami ke dalam kebudayaan Jawa yang sudah berkembang lebih dulu—ribuan tahun sebelumnya.
Menyimak