Sedang Membaca
Menjemput Takdir: Selamat Tinggal 2024, Selamat Datang 2025
Munawwarul Fuad
Penulis Kolom

Selain penikmat buku-buku lawas, penulis sedang berbenah diri di Universitas al-Azhar, Mesir. Media sosial: Munawwarul Fuad(FB) munwwrfuad(IG)

Menjemput Takdir: Selamat Tinggal 2024, Selamat Datang 2025

Whatsapp Image 2024 12 31 At 14.52.47

Penggambaran paling mudah untuk melihat langkah manusia menggapai tujuannya adalah dengan membatasi pada tiga hal; niat, usaha dan tawakal (Arab, dengan ejaan dan vokalisasi yang benar:tawakkul). Secara sederhana, tawakal merupakan sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Banyak dari mereka yang berhasil sampai ke puncak tujuan karena memang betul betul mengoptimalkan tiga hal tersebut. Kendati demikian, tidak sedikit yang gagal lantaran acuh tak acuh, entah dalam niatnya, usaha mewujudkan niat itu, atau mungkin faktor terakhir; takdir yang tidak memihak.

Sekian dari mereka ada yang tidak serius, bekerja tanpa didasari tekad yang kuat, sehingga apa yang terjadi? Usaha minim itu dikhianati oleh hasil yang juga tak seberapa. Fakta ini berjalan sesuai aturan tidak ada keanehan sama sekali karena memang usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Seperti hukum sebab akibat (kausalitas), output dari suatu proses tidak akan melebihi kadar usaha yang dilakukan.

Tekad kuat akan mengejewantah melahirkan aksi, yang dari sana puncak keberhasilan semakin jelas. Sementara, tekad yang kuat ini degan sendirinya tumbuh ketika niat sudah mantap, kalau niatnya masih lembek dan kurang terarah maka, dapat dipastikan, aksi nyata yang minim dorongan itu tidak akan mewujudkan apa apa.

Baca juga:  Makna Kesempurnaan Fitrah Manusia

Kalau kita buka kitab Arbain Annawawiyah, pada bab pertama  akan disuguhi dengan hadits yang membahas urgensi niat dalam setiap pekerjaan. Dari sini, dapat dipahami mengapa nabi kita selalu mewanti wanti agar betul betul di dalam berniat. Bukan tanpa sebab, Antara niat dan hasil sudah berkiat berkelindan. Kalau diibaratkan, niat tak ubahnya fondasi yang dari sana bangunan megah nan tinggi menjulang akan berdiri.

Dengan Niat Yang Mantap, Akankah Menjamin Keberhasilan?

Telah dipahami bahwa dari niat yang sudah mantap  akan menjamin proses yang optimal, kemudian apakah semua itu sudah menjamin keberhasilan?. Tunggu dulu, di balik jalur yang murni kuasa manusia masih ada kuasa Tuhan. Jalur ini yang dinamai takdir (Qudratullah) . Takdir adalah penentu terakhir dari semua usaha manusia sebelumnya. Yang bisa dilakukan hanyalah menerima tanpa ada protes tak suka  alih-alih menyalahkan Tuhan.

“Manusia hanya dituntut mengoptimalkan apa yang bisa dilakukan tanpa merasa terbebani hal lain yang sudah di luar kuasanya,” (Filosofi teras–Henry Manampiring). Dengan begitu, hidup akan terasa sebagai perjalanan mencari kemungkinan kemungkinan, tidak ada yang bisa meamastikan. Kira kira di sinilah mengapa iman itu perlu. Dalam keadaan terpuruk entah kecewa, letih dengan alur hidup yang kian tak menentu masih ada tempat mengadu dan memasrahkan diri; Tuhan dengan kuasanya yang tak bisa dibantah.

Baca juga:  Kiai Sholeh Darat, Guru dari Tiga Pahlawan Indonesia

Problem Fundamental Paham Antroposentrisme

Antroposentrisme adalah  paham yang meyakini  manusia sebagai  pusat semesta. Dalam artian paham ini akan menempatkan manusia sebagai pelaku tertinggi yang memiliki kehendak bebas mewujudkan impiannya. Di satu sisi, paham ini akan mendorong manusia untuk berjuang betul-betul seraya mengoptimalkan apa yang bisa dilakukan. Namun di sisi lain, tidak ada “penyelamatan terakhir” jika seandainya idealisme tadi tidak tercapai. Idealisme di sini saya maknai sebagi suatu keinginan yang sangat ingin diwujudkan. Alasan paling tampak karena penganut paham ini secara penuh hanya akan bertumpu kepada kemampuan dirinya. Padahal, masih ada penentu lain; kuasa Tuhan atau takdir.

Idealisme dalam Islam sudah jelas dibatasi. Seorang Muslim boleh berusaha semaksimal mungkin sedangkan hasil, mereka dituntut pasrah sepenuhnya kepada Tuhan,”…Dan kepada Allah hendaknya kamu sekalian bertawakal, kalau benar kamu adalah orang-orang yang beriman,” (Q 5:23).

Di sini menjadi jelas, bahwasanya tawakal itu sendiri adalah salah satu ciri orang beriman. Oleh karenanya, ketika tujuan tidak tercapai tidak ada beban atau merasa bahwa usaha sebelumnya sia-sia. Pada titik ini seharusnya keimanan kepada Tuhan semakin mantap, kalau sejatinya manusia tidak memiliki kuasa penuh menentukan akhir dari apa yang dijalani termasuk yang paling sederhana sekalipun; mengetahui di mana dan kapan dia meninggal (Q 6:31). Padahal, peristiwa ini sudah merupakan sesuatu yang pasti terjadi.

Baca juga:  Khatbah "Janggal" Ali bin Abi Thalib: Tanpa Huruf "Alif"

Niat, usaha, dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan ( tawakal) seraya mengimani kuasa mutlak Tuhan, adalah sikap yang seharusnya diterapkan oleh seorang Muslim. Sebenarnya, paham antroposentrisme dalam makna tertentu bisa dibawa nilainya ke dalam ” Usaha-usaha”. Tujuan semua itu, agar seseorang bisa totalitas memperjuangkan apa yang diyakini tanpa mengeliminasi hak tertinggi Tuhan berupa takdir, yang sejatinya bisa dibahasakan sebagai pintu terakhir dari niat dan usaha manusia. Dan yang paling penting, hidup akan menjadi bahagia walaupun tujuan masih belum tercapai. Antroposentrisme dengan batasan takdir akan mewujudkan apa yang disebut dalam pepatah Arab, ” Kebahagiaan laksana separuh dari kehidupan.” Sederhananya, berhasil tidak membuat bangga, gagal pun tak membawa kecewa.”

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019)

Drs. M. Tohir Rahman, Terjemah Hadits Arbain Annawawiyah (Surabaya: Al-hidayah)

Gambar pertama: karya Syed Aoun Abbas yang penulis akses dari Unsplash sebagai ilustrasi tulisan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top