Hari Wayang Nasional diperingati setiap tanggal 7 November bertepatan dengan waktu ketika UNESCO menetapkan wayang sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2003.
Wayang adalah katalog hidup bagi manusia Indonesia, khususnya orang Jawa. Wayang adalah jagad kompleks untuk mengidentifikasi identitas, idealitas dan refleksi atas realitas hidup manusia. Simbolisme yang dibawanya mampu membuat pelbagai perkara sanggup diartikulasikan dengan multiperspektif dan multitafsir. Simbolisme itulah yang menjadi kunci eksistensi dan esensi wayang. Seperti halnya dalam setiap laku hidupnya, masyarakat kita secara implisit selalu mengidentifikasi dengan tokoh wayang, Semar atau Bima misalnya.
Ada proses transformasi nilai moral yang terjadi pada setiap pementasan wayang kepada penontonnya. Karena sejak zaman Jawa Kuna hingga kini, pementasan wayang adalah tontonan massal, baik untuk tujuan ritual maupun sosial-politik. Pesan moral dalam pementasan wayang hadir lewat kisah dan juga pencitraan tokoh wayangnya.
Tokoh-tokoh wayang mengajarkan dialog kemanusiaan antara diri, alam dan sekitarnya. Manusia dan alam saling menghidupi dan dihidupi. Pertunjukan wayang dengan kebijaksanaan ini menjadi semacam ‘mekanisme referensial’ proses belajar dan introspeksi.
Selain sebuah seni pertunjukan, wayang merupakan ekosistem sosial yang hidup, yang membuktikan akar sejarah budaya masyarakat yang menghidupinya. Ini karena wayang tidak pernah berdiri sendiri, tapi terhubung dengan bidang-bidang kehidupan manusia. Wayang hadir dan digunakan dalam ritus inisiasi atau ritual pemujaan nenek moyang. Dalam masyarakat tradisional, wayang menjadi hiburan di kala panen atau dipentaskan sebagai ruwatan atas suatu ketidakberhasilan. Wayang menyimpan sumber memori kolektif yang bernilai filosofis dengan makna reflektif dan kontekstual (Lestari, 2023).
Wayang Topeng
Berbagai bentuk sajian wayang dikenal di Indonesia seperti wayang kulit, wayang orang, wayang beber, wayang gedhog, wayang krucil, wayang wahyu dan lainnya. Di dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dikenal suatu bentuk sajian wayang topeng, yang telah digelar sejak tahun 1937. Pementasannya dilaksanakan di padepokan Tjipta Boedaja dengan peraganya merupakan keturunan/trah Yoso Sudarmo (alm), pendiri padepokan.
Wayang topeng Tutup Ngisor pada dasarnya adalah wayang orang dengan cerita Panji. Roman cerita Panji sendiri adalah salah satu lakon dari Jawa Timur yang beredar luas di Bali, Melayu, hingga ke wilayah Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Laos. Budaya Panji adalah contoh budaya Nusantara yang menyebar hingga ke wilayah Asia. Satu hal yang tak bisa dipisahkan dari cerita Panji adalah penggunaan topeng dalam sajiannya.
Dalam sajiannya, wayang topeng Tutup Ngisor juga menggunakan topeng tokoh-tokoh cerita Panji seperti Panji, Sekartaji, Klana, Kartolo dan lainnya. Topeng-topeng tersebut merupakan hasil karya Romo Yoso Sudarmo sendiri. Lakon yang dibawakan diantaranya Panji Asmara Bangun Dadi Ratu, Candi Mas dan Rabine Gunung Sari. Sebelum penampilannya para penari memerlukan untuk berdoa di tempat yang dianggap sakral di sekitar padepokan Tjipta Boedaja. Tempat-tempat ini diyakini menjadi tempat tinggal para pepunden yang diyakini memiliki kekuatan meta-empiris dan selalu melindungi mereka.
Para penari wayang topeng Tutup Ngisor juga harus harus memakai dahan daun-daunan seperti pakis, dhadap srep, puring, andong yang diambil sekitar padepokan. Daun-daunan itu kemudian diselipkan di tekes yang dipakai oleh penari. Tujuannya agar penari memperoleh kekuatan, kesehatan dan ketentraman yang diperoleh dari kesegaran tumbuhan tersebut.
