Seorang laki-laki diseret dengan kuda hingga mencapai kerumunan massa. Di tengah kerumunan itu, telah disiapkan tempat khusus untuk menghukum seseorang yang dianggap melakukan pelanggaran berat.
Dengan tubuh yang penuh luka akibat seretan kuda, si laki-laki diikat ke sebuah tiang kayu. Seorang algojo berpakaian serba hitam membacakan kesalahan laki-laki yang hendak dihukum mati dengan cara dibakar tersebut dengan suara yang keras, “… dia telah melakukan kesalahan dengan menerjemahkan karya seorang kafir, Averroes (Ibnu Rusyd).”
Lalu, api dinyalakan dan tak lama membakar seluruh tubuhnya, di tengah tatapan ketakutan massa. Laki-laki bernama Gerard itu dibakar atas perintah gereja yang menghukumnya.
Adegan itu adalah pembuka sebuah film, berjudul Al Massir atau Destiny (1997), yang mengisahkan kehidupan seorang filosof Muslim terkemuka abad ke-12, bernama Ibnu Rusyd, yang hidup di Cordoba, Andalusia (sekarang Spanyol) pada masa khalifah Abbasiyah. Ibnu Rusyd dikenal sebagai penafsir terbaik karya-karya Aristoteles.
Namun, ia harus berhadapan dengan kalangan konservatif Islam dan Kristen. Pemikiran-pemikirannya dianggap liberal dan dilarang. Ia sendiri dicap kafir. Buku-bukunya dimusnahkan. Gereja pun melarangnya. Orang-orang yang mempelajari karyanya dihukum dengan kejam. Mereka pun mengharamkan orang mendendangkan lagu dan menari.
Tetapi, kemudian karya-karya Ibnu Ruysd membuka mata orang Eropa setelah gereja membolehkan karyanya dibaca, yang menyebutnya dengan nama Latin, Averroes. Averroesisme pun kemudian menjadi inspirasi atas lahirnya era Enlightenment atau abad Pencerahan di Eropa.
Kebesaran karya Ibnu Rusyd itu, konon, membuat seorang Gus Dur sempat menangis ketika membaca manuskripnya, “Kalau saja tak membaca karya Ibnu Rusyd, ajaran Islam yang saya terima selama ini dapat mengubah saya menjadi teroris.”
Apa pesan yang bisa kita tangkap dari kisah Ibnu Rusyd ini? Kekerasan atas nama agama dengan menghakimi siapa saja yang berbeda pandangan, itu sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu.
Lalu, bagaimana fanatisme dan radikalisasi agama itu kini semakin marak di Indonesia?
Tentu, yang paling memprihatinkan adalah ketika sekolah dijadikan alat bagi penyebaran paham berbahaya itu kepada para siswa sebagai generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa ini.
Infiltrasi melalui Sekolah
Ada kecenderungan situasi yang berbeda dari sekolah-sekolah di Indonesia beberapa tahun belakangan dibandingkan dengan 10-20 tahun yang lalu. Dulu, para siswa cenderung heterogen, tapi sekarang justru lebih homogen. Dulu, orang tidak berjilbab di sekolah atau di perkantoran atau di tempat umum dianggap biasa saja.
Sekarang, orang tidak berjilbab seolah terasing karena merasa tidak menjadi bagian mayoritas. Situasi ini berdampak pada kehidupan sosial kita yang rentan, karena orang cenderung tidak ingin atau takut berbeda, dan tidak memberi ruang terhadap perbedaan. Sebagai negara dengan kompleksitas kemajemukan terbesar di dunia, tentu situasi ini berbahaya. Ekspresi keragaman merupakan sesuatu yang harus dilindungi oleh negara dan disadari oleh warganya.
Sayangnya, sejumlah penelitian dari lembaga-lembaga yang kompeten menunjukkan bahwa infiltrasi radikalisme agama melalui sekolah telah sampai pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Paham radikal dimasukkan melalui dua instrument utama, yakni buku-buku pelajaran dan guru-gurunya.
Intoleransi guru ditemukan dalam survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah kepada 2.237 guru Muslim di 34 provinsi. Survei itu menemukan bahwa enam dari sepuluh guru muslim memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Selain intoleransi, survei itu juga melihat adanya tendensi radikalisme. Temuan ini selaras dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa siswa Indonesia semakin intoleran, dan guru berperan besar dalam memupuk hal tersebut, selain juga pengaruh dari aspek-aspek lainnya.
Selain itu, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta juga merilis hasil riset yang menunjukkan banyak guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di tingkat pendidikan dasar dan menengah cenderung berpaham eksklusif dan bersikap tak toleran terhadap kelompok yang berbeda paham dengan mereka, baik Islam maupun non-Islam. Bahkan, ditemukan sejumlah guru yang menolak menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Tidak hanya faktor guru, buku-buku pelajaran pun ditengarai menyebarkan paham-pahan intoleransi, bahkan sejak fase pendidikan prasekolah. Contohnya adalah buku teks di sebuah TK Kota Depok, Jawa Barat, yang mengajarkan nyanyian pada anak-anak memakai lirik “syahid di medan jihad”.
Di buku yang sama, ada pula cerita mengenai bom. Temuan sejenis didapatkan dari buku pelajaran SMA di Bandung, yang salah satu babnya menampilkan materi “kebangkitan prajurit Islam”. Salah satu kutipan kalimat di buku itu misalnya, “semua orang yang menyembah Tuhan selain Allah adalah kafir dan pantas dibunuh.” Buku serupa ditemukan otoritas pendidikan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera menyita seluruh buku tersebut dan menghapuskannya dari daftar referensi kurikulum nasional. http://setara-institute.org/lampu-kuning-meningkatnya-radikalisme-di-sekolah-sekolah-indonesia/.
Data-data di atas menggambarkan dengan jelas bahwa infiltrasi radikalisme di sekolah sudah pada tahap mengkhawatirkan. Pemerintah, sekolah, dan masyarakat perlu bersama-sama ambil bagian untuk menghadapi persoalan ini.
Musik sebagai Media Deradikalisasi
Pada film Destiny yang jadi pembuka tulisan ini, diceritakan bahwa Khalifah di masa Ibnu Rusyd itu memiliki 2 putra: Nasser dan Abdalla. Keduanya memiliki watak dan kecenderungan yang berbeda. Nasser menjadi pengikut/murid Ibnu Rusyd. Sedangkan Abdalla menjadi pendukung tokoh agama yang fanatik. Ditambah intrik-intrik politik pendukung kaum konservatif yang ingin menggulingkan khalifah, situasi ini berdampak pada ketegangan politik, di antaranya dengan dibunuhnya orang dekat Ibnu Rusyd, hingga akhirnya sang filosof dilarang mengajar, diasingkan ke tempat terpencil, dan buku-bukunya dibakar karena dianggap menyebarkan pandangan yang berbahaya.
Berbagai cara dilakukan untuk menyadarkan Abdalla, termasuk berdebat secara keilmuan. Tetapi, ia tidak bergeming. Akhirnya, istri Ibn Rusyd mengajak mereka untuk menari dan bernyanyi. “Hanya tarian yang dapat membawanya kembali,” kata Sarah, tokoh yang menjadi teman Abdalla. Akhirnya, dimainkanlah berbagai nyanyian, tetabuhan, dan tarian. Sajian itu berhasil mengembalikan memori indahnya. Air mata pun membasahi pipinya.
Mengapa hal itu terjadi?
Seni, seperti tarian dan musik, berperan besar pada proses “mengasah dan menghaluskan rasa”. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa musik telah digunakan sejak berabad-abad lalu sebagai terapi untuk mengatasi masalah-masalah mental/kejiwaan. Beragam jenis musik juga mampu membawa suasana tertentu bagi pendengarnya. Sebaliknya, sikap indroktrinasi kerap membuat seseorang menjadi keras kepala, kehilangan empati, dan tidak peduli dengan sekelilingnya. Hal ini melahirkan sikap fanatik yang meyakini bahwa paham merekalah yang benar, sedangkan paham/ajaran yang lain salah. Orang yang berbeda pandangan layak dimusuhi dan dihukum.
Maka, selain mempelajari agama dengan benar, belajar pada guru yang benar, menggunakan bacaan-bacaan/sumber keilmuan yang sesuai tuntunan, maka sangat penting untuk menerapkan sebuah metode alternatif, dalam hal ini menggunakan media seni sebagai penangkal paham radikal. Bahkan, bagi kaum sufi, seni (tarian dan musik) menjadi wasilah menuju Tuhan. Di sini, seni berperan untuk mengasah kepekaan rasa. Maka, anak-anak perlu diperdengarkan lebih banyak alunan musik.
Di sebuah sekolah SD di Melbourne, menjelang pelajaran dimulai, sekolah selalu memulai hari para siswa dengan memutarkan sebuah lagu yang terdengar di seantero sekolah. Selain sebagai tanda bahwa kelas akan segera dimulai, lagu itu juga mampu membawa suasana ceria di hati para siswa sehingga diharapkan mereka akan semangat menjalani hari-hari di sekolah.
Penggunaan media seni sebagai upaya pencegahan radikalisasi di sekolah menjadi sebuah alternative yang penting. Orang yang terpapar radikalisme itu cenderung menolak berbagai ekspresi keindahan. Mereka mengharamkan tarian dan nyanyian. Maka, seni, seperti musik, selain mengasah rasa melalui melodi-melodinya, juga dapat menjadi media penyampai pesan-pesan toleransi, kecintaan pada tanah air, menghargai perbedaan, saling menyayangi pada sesama dan lain-lain, melalui syair-syair lagu yang dinyanyikan. Kekuatan pesan dalam musik ada dalam liriknya. Maka, tugas para praktisi musik juga untuk membuat karya-karya dengan pesan-pesan toleransi dan cinta tanah air. Hal ini di antaranya yang dilakukan seniman Sunda, Yus Wiradiredja, dengan menciptakan sejumlah lagu khusus dengan pesan perdamaian dan toleransi. “Toleransi adalah jangan kita diskriminasi/Menghargai pada sesama, perbedaan ras, suku, serta agama/Toleransi adalah sikap pengasih dan penyayang/Membangun sikap rukung damai, dalam bingkai bhinneka tunggal ika/”. Demikian di antara petikan lagunya yang akan diberikan pada kegiatan pelatihan pada anak-anak setingkat SMP di Kota Bandung.
Seperti dalam film Ibnu Rusyd, nyanyian, tetabuhan, dan tarian disajikan di sejumlah adegan, untuk menunjukkan bagaimana fanatisme beragama bisa dilawan dengan seni dan keindahan. Wallahua’lam. (aa)