Gus Dur kerap bercerita tentang nasib “ekonomi” kiai-kiai kampung yang berjuang mendidik masyarakat bawah. Salah satu cerita terbaik Gus Dur berkaitan dengan ekonomi kiai adalah tentang “amplop” atau “salam tempel”.
Suatu hari, Gus Dur cerita Kiai Somad, sebut saja begitu. Kiai kita diundang ceramah ke luar kota. Karena merasa jaraknya jauh, sang kiai pun merasa perlu ditemani sopir.
Seperti biasanya, panitia menyiapkan segala sesuatnya, termasuk “amplop” untuk sang kiai. Karena kedatangannya tidak sendiri, panitia pun merasa perlu juga memberi “salam tempel” kepada sopir yang menemani Kiai Somad.
Setelah seluruh acara beres, panitia pun memberikan amplop, satu untuk kiai, satu untuk sopirnya.
Setibanya di rumah, amplop dibuka. Kiai Somad tersenyum kecut.
“Honor segini, buat naik becak saja masih kurang, padahal ini kan keluar kota,” gerutu Kiai Somad. Apa tidak mungkin ada yang salah, pikirnya. Mau tanya ke panitia kok rasanya nggak enak.
Besoknya, sambil mondar-mandiri di halaman rumah, sang sopir dengan tampang gembira menyapa Kiai Somad, “Pak Kiai, kapan kita ke luar kota lagi?”
“Jelas sudah persoalannya,” pikir Pak Kiai. “Lain kali mustinya panitia lebih hati-hati, harus tepat memberi jatah amplop masing-masing.”
(Sumber: Ger-Geran Bersama Gus Dur, Penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Pustaka Alvabet, 2010)