Sedang Membaca
Kritik Kultural atas Retret Politik
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Kritik Kultural atas Retret Politik

Kritik Kultural atas Retret Politik

Retret politik yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto bersama para menteri kabinetnya, dan rencana untuk memperluasnya ke para pemimpin daerah terpilih, merupakan langkah yang mengundang banyak diskusi dan kritik. Praktik ini, yang sering dikaitkan dengan kegiatan introspektif dan penguatan nilai-nilai bersama, tampak sebagai strategi untuk membangun harmoni dan keselarasan dalam pemerintahan. Namun, jika ditinjau dari berbagai perspektif seperti sejarah istilah dalam keagamaan, antropologi, filsafat politik, dan konteks kepemimpinan multikultur di Indonesia, muncul beberapa pertanyaan kritis mengenai relevansi, efektivitas, dan dampak dari pendekatan ini.

Secara historis, istilah “retret” berasal dari tradisi keagamaan, khususnya dalam konteks Kristen. Retret biasanya merujuk pada praktik menyepi dari kehidupan sehari-hari untuk merenung, berdoa, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Tuhan. Tujuan utamanya adalah introspeksi dan pembaruan batin. Dalam tradisi ini, retret lebih bersifat individual atau kelompok kecil, jauh dari hingar-bingar kehidupan publik, dan menekankan pada refleksi mendalam.

Namun, penggunaan istilah ini dalam konteks politik oleh Presiden Prabowo menimbulkan tantangan interpretasi. Apakah retret ini benar-benar dimaksudkan untuk refleksi mendalam atas kebijakan dan nilai-nilai bersama? Ataukah lebih sebagai strategi simbolis untuk menunjukkan kesatuan dan loyalitas politik? Jika tujuan utamanya adalah yang terakhir, maka makna spiritual dan reflektif dari istilah “retret” berisiko mengalami penyempitan atau bahkan penyalahgunaan.

Ritual dan Kekuasaan

Dari perspektif antropologi, retret politik dapat dilihat sebagai sebuah ritual politik modern. Ritual dalam budaya sering kali digunakan untuk menegaskan kekuasaan, mempererat solidaritas kelompok, dan menciptakan identitas kolektif. Dalam konteks retret politik, kegiatan ini dapat dimaknai sebagai cara untuk menunjukkan otoritas Presiden Prabowo di hadapan para menteri dan pemimpin daerah.

Baca juga:  Bagaimana Menetapkan Status Seorang Perawi

Namun, ritual ini juga memiliki potensi untuk menciptakan hierarki yang lebih tajam. Dengan mengumpulkan para pemimpin dalam sebuah forum eksklusif, Presiden dapat mempertegas posisi dominannya, tetapi sekaligus mengabaikan dinamika lokal dan pluralitas cara pandang yang ada di Indonesia. Alih-alih menjadi ruang refleksi yang inklusif, retret ini dapat menjadi mekanisme homogenisasi nilai yang meminggirkan perbedaan.

Dalam filsafat politik, gagasan tentang kepemimpinan sering dikaitkan dengan kemampuan untuk mendengarkan dan membangun dialog. Pemikiran filsuf seperti Hannah Arendt menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena di mana berbagai suara dapat didengar dan dipertimbangkan. Retret politik yang bersifat eksklusif bertentangan dengan prinsip ini, karena membatasi keterlibatan publik dan transparansi proses pengambilan keputusan.

Selain itu, dalam kerangka kepemimpinan demokratis, pemimpin ideal adalah mereka yang dapat memfasilitasi dialog yang inklusif, bukan sekadar mengarahkan atau mendikte. Jika retret politik Presiden Prabowo lebih berfokus pada penyampaian instruksi atau membangun narasi tunggal, maka praktik ini berisiko melanggengkan pola kepemimpinan yang hierarkis dan otoriter, alih-alih mempromosikan demokrasi deliberatif.

Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman budaya, agama, dan suku bangsa memerlukan pendekatan kepemimpinan yang sensitif terhadap pluralitas. Dalam konteks ini, retret politik harus mampu mencerminkan nilai-nilai inklusivitas dan penghormatan terhadap perbedaan.

Namun, salah satu risiko utama dari retret politik adalah kecenderungannya untuk menciptakan keseragaman nilai dan pendekatan, yang mungkin tidak relevan atau bahkan bertentangan dengan kebutuhan lokal. Para pemimpin daerah sering kali menghadapi tantangan yang sangat kontekstual, mulai dari konflik sosial hingga dinamika budaya yang unik. Jika retret politik hanya menawarkan solusi generik atau ideologi tunggal, maka hal ini dapat menghambat inovasi lokal dan mengurangi efektivitas kepemimpinan di tingkat daerah.

Baca juga:  Gus Dur, Tentara Tuhan, dan Rentenir Agama

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa retret semacam ini dapat memperkuat budaya patronase, di mana para pemimpin daerah merasa terdorong untuk menunjukkan loyalitas politik kepada Presiden, ketimbang fokus pada kebutuhan konstituen mereka. Budaya semacam ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Kearifan Lokal

Perspektif non-militerisme Salim Said menjadi relevan untuk menyoroti bagaimana pendekatan yang “mengadopsi” cara dan disiplin kemiliteran ala Prabowo dapat mengerdilkan ruang kebebasan berpikir dan berdialog. Said, dalam kritiknya terhadap struktur kekuasaan yang bersifat hegemonik, menekankan pentingnya resistensi terhadap homogenisasi nilai yang dipaksakan oleh pusat kekuasaan. Retret yang menggunakan pola disiplin dan hierarki ala militer cenderung meminggirkan dialog setara dan menciptakan suasana subordinasi, di mana para peserta lebih terfokus pada kepatuhan daripada kontribusi gagasan.

Disiplin militer, yang mungkin efektif dalam konteks pertahanan, tidak selalu relevan dalam tata kelola pemerintahan yang bersifat multikultur dan demokratis. Struktur hierarkis semacam ini berisiko membatasi kreativitas dan inovasi yang seharusnya muncul dari keberagaman. Sebaliknya, kepemimpinan yang lebih kontekstual dan berbasis pada kearifan lokal dapat menjadi alternatif yang lebih sesuai untuk menjawab tantangan pluralitas di Indonesia.

Kearifan lokal bangsa Indonesia, seperti musyawarah mufakat, nilai gotong royong, dan pendekatan dialogis berbasis adat, dapat menjadi inspirasi untuk menciptakan model kepemimpinan yang inklusif dan partisipatif. Dalam musyawarah adat, misalnya, keputusan diambil melalui proses dialog panjang di mana semua pihak memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Nilai-nilai ini mencerminkan penghormatan terhadap pluralitas dan keberagaman pandangan, sesuatu yang sulit dicapai dalam struktur yang terlalu hierarkis.

Baca juga:  Kerja Sama Selamatkan Manusia

Retret politik dapat diubah menjadi ruang dialog yang mencerminkan nilai-nilai ini. Alih-alih menjadi forum eksklusif yang bersifat instruktif, retret dapat menjadi arena di mana para pemimpin berbagi praktik terbaik, tantangan, dan solusi kontekstual yang relevan dengan kebutuhan lokal mereka. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkaya kebijakan nasional, tetapi juga memperkuat rasa memiliki di antara para pemimpin daerah.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal ini, retret politik dapat bertransformasi dari sekadar ritual kekuasaan menjadi wadah yang memperkuat demokrasi, inklusivitas, dan keadilan sosial. Kepemimpinan yang berbasis pada kearifan lokal tidak hanya relevan dalam konteks Indonesia yang multikultur, tetapi juga mampu menjawab kebutuhan zaman yang menuntut fleksibilitas, kolaborasi, dan penghormatan terhadap perbedaan.

Akhirnya, retret politik yang digagas oleh Presiden Prabowo adalah langkah yang penuh potensi, tetapi juga sarat dengan risiko. Dalam konteks kepemimpinan di Indonesia yang multikultur, penting untuk memastikan bahwa praktik ini tidak hanya menjadi simbol harmoni politik, tetapi benar-benar berkontribusi pada penguatan demokrasi, penghormatan terhadap pluralitas, dan pemberdayaan lokal. Dengannya, retret politik dapat menjadi alat yang efektif untuk memajukan pemerintahan yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat..

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top