Lewat pola pikir dan sikap yang mempercayai keberadaan pepunden yang kemudian terwujud dalam ritual-ritualnya, sesungguhnya Tutup Ngisor telah melakukan sebuah konservasi alam lewat caranya sendiri. Pemberian sesajen, pen-sakral-an tempat (mata air, pohon dan lain-lain) merupakan sebuah bentuk pemeliharaan kualitas sumber daya alam yang mereka punya.
Wayang topeng Tutup Ngisor mempunyai vokabuler gerak unik dan khas seperti lumaksana jajag, sindiran, bentuk tanjak yang leyek kekiri, dsb. Inilah gerak gaya Kedu, yang pada dasarnya merupakan percampuran antara gerak gaya Surakarta, gaya Yogyakarta dan refleksi pengalaman estetis warga Tutup Ngisor dalam kesehariannya. Hal ini memunculkan suatu ekspresi gerak yang unik dalam menerjemahkan hidup kesehariannya. Ragamnya menghadirkan kreativitas lokal yang muncul dan tidak terdapat di daerah lain.
Iringan wayang topeng Tutup Ngisor juga mengacu pada gaya Kedu, sebuah simbolisme kultural yang khas. Teknik sajiannya pada dasarnya mengacu pada vokabuler sajian iringan gaya Surakarta dan Yogyakarta, namun di Tutup Ngisor didekati dengan ekspresivitas yang mampu memunculkan pola tabuhan dan menyusun sajian iringan gending karawitan dengan lebih personal. Hal ini terwujud dalam Lasem “Kedu” dan manyura “Kedu”, sebagai contoh.
Gamelan yang digunakan untuk mengiringi, harus menggunakan gamelan milik padepokan Tjipto Boedaja. Walaupun menurut peneliti kwalitas suaranya kurang pleng, tetapi tidak boleh dilaras. Dari segi kostum, seluruh pakaiannya wayang masih bertolak dari tradisi wayang orang gaya Surakarta, namun sebagian peraga sudah dimodifikasi sesuai dengan tradisi Tutup Ngisor ataupun untuk keperluan upacara ritual.
Wayang topeng Tutup Ngisor pada dasarnya merupakan bagian dari prosesi ritual Suran yang ada di dusun tersebut. Namun sejak tahun 1987, sajian wayang topeng tidak lagi menjadi bagian dari ritual Suran. Hal ini disebabkan jika dulu wayang topeng dipentaskan pada waktu siang hari ketiga prosesi Suran, kini digantikan oleh sajian kesenian lapangan dari kelompok-kelompok seni lain yang menjadi tamu dalam penyelenggaraan Suran di Tutup Ngisor. Alasan lain karena topeng-topeng yang dulunya digunakan dalam pentas kini telah pindah tangan dan kemudian dijual oleh oknum tertentu. Yang tersisa dari topeng-topeng buatan Romo Yoso Sudarmo itu adalah topeng Klana yang masih disimpan oleh Dartosari (almarhum), putra tertua Yoso Sudarmo.
Jarang Tampil
Pada akhirnya kesenian wayang topeng Tutup Ngisor jarang sekali ditampilkan. Terakhir kali ditampilkan pada tahun 2020 lalu dalam rangka Suran sekaligus sebagai tolak balak menghadapi pandemi pada waktu itu. Sebelumnya wayang topeng dipentaskan pada Suran tahun 2013 dan tahun 2002 sebagai bagian dari penyambutan tamu Urban Poor Consortium yang datang dari Jakarta dimana penulis terlibat langsung sebagai penari.
Padahal seperti diketahui, selain di Tutup Ngisor, bentuk seni pertunjukan wayang topeng hanya dapat ditemukan di daerah Yogyakarta dan Klaten dalam frekuensi yang sangat jarang dan hampir punah. Oleh karenanya upaya penggalian kembali dalam rangka revitalisasi kesenian wayang topeng perlu dan penting untuk dilakukan sebelum menjadi catatan sejarah belaka.
Karena melalui wayang, kita bisa menciptakan kesadaran tatanan nilai melalui suatu tafsir dan rumusan baru tentang kehidupan yang lebih beradab. Dengannya, wayang (tidak hanya wayang topeng) perlu didudukkan dalam sistem sosial kemasyarakatan sebagai pola-pola komunikasi yang bermuatan reproduksi budaya untuk mencapai kesadaran kolektif. Sekaligus membuktikan kebudayaan bukan sekadar tradisi, etik dan estetik, tapi juga sebuah piranti sosial yang bisa mengatasi persoalan-persoalan kontemporer.