Memperbincangkan pakaian tidak semata tentang suatu bahan yang berfungsi untuk menutupi tubuh dan melindungi diri dari berbagai kondisi cuaca, tapi juga menjadi penanda simbolik dan kultural: sebagai busana, mode, gaya hidup sekaligus bagian dari logika simbolik dalam konteks eksistensi diri dan hubungan dengan masyarakat sekitar.
Triasmaya (2018) menjelaskan pakaian menjadi sistem komunikasi yang efektif dalam mewakili personal dan identitas sosial dan kultural, juga sebagai bagian terbesar dari konfigurasi perilaku manusia dalam konteks waktu dan tempat tertentu. Lebih lanjut, dengan mengutip Desmond Morris, disebutkan bahwa pakaian dapat dilihat sebagai cultural display yang menyampaikan afiliasi budaya pemakainya, sehingga pakaian mampu mencerminkan identitas nasional dan kultural seseorang.
Tanggal 24 Juli lalu, kita memperingati Hari Kebaya Nasional. Serangkaian upacara, seremoni dan berbagai acara diadakan untuk memaknai arti dan peran penting kebaya dalam kehidupan. Para perempuan memakai kebaya seakan menjadi pembuktian bahwa kebaya memang berarti dalam kehidupan wanita Indonesia.
Historisitas Kebaya
Di Indonesia, kebaya memiliki historisitas panjang. Pada masa lalu, perempuan Nusantara mengenakan pakaian tradisional berupa kain yang dililitkan dari bawah ketiak (kemben) atau dari pinggang. Namun, seiring berjalannya waktu dan masuknya pengaruh bangsa-bangsa seperti Eropa, Cina, India, dan Arab, kain-kain tersebut mulai diselimutkan pada tubuh dan dijahit menjadi busana. Model pakaian ini pun berkembang menjadi bentuk yang mirip dengan jubah China yang panjang, longgar, dan memiliki belahan di bagian depan.
Oti Lestari (2022) panjang lebar menjelaskan dengan mengutip Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya 2 menyebut kemunculan kebaya terjadi secara evolutif sejak abad ke-15 sampai abad ke-16. Berdasarkan etimologinya, kebaya mengacu ke kata cabaya dalam kamus Hobson-Jobson (1969: 137) yang berasal dari bahasa Arab kaba, artinya pakaian. Kata ini diperkenalkan melalui bahasa Portugis.
Rens Heringa dalam tulisannya Batik Pasisir as Mestizo Costume (1996) menduga istilah kebaya berhubungan dengan kata cambay yang merujuk pada nama cita (kain kapas bermotif bunga) yang diimpor dari Pelabuhan Cambay, India. Cambay menjadi sebutan untuk blus longgar bukaan depan yang dipakai perempuan dan laki-laki pada abad ke-15 (Kompas, 22 April 2007).
Kebaya memang penting dalam kehidupan Nusantara. Buku Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (2005), menyebut kebaya (dan sarung) menjadi pakaian wajib yang dikenakan para perempuan Belanda pada pagi hari sejak mereka datang ke Hindia sesudah 1870. Malam harinya mereka mengenakan kebaya malam yang terbuat dari sutra hitam.
Kebaya tidak hanya menjadi busana perempuan Jawa. Perempuan Tionghoa membuat kebaya dari kain-kain berwarna merah menyala berhiaskan sulam berbentuk bunga atau binatang selayaknya pakaian tradisional China. Sementara perempuan pribumi yang mengenakan kebaya putih berenda mirip noni Belanda menandakan dirinya seorang nyai. Kebaya dikenakan oleh perempuan dari tiga etnis (Jawa, Eropa, dan Tionghoa). Ia merepresentasikan identitas sosial, kelas ekonomi, jenis pekerjaan hingga latar belakang pemakainya (Lestari, 2022).
Pada masa Presiden Soekarno hingga Orde Baru, kebaya adalah pembawa pesan ibuisme melalui karakter Ibu Negara yang dijadikan patron. Model kebaya yang sederhana dan dipakai dengan paduan bawahan jarik/kain panjang, adalah busana keseharian yang menjadi bahasa visual gambaran perempuan ideal. Kebaya menampilkan femininitas perempuan Indonesia: berlekuk, pas badan, elegan. Artinya, perempuan haruslah lembut dalam tutur kata, halus dalam bertindak, harus bisa selalu menyesuaikan diri dengan keadaan dan mandiri. Juga stagen atau ikat pinggang kebaya, menyimbolkan usus yang panjang, dalam filosofi Jawa, berarti memiliki kesabaran yang tinggi. Ia memaknai posisi perempuan Indonesia yang anggun, lemah lembut, tidak kebarat-baratan, dan setia menjaga tradisi.
Dengannya, kebaya ditetapkan sebagai busana nasional melalui Keppres RI No 18/1972 dan Undang-Undang No 9/2010 tentang Busana Nasional dalam Keprotokolan. Sebagai busana nasional kebaya menjadi penanda (simbol) yang merepresentasikan petandapetanda identitas kolektif dari tata nilai dan perilaku sosio-kultural komunitas pemakainya (Suciati, Kahdar, Sachari: 2015). Kebaya lalu digunakan pada acara-acara tematik seperti pertemuan resmi kenegaraan, perayaan Hari Kartini, atau seremoni adat.
Politik Kebudayaan
Hingga pada tanggal 4 Agustus 2023 Presiden Joko Widodo menetapkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2023 tentang Hari Kebaya Nasional. Kebaya menjadi bagian politik kebudayaan. Setiap unsur yang ada dalam sehelai kain kebaya melambangkan makna dan persona seorang perempuan Indonesia.
Dengannya, kebaya adalah jejaring makna. Di dalam kebaya terkandung narasi tentang perempuan Indonesia yang berkelindan dengan nilai-nilai feminitas, identitas personal, identitas kelas, hingga norma sosial dan budaya.
Meski begitu, kebaya beserta atributnya sering kali dianggap tidak praktis, menghambat aktivitas, dan kurang sesuai dengan ritme kerja manusia modern. Tren fesyen dan gaya hidup masyarakat masih banyak dipengaruhi oleh mode dari luar negeri. Apalagi kebaya masih dipandang sebagai pakaian kuno yang identik dengan penjual di pasar tradisional, dianggap kuno, tidak modis, dan ketinggalan jaman.
Namun, di sisi lain, mengutip Lestari (2022), banyak komunitas pecinta batik muncul, yang kerap beranggotakan sosialita dan figur popular, mengampanyekan gerakan mengenakan kebaya dalam beraktivitas sehari-hari. Dengannya, kebaya jadi kerap hadir dalam acara-acara berkelas dan bergengsi. Kebaya menjadi gemerlap, wangi dan mahal karena dirancang oleh perancang mode terkenal. Harganya melangit dengan model terbaru dan hanya bisa dipakai oleh sosialita/selebriti/orang kaya.
Lebih lanjut dikatakan, kebaya juga pindah kelas ke panggung politik. Tiap musim pilkada, para politikus berfoto dengan mengenakan kebaya berwarna-warni sesuai partai politik untuk menampilkan profil diri yang mengesankan kualitas. Foto mereka dipajang besar-besar di baliho dan layar elektronik di jalan protokol. Kebaya jadi seperti balon, rupa-rupa warnanya.
Seturut logika Jean Baudrillard (dalam Pambudy, 2021), kebaya dalam hal ini menjadi obyek yang dikonsumsi tidak lagi karena fungsi aslinya sebagai nilai guna, nilai tukar, dan nilai simbolik, tapi juga menjadi tanda, dalam hal ini, status.
Kebaya jadi medan komunikasi yang digunakan oleh individu/kelompok untuk mengonstrusikan dan mengomunikasikan identitasnya, sebagai cara nonverbal untuk memproduksi serta mempertukarkan makna dan nilai-nilai (Yuastanti: 2016). Akhir-akhir ini, bahkan ada upaya untuk mendaftarkan kebaya Indonesia sebagai warisan dunia tak benda (Intangible Cultural Heritage) melalui kampanye Kebaya Goes to UNESCO.
Sebagai elemen sistem simbolik logika sosio-kultural dengan kelindan makna atasnya, kebaya merepresentasikan hubungan kompleks produksi arti dan reproduksi narasi, termasuk demi kepentingan tertentu. Dengannya, kebaya berada dalam titik genting atas perebutan makna yang berlaku atasnya.
Maka kini yang terpenting adalah mengaktifasi, mengontektualisasi, dan mengartikulasikan kebaya sebagai pengejawantahan nilai dan makna yang ada di dalamnya dalam kehidupan bersama: sebagai gaya hidup yang tidak hanya menjadi modus pencitraan atas nama ekspresi diri dalam waktu-waktu tertentu, seperti Hari Kebaya Nasional yang kita peringati beberapa waktu lalu.