Akhir-akhir ini sering kita mendengar istilah “Schadenfreude” yang berarti kesenangan atau kepuasan diri saat melihat orang lain jatuh atau gagal. Ia merupakan gabungan dari dua kata. Schaden artinya rusak atau hancur, sedangkan Freude artinya senang atau gembira. Jadi, ketika kita merasa senang melihat orang susah, atau susah melihat orang senang, maka kita semua sedang mengidap “Schadenfreude”.
Mental schadenfreude sepantasnya disandang oleh orang yang rendah-diri dan berjiwa picik. Ketika melihat orang lain jatuh atau gagal, dorongan harga dirinya naik dan rasa percaya-dirinya akan muncul. Sedangkan orang yang berjiwa besar, rasa empatinya akan mampu mengendalikan dirinya, sehingga dapat memahami bahwa persoalan menang dan kalah, sukses dan gagal, hanyalah soal waktu yang dipergilirkan.
Kata-kata yang digemari pada pengidap schadenfreude di era medsos ini dapat dibayangkan: “mampus”, “rasain lho”, “makan tuh”, “dasar penipu”, “syukurin lho”, “kena getahnya”, “mata duitan”, “gue bilang juga apa?”
Rasa percaya diri para pengidap schadenfreude akan terpacu dan terdongkrak, yang – tanpa mereka sadari – selama ini mereka merasa telah dilukai dan disakiti oleh kecantikan, ketampanan, kekayaan sebagai simbol identitas atau lambang kesuksesan orang yang dimusuhi dan dianggap sebagai rivalnya. Jadi, pengidap schadenfreude merasa terdongkrak harga dirinya, karena selama ini mereka berada di pihak yang kalah, karena tak mampu memoles citra diri, hingga merasa dirinya tak dianggap dan tak diperhitungkan di era milenial ini.
Pada prinsipnya, schadenfreude adalah emosi yang negatif, sepadan dengan kemarahan, kejengkelan, keangkuhan diri dan kesombongan. Tetapi, karena dalam kehidupan manusia ada unsur senang-sedih atau menang-kalah, maka dengan sendirinya ia bersifat sangat manusiawi. Bukankah seumumnya kita gembira kalau tim sepakbola atau bulutangkis yang kita gemari bisa menang. Sebaliknya, kita akan tertawa atau mengakak melihat sang lawan merasa sedih atau mengamuk membanting raket.
Dalam novel Perasaan Orang Banten (POB), nyaris di setiap halaman kita terpingkal dan terbahak-bahak menyaksikan orang-orang gagal atau kalah yang digambarkan oleh narasi penulisnya. Dari politisi gagal, artis gagal, seniman gagal, ustaz gagal, bahkan orang saleh yang gagal. Kita memaklumi ketika ada penulis opini (di harian lokal) yang menghujat pengarangnya sebagai penulis yang tak menghargai peradaban daerahnya. Tetapi, si penulis opini itu tentu belum paham, bahwa bukan di situ duduk persoalannya.
Pada ketajaman narasi dalam novel POB, memang digambarkan secara eksplisit, bahwa penyakit schadenfreude itu bersifat umum dan masif. Karenanya, tak jarang penulis yang menjuluki POB sebagai karya sastra mutakhir yang mampu menghadapi tantangan universalitