
Akhir-akhir ini kita menjumpai satu fenomena budaya populer yang kian mendominasi ruang publik: sound horeg. Sistem audio berdaya tinggi ini, dengan speaker raksasa dan dentuman musik remix dangdut atau koplo, telah menjelma jadi elemen wajib dalam berbagai hajatan rakyat. Tapi sound horeg bukan sekadar selera musik atau hiburan murah meriah—ia mencerminkan pergeseran relasi masyarakat terhadap ruang, ekspresi budaya, dan bahkan spiritualitas.
Dulu, pergelaran seni seperti wayang atau ketoprak berlangsung dengan irama yang menghormati ruang dan waktu. Pergelaran menjadi ruang kontemplasi, dengan narasi, estetika, dan keterlibatan sosial yang utuh. Kini, dengan sound horeg, pertunjukan digantikan dengan dentuman tanpa henti, tubuh-tubuh berjoget dalam euforia, dan musik tanpa narasi. Pergelaran berubah dari ruang makna menjadi ruang sensasi.
Sound horeg adalah produk dari logika kapital. Ia adalah bagian dari paket jasa pesta yang semakin terindustrialisasi. Suara yang keras bukan semata teknis, melainkan simbol status. Semakin keras, semakin dianggap meriah dan “berkelas.”
Hajatan tanpa sound horeg dianggap kurang sukses. Vendor berlomba menaikkan kapasitas watt, menjadikan ruang dengar publik sebagai medan adu kekuatan sonik, bukan kebersamaan. Dalam lanskap ini, hak warga atas ketenangan dan adab ruang nyaris tak dianggap penting.
Padahal secara antropologis, bunyi bukan sekadar suara. Ia adalah tanda keteraturan sosial. Dalam khazanah Nusantara, bunyi diatur sedemikian rupa. Gamelan disusun dalam laras dan struktur tertentu. Kentongan memiliki kode makna. Bahkan adzan pun dilantunkan dalam waktu yang telah ditetapkan. Semua ini mencerminkan kesadaran masyarakat tradisional terhadap etika bunyi.
Sound horeg memutus kesinambungan itu. Ia kerap hadir tanpa konteks, tanpa adab. Gelombang suara disuarakan ke ruang publik dengan intensitas tinggi tanpa memedulikan waktu, tetangga, atau kesehatan masyarakat. Anak-anak terganggu tidurnya, pelajar kehilangan konsentrasi, lansia menderita gangguan kesehatan. Kita menyebutnya sebagai kekerasan akustik, bentuk dominasi bunyi yang mencederai relasi sosial dan hak hidup tenteram
Yang ironis, masyarakat seperti menormalisasi hal ini. Sound horeg dianggap “hiburan rakyat” yang tak layak dikritik, apalagi ditertibkan. Ini berbanding terbalik dengan reaksi terhadap volume toa masjid yang sempat dipersoalkan secara nasional. Pemerintah mengeluarkan surat edaran soal pengaturan suara masjid demi menghormati ruang dengar publik. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa adzan berdurasi tiga menit dianggap perlu diatur, sementara sound horeg yang berlangsung berjam-jam dibiarkan begitu saja?
Kita sedang berhadapan dengan inkonsistensi etika ruang publik. Ada yang dilindungi atas nama “agama,” ada yang dibiarkan atas nama “tradisi rakyat.” Padahal, keduanya menyangkut hak bersama yaitu hak untuk hidup tenteram, untuk mendengar dengan layak, dan untuk tidak diganggu kebisingan. Dalam masyarakat yang beradab, ukuran kelayakan suara mestinya berlaku adil dan konsisten, tak peduli sumbernya agama, hiburan, atau ekonomi.
Fenomena sound horeg juga mengungkapkan persoalan lebih dalam yaitu ketidaksadaran terhadap makna ruang publik. Hajatan yang sejatinya adalah ekspresi kebersamaan justru menjadi ajang dominasi suara. Teknologi pengeras suara yang seharusnya memperhalus perayaan justru menjadi instrumen agresi budaya. Dalam istilah Marshall McLuhan, teknologi adalah ekstensi tubuh manusia. Ketika ekstensi itu digunakan tanpa empati, ia berubah menjadi alat kekerasan simbolik.
Nilai Islam Nusantara
Di sinilah pentingnya nilai-nilai Islam Nusantara hadir sebagai rujukan etika budaya. Islam Nusantara tumbuh dalam simpul antara spiritualitas dan budaya lokal. Dalam praktik masyarakat Muslim tradisional, ada adab terhadap waktu, ruang, dan sesama. Konsep tepa salira dan eling lan waspada di Jawa mengajarkan kepekaan terhadap orang lain. Maka dalam perspektif ini, menyemburkan suara keras lewat sound horeg bukan cuma gangguan, tapi bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai maqāṣid al-syarī‘ah yaitu menjaga akal, jiwa, keturunan, dan lingkungan.
Islam Nusantara bukanlah Islam yang anti-hiburan. Ia mengenal tembang Macapat, hadrah, gamelan pesantren, dan salawat. Semua bentuk itu adalah ekspresi kegembiraan kolektif yang dijalankan dengan adab dan keseimbangan. Hiburan dalam tradisi ini adalah ruang spiritual, bukan sekadar pelampiasan emosional. Ketika suara tak lagi punya adab, ia kehilangan nilai budayanya. Ia bukan lagi ekspresi, tapi ekspansi; bukan lagi perayaan, tapi perampasan ruang dengar.
Sebagian mungkin menganggap kritik terhadap sound horeg sebagai kemunafikan kelas menengah urban terhadap budaya rakyat. Tapi itu justru jebakan logika populisme budaya. Kebisingan tidak mengenal kelas. Justru rakyat kecil yang paling menderita: mereka tak bisa protes karena takut dicap tidak toleran. Hak atas ketenangan adalah hak semua warga, tak peduli miskin atau kaya.
Lebih dari itu, kita mesti kembali memikirkan makna suara dalam masyarakat. Dalam ajaran Islam, suara adalah bagian dari akhlak. Rasulullah dikenal berbicara dengan lembut. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa suara yang buruk adalah suara keledai. Ini menandakan bahwa suara harus dijaga bukan hanya dari sisi keras-lembutnya, tapi juga dari segi moralitas dan ketepatannya.
Tradisi pesantren mengajarkan pentingnya ngerti waktu, ngerti tempat, ngerti sapa—paham konteks, paham situasi, dan tahu adab bicara. Dalam bahasa sekarang, ini bisa disebut sebagai etika akustik. Suara adalah bagian dari relasi sosial. Ketika kita membiarkan suara merampas ruang orang lain, kita sedang melukai tatanan sosial yang seharusnya dibangun atas dasar rasa hormat dan kebersamaan.
Kini saatnya kita menata ulang nalar budaya kita. Bukan dengan melarang hiburan rakyat, tapi dengan mengajak semua pihak—pemilik sound, penyelenggara hajatan, hingga tokoh masyarakat—untuk membangun ulang kesadaran komunal. Teknologi suara adalah alat yang netral. Tapi budaya yang membungkusnya bisa menjadikannya alat keadaban, atau alat kekerasan.
Sound horeg bukan sekadar musik keras. Ia adalah cermin. Cermin yang memantulkan sejauh mana kita masih memahami batas, adab, dan tanggung jawab dalam hidup bersama. Kita perlu bertanya ulang: apakah bunyi yang kita pancarkan hari ini adalah bentuk kegembiraan yang penuh rasa, atau justru cerminan dari krisis empati dan kepekaan budaya kita?