Disela kenyataan hidup yang serba tak pasti akibat intrik politik dan ketidakstabilan sosial ekonomi, penampilan kolektif yang makin membaik dari tim nasional sepak bola kita seperti jadi hiburan menarik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini.
Di negeri ini, sepak bola adalah olahraga yang disukai banyak orang. Ia bagai sebuah repertoar, pentas, tontonan bagi semua orang. Mulai dari orang kaya hingga warga biasa, dari buruh bangunan hingga pensiunan, semua menggilai sepak bola. Didepan sajian pertandingan sepak bola, si kaya dan si miskin sama-sama memperoleh kesenangan, tidak ada yang memonopoli. Semua merasakan hal yang sama.
Di pos kamling, di emperan, di kafe hingga di desa terpencil, semua orang mampu mendiskusikan, menganalisis hingga meramalkan siapa bakal menang dan siapa akan kalah. Bola mengikat manusia dalam emosi yang sama, bukan hanya persatuan di lokal atau negara, tapi juga kesatuan yang global dan mendunia.
Pelatih asal Korea Selatan Shin Tae Yong (STY), harus diakui, berhasil merubah tim nasional Indonesia dengan kemampuan teknis semenjana, menjadi tim yang kembali diperhitungkan kemampuannya (setidaknya) di wilayah Asia Tenggara. Sepak bola di Indonesia bukan sekadar olahraga, tetapi fenomena budaya yang merepresentasikan identitas, solidaritas, dan dinamika sosial.
Oleh karenanya pemecatan STY menjadi perhatian publik yang menimbulkan pro kontra di media sosial. Meskipun penggantinya mempunyai nama besar sebagai pemain di jamannya, banyak orang masih meragukan kemampuannya dalam menangani sebuah tim nasional. Penunjukannya sebagai pelatih dianggap banyak orang menegaskan “Belandanisasi” timnas Indonesia.
Artikel ini tidak menjadi bagian dari protes, tapi mencoba melihat fenomena tentang dan efek di balik pemecatan STY dalam perspektif antropologi, budaya massa, dan filsafat kontemporer.
“Ritual Modern”
Dalam pandangan antropologis, sepak bola adalah “ritual modern” yang membentuk identitas kolektif. Victor Turner, dalam teorinya tentang communitas dan liminality, menunjukkan bahwa peristiwa olahraga seperti pertandingan sepak bola menciptakan ruang transisi di mana batas-batas sosial, ekonomi, dan politik menjadi kabur.
Bagi masyarakat Indonesia, tim nasional adalah simbol identitas nasional yang melampaui keragaman etnis, agama, dan kelas sosial. Dalam konteks ini, pelatih tim nasional bukan sekadar figur teknis, tetapi juga “tokoh ritual” yang mewakili harapan dan aspirasi kolektif. Shin Tae-yong, dengan pendekatan profesional dan prestasi yang membawa harapan baru bagi sepak bola Indonesia, menjadi simbol perubahan yang diimpikan oleh para pendukung.
Maka para suporter menonton pertandingan tim nasional sebagai ritual, lengkap dengan riasan wajah, bendera, maskot dan nyanyian sakral berupa yel-yel dan sorakan keras dan bahkan kadang histeris. Penonton berubah menjadi semacam koor jemaat yang terhipnotis dalam pemujaan.
Dalam kajian Levi-Strauss, gambaran itu memperlihatkan bagaimana implementasi ritus purba mendapatkan bentuk modern dalam struktur masyarakat pop. Pola-pola berpikir, kehendak, dan tindakan yang diekspresikan para penonton, suporter sepak bola melalui gambar simbolis, tato di wajah, dan ritus-ritus tertentu itu merefleksikan bahwa sebetulnya struktur dasar masyarakat kita tidak berbeda jauh dengan masyarakat tribal dan primitif – kembali pada pola-pola ekspresi instingtif. Menonton pertandingan diatasnamakan nasionalisme, meskipun mengadopsi ide-ide “tradisional”: menonton bersama, komunalitas dan stabilitas komunitas
Komodifikasi
Pada saat yang sama, dari sudut pandang cultural studies (kajian budaya), sepak bola Indonesia telah lama menjadi bagian dari budaya massa yang dikomodifikasi. Dengan potensinya, sepak bola tak luput dari infiltrasi kepentingan logika terstruktur masyarakat budaya populer. Sepak bola dikomodifikasi menjadi industri, mulai dari fesyen, entertainment, ekonomi bisnis hingga politik dan menjadi suatu bentuk “agama” baru – sesuatu yang tadinya terasa begitu jauh dari khittahnya sebagai suatu bentuk olahraga.
Media memainkan peran penting dalam membentuk narasi tentang sepak bola sebagai hiburan, alih-alih hanya sebagai olahraga. Sepak bola menjadi gaya hidup ketika jadwal menonton pertandingan mampu mengubah seluruh jadwal aktifitas rutin keseharian seseorang. Siaran (langsung) pertandingan sepak bola disiarkan di waktu utama (prime time) (malam hari di akhir pekan misalnya), demi mengakomodasi kepentingan pemegang siar.
Dalam konteks Indonesia, popularitas Shin Tae-yong, yang dipupuk oleh media massa dan platform digital, menciptakan kultus individu yang memperkuat hubungan emosional antara pelatih dan pendukung. Maka pemecatannya, yang dianggap mendadak dan tidak transparan, memicu reaksi emosional besar-besaran di media sosial, menunjukkan bagaimana budaya massa menciptakan “tribalisme digital” yang membela simbol-simbol yang mereka anggap mewakili mereka.
Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulacra, menyebutkan bagaimana simbol dalam masyarakat pasca-modern kehilangan referensi aslinya dan menjadi hiperrealitas. Dalam kasus ini, Shin Tae-yong bukan hanya pelatih sepak bola, tetapi simbol “harapan” yang diciptakan media dan diasosiasikan oleh publik dengan mimpi kebangkitan sepak bola Indonesia. Pemecatannya menghancurkan hiperrealitas tersebut, menciptakan krisis kepercayaan terhadap institusi olahraga seperti PSSI.
Pemecatannya bukan hanya kejadian administratif, tetapi sebuah “ritual penghancuran” yang memutus harapan kolektif tersebut. Pemecatan ini dapat dilihat sebagai, meminjam istilah Clifford Geertz, “drama budaya” di mana aktor-aktor simbolik (pemerintah, federasi, dan masyarakat) memainkan peran dalam mempertaruhkan legitimasi masing-masing.
Proyek Sosial Budaya
Sepak bola di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik. Pemerintah, sebagai pemegang kekuasaan, sering menggunakan olahraga sebagai alat legitimasi politik. Dalam konteks ini, pemecatan Shin Tae-yong dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika politik yang lebih besar. Keputusan ini mengundang pertanyaan tentang keberpihakan pemerintah terhadap pengelolaan olahraga dan komitmen mereka terhadap pembangunan jangka panjang.
Dari perspektif filsafat kontemporer, keputusan ini mencerminkan logika neoliberal yang sering mendominasi kebijakan olahraga. Filsuf seperti Slavoj Žižek menunjukkan bagaimana logika neoliberal cenderung memprioritaskan hasil instan dibandingkan investasi jangka panjang. Pemecatan pelatih yang dianggap tidak memberikan hasil instan dapat mencerminkan pandangan ini. Namun, hal ini juga menunjukkan ketidakmampuan institusi olahraga untuk memahami sepak bola sebagai proyek budaya dan sosial yang memerlukan waktu, konsistensi, dan dukungan struktural.
Peristiwa ini juga mencerminkan hubungan kompleks antara harapan kolektif masyarakat dan performa institusional. Sepak bola Indonesia sering menjadi ruang di mana ketidakpuasan kolektif terhadap pemerintah atau institusi lain diekspresikan secara simbolik. Kegagalan dalam sepak bola dianggap mencerminkan kegagalan yang lebih luas dalam tata kelola negara.
Ini bisa dilihat, seturut Antonio Gramsci, sebagai bentuk “hegemoni budaya” di mana masyarakat menggunakan simbol seperti sepak bola untuk menantang dominasi kekuasaan. Reaksi publik terhadap pemecatan Shin Tae-yong menunjukkan adanya resistensi terhadap keputusan yang dianggap tidak transparan atau tidak mewakili kepentingan rakyat. Namun, resistensi ini sering kali tidak terorganisir, menjadi bentuk protes simbolis yang tidak langsung memengaruhi perubahan struktural.
Pemecatan Shin Tae-yong adalah momen refleksi bagi sepak bola Indonesia. Lebih dari sekadar mencari pelatih baru atau strategi permainan, peristiwa ini harus menjadi titik tolak untuk melihat sepak bola sebagai proyek sosial-budaya yang memerlukan keterlibatan berbagai pihak. Pemerintah, federasi, dan masyarakat perlu memahami bahwa sepak bola tidak hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang membangun identitas nasional, solidaritas sosial, dan kebanggaan kolektif.
Dalam semangat ini, sepak bola harus dikelola dengan keberlanjutan metode teknis, transparansi politis dan kebijakan tentangnya, dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasannya, sehingga bisa menjadi ruang inklusif yang benar-benar mewakili aspirasi kolektif. Dengan demikian, momen seperti pemecatan Shin Tae-yong tidak hanya menjadi krisis, tetapi juga peluang untuk membangun masa depan sepak bola Indonesia yang lebih baik.