Sedang Membaca
Kepongahan Masyarakat Jahiliyah Modern
Nuzula Nailul Faiz
Penulis Kolom

Mondok di PP Nurul Ummah Yogyakarta dan mahasiswa di Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kepongahan Masyarakat Jahiliyah Modern

Whatsapp Image 2020 03 17 At 2.53.03 Pm

Suatu hari, sahabat Abu Dzar Ra. dan sahabat Bilal bin Rabah Ra. terlibat dalam pertengkaran besar tentang suatu hal. Keduanya saling memarahi dan saling memaki, selayaknya sebuah perdebatan hebat. Dalam perasaan marah tersebut, pada suatu kali, sahabat Abu Dzar Ra. memanggil sahabat Bilal Ra. dengan kalimat, “Ya ibna as-sauda’!” (Wahai, anak seorang kulit hitam!).

Sontak, sahabat Bilal Ra. kemudian mengadukan peristiwa itu pada Nabi Muhammad SAW. Nabi kemudian memanggil sahabat Abu Dzar Ra. dan berkata, “Apakah benar kamu telah menghina Bilal dengan (membawa-bawa) ibunya? Sungguh, masih ada sifat kejahiliyahan dalam diri kamu.” (HR. Bukhori, dikutip oleh Syekh Yusuf al-Qordhowi dalam Al-Halal wa Al-Haram).

Setelah peristiwa  itu, sahabat Abu Dzar ra. memohon ampun pada sahabat Bilal ra. dan beliau pun memaafkanya. Namun, pelajaran dari sana akan terus menggema bagi kita semua. Bahwa, jahiliyah itu memang suatu periode sejarah di Arab sebelum era Islam, tapi ia bukanlah sesuatu yang pasif.

Bisa saja sifat-sifat dan karakter buruk dalam era tersebut, masih diwarisi oleh para muslim setelah Islam datang. Islam pun dengan  segera mengoreksi karakter-karakter warisan jahiliyah yang tercela tersebut, dalam rangka membina masyarakatnya untuk membentuk kultur yang lebih baik dan memanusiakan manusia.

Menurut Prof. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb, terma jahiliyah dalam Al-Qur’an memang bukan semata-mata merujuk pada periode sejarah tertentu. Melainkan, jahiliyah diartikan sebagai suatu kondisi dan karakter, dimana masyarakatnya abai terhadap nilai-nilai ajaran Ilahi, melakukan perbuatan yang tidak manusiawi, bertindak berdasar dorongan nafsu, kepentingan sementara serta kepicikan pandangan. Kapan dan dimanapun ada masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka karakter masyarakat tersebut bisa disebut jahiliyah (al-Misbah juz 11 & fi Zilalil Qur’an juz 5).

Baca juga:  Kita dan Tragedi 65 (3): Stigma PKI

Berangkat dari penjelasan tersebut, bila kita kemudian melihat dinamika masyarakat dalam sejarah dunia setelah kedatangan Islam, kemungkinan ada banyak karakter-karakter jahiliyah masih dilakukan oleh sekumpulan masyarakat. Tidak terkecuali, masyarakat muslim sendiri.

Aspek karakter kejahiliyan tersebut juga sebenarnya luas, mulai dari soal spiritual, masalah sosial sampai budaya. Pada negara-negara dengan mayoritas muslim misalnya, masih berkutat dengan karakter-karakter jahiliyah yang sebenarnya dulu sudah dilawan oleh Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya, seperti mudahnya pertumpahan darah terjadi karena urusan politik sesaat, rasisme, korupsi, kemiskinan struktural, ekosistem ekonomi yang tidak sehat, dan sebagainya.

Hamiyatal Jahiliyah dalam Al-Qur’an

Salah satu karakter jahiliyah yang ditentang oleh Al-Qur’an adalah apa yang disebut sebagai hamiyatal jahiliyah atau secara bahasa berarti kepongahan jahiliyah. Tepatnya, terdapat pada Q. S. Al-Fath ayat 26. Allah Ta’ala berfirman:

إِذْ جَعَلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ ٱلتَّقْوَىٰ وَكَانُوٓا۟ أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا

Artinya: Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat ini berkesinambungan dengan ayat-ayat sebelumnya pada Surah Al-Fath yang membicarakan latar belakang dan peristiwa perjanjian Hudaibiyah, saat-saat sebelum terjadinya kemenangan besar umat Islam dalam Fathu Makkah. Saat itu, rombongan besar Nabi Muhammad SAW. dan ribuan pengikutnya berencana melakukan umroh, dan tak lupa membawa puluhan unta untuk dikurbankan.

Baca juga:  Pengembaraan Ilmu dan Pesantren Mahal

Namun, kaum Qurays ketika mendengar kabar tersebut, bermaksud untuk menghalang-halangi mereka masuk Mekkah. Karena tidak ingin terjadi pertumpahan darah, Nabi mengutus rombongan berhenti di sekitar sumur dalam suatu tempat yang bernama Hudaibiyah.

Awalnya, Nabi mengirim sahabat Utsman bin Affan Ra. sebagai utusan untuk berdialog dengan pembesar Kafir Quraisy. Karena kesepakatan buntu dan ada kabar sahabat Utsman malah dibunuh, Nabi pun mengutus rombonganya melakukan ikrar ridwan (ikrar kesetiaan sampai mati). Hal tersebut, membuat kaum Quraisy ketakutan dan akhirnya melepaskan sahabat Utsman bin Affan Ra. serta mengirim Suhail bin Amr sebagai delegasi mereka untuk menulis perjanjian antara kedua kubu. Perjanjian itulah yang dikenal sebagai perjanjian Hudaibiyah.

Hamiyatal jahiliyah dalam konteks ayat ini adalah kepongahan kaum Quraisy terhadap anggapan keistimewaan diri mereka sebagai penduduk kota yang di dalamnya terdapat Kakbah, sehingga mereka enggan memberi izin kepada Nabi Muhammad dan para muslimin untuk melaksanakan umroh, padahal Mekkah juga merupakan kampung asal sebagian besar rombongan kaum muslimin tersebut. Kepongahan mereka juga bisa dilihat dari cara mereka dalam melakukan perjanjian yang tidak menghormati pihak lawan dan bahkan, melanggar kesepakatan dua kubu tersebut.

Kelanggengan Hamiyatal Jahiliyah dalam Rasisme dan Perasaan Superior

Berangkat dari dua kisah mengenai karakter jahiliyah di atas, kita bisa menjadikanya kaca mata dalam melihat fenomena dan problematika sosial masyarakat kini. Bahwa bila kita bersikap objektif, sebenarnya tindakan merendahkan sebagaimana yang dilakukan Sahabat Abu Dzar Ra. terhadap sahabat Bilal Ra. atau kepongahan kaum kafir Quraisy atas kaum muslimin, bisa kita lihat dimana-mana dari dulu hingga sekarang, bahkan dengan berbagai macam variasinya.

Baca juga:  Sekularisme Prancis dan Empan Papan Kecintaan kepada Nabi di Ruang Publik

Dulu, rasisme dan perasaan superior senagai bangsa  mengilhami adanya imperialisme  yang menyengsarakan ratusan bangsa dalam penjajahan bangsa lain yang mendaku diri sebagai bangsa yang “maju dan terpelajar” berabad-abad lamanya. Di era sekarang, kita bisa melihatnya dari berbagai kampanye internasional bertajuk #BlackLivesMatter dan #StopHateAsia misalnya, yang merupakan respon dan bentuk protes terhadap fenomena rasisme yang terjadi terhadap para kulit hitam dan orang Asia. Selain itu, saat Olimpiade kemarin juga ramai pemberitaan dari jurnalis Korea Selatan yang menyebut beberapa atlet pemenang medali sebagai teroris, dan sebagainya.

Merujuk dari penjelasan Prof. Quraisy Syihab sebagaimana yang dikutip di atas, fenomena-fenomena seperti itu bisa disebut sebagai karakter hamiyatal jahiliyah. Sudah menjadi tanggung jawab seorang Muslim dan seluruh manusia secara umum, untuk bertindak konsisten dengan berusaha melawan karakter buruk tersebut, sebagaimana Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya dulu mengutuk hamiyatal jahiliyah.

Karena rasisme dan perasaan superioritas sebagai bangsa dengan konsekuensi tindakan merugikan bagi bangsa lain, berlawanan dengan misi Islam untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh alam dan mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yakni dengan saling menghormati antar sesama hamba Allah.

Wallahu a’lam bish shawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top