Ada yang masih kosong dalam buku-buku bacaan anak-anak kita. Yaitu apa yang dalam kebudayaan barat dikenal dengan “bacaan bertingkat” (graded readers). Lini bacaan ini menyediakan bacaan dari karya-karya agung kebudayaan mereka–baik berupa cerpen, novelet, maupun novel, yang dikisahkan ulang untuk kepentingan bacaan anak-anak yang baru memulai proses membaca.
Lini ini disusun dalam beberapa level yang secara bertahap meningkat hingga mereka cukup mapan untuk membaca karya-karya aslinya. Bacaan ini ditujukan agar pembaca pemula menikmati bacaan.
Tidak perlu membuka-buka kamus karena kosakata yang susah. Tidak perlu mengernyitkan dahi karena konsep plot yang membingungkan. Tidak bingung dengan mengingatkan banyaknya karakter yang ada. Misalnya.
Oleh sebab itu, banyak penyesuaian dilakukan. Bukan hanya soal jumlah halaman yang dipangkas, namun juga plot yang disederhanakan, karakter yang diminimalkan jumlahnya, serta kosa kata yang disesuaikan bagi pembaca pemula.
Usaha ini, jika dikaji lebih jauh, bertujuan untuk menciptakan kesatuan identitas bagi masyarakat sejak mereka masih belia. Agar masyarakat tidak tercerabut dari akar identitas kebudayaannya sendiri.
Karya-karya agung seperti Shakespeare yang bahasanya–bahkan kosakatanya bagi orang Inggris dewasa masa kini sulit dimengerti–itu disederhanakan. Ejaannya disesuaikan dengan ejaan masa kini. Ceritanya dipangkas hingga sedemikian rupa. Yang tetap dijaga adalah alur cerita, nuansa, dan emosi cerita.
Agar bisa merasakan apa yang saya maksud, berikut saya terjemahkan versi ‘bacaan bertingkat’ level 1 dari Petualangan Tom Sawyer karya Mark Twain. Dalam versi terjemahan dari aslinya yang diterbitkan oleh Serambi Ilmu Semesta pada 2010 berhalaman 394. Pada format bacaan bertingkat ini ia dipangkas sehingga hanya 27 halaman!
Dalam bab satu berikut ini, hanya memakan satu setengah halaman teks, dan satu halaman ilustrasi. Selengkapnya lihat: Mark Twain, diceritakan ulang oleh Jacqueline Kehl, The Adventures of Tom Sawyer (Pearson Education, 2000).
Bab I: Pagar
Tom Sawyer tinggal dengan tantenya karena ayah dan ibunya telah meninggal. Tom tidak suka sekolah, dan dia tidak suka bekerja. Dia suka bermain dan berpetualang. Pada hari Jumat, ia tidak berangkat sekolah–dia pergi ke sungai.
Tante Polly sangat marah. “Dasar kau anak nakal!” katanya.
“Besok kau tidak boleh main dengan temanmu karena kau tidak berangkat sekolah hari ini. Besok kau harus bekerja. Kau harus mengecat pagar rumah ini,” lanjutnya.
Pada hari Sabtu, Tom tidak bahagia, namun dia tetap mengecat pagar. Kawannya, Jim, sedang lewat.
Tom bertanya, “Maukah kau mengecat?”
Jim berkata, “Tidak, aku tidak bisa. Aku ingin bermain air”.
Kemudian Ben melewati rumah Tom. Dia melihat Tom dan berkata, “Aku akan berenang hari ini. Kau tidak bisa ikut berenang karena kau sedang bekerja”.
Tom berkata, “Ini bukan kerja. Aku suka mengecat”.
“Bolehkah aku ikut mengecat?” Ben bertanya.
“Tidak boleh,” Jawab Tom. “Tante Polly memintaku secara khusus karena aku adalah pengecat yang andal.”
Ben berkata, “Aku juga pandai mengecat. Tolonglah izinkan aku mengecat. Aku punya beberapa buah. Apakah kamu mau?”
“Ok,” kata Tom. “Berikan buah itu, setelah itu kau boleh mengecat.”
Ben mulai mengecat pagar. Setelahnya, semakin banyak anak yang datang ke rumah Tom. Mereka melihat Ben, dan mereka ingin mengecat pula.
Tom berkata, “Berikan aku makanan dan kalian boleh ikut mengecat.”
Tom bersantai di halaman. Anak-anak itu mengecat pagar. Mereka mengecat pagar itu tiga kali. Hasilnya sangat indah dan putih.
Tom masuk ke dalam rumah. “Tante Polly, bolehkah aku main?” tanya Tom.
Aunt Polly terkejut. “Kau sudah mengecat pagar?” tanyanya.
“Iya sudah selesai,” jawab Tom.
Tante Polly keluar dan melihat pagar itu. Dia sangat terkejut dan sangat senang. “Indah sekali!” katanya. “Ya sekarang kau boleh main.”
Tom menuju ke rumah kawannya, Joe Harper, dan bermain dengan kawan-kawannya di sana. Kemudian dia berjalan pulang ke rumah lagi. Ada seorang gadis di salah satu halaman rumah. Rambutnya kuning dan matanya biru. Dia sangat cantik. Tom ingin berbicara dengannya, namun gadis itu tidak melihatnya. Dia masuk ke rumahnya. Tom menunggu, namun dia tidak keluar lagi.
Mengejar Ketertinggalan
Kita dapat mencontoh usaha yang sama. Di kebudayaan kita yang begitu telanjang nan mudah diserang oleh kebudayaan asing seperti sekarang, usaha semacam ini sudah tidak bisa diundur lagi. Anak mana di masa sekarang yang mampu bertahan membaca karya Marah Rusli Salah Asuhan?
Ejaan dalam karya tersebut sudah tidak dipakai lagi di masa kini. Kosakata yang digunaka sangat perlu disesuaikan dengan kosakata masa kini. Bagi pembaca pemula, halaman yang ada juga terlalu banyak. Itu semua untuk satu tujuan, memperkenalkan bacaan yang menyenangkan bagi pembaca pemula. Bacaan yang tidak hanya enak namun juga berkualitas dari para begawan sastra di Indonesia.
Dalam bahasa Inggris dikenal adagium “sastra klasik adalah sastra yang dipuji namun jarang dibaca”. Jangan sampai hal ini terjadi pada kita.
Di tingkat yang paling awal, bacaan ini umumya disertai dengan banyak ilustrasi. Kosakata yang sedikit. Dan plot yang sederhana. Baru ia bertingkat naik hingga bacaannya menggunakan banyak kosakata yang spektrumnya luas, bahkan memperkenalkan kosakata yang sudah mulai jarang digunakan.
Bila kita berjalan ke lini bacaan anak di toko-toko buku, maka yang mendominasi adalah komik-komik asing, umumnya dari Jepang dan Amerika Serikat. Memang ada buku-buku karya dalam negeri, seperti kisah-kisah legenda nusantara. Namun jumlahnya jauh kalah dari buku-buku yang sebelumnya. Dalam serial televisi, anak-anak lebih akrab dengan Spiderman, Hulk, Batman, dan karakter-karakter dari komik Amerika lainnya. Pertanyaanya, di mana karakter Indonesia kita?
“Bacaan bertingkat” ini harapannya bisa mengisi kekosongan buku anak berkualitas yang bertujuan untuk menguatkan akar identitas bangsa kita.
Bila tidak dimulai, akhirnya kita tidak perlu heran apabila inferioritas anak-anak kita dengan kebudayaannya sendiri masih dan terus tinggi. Masihkah kita hendak seperti ini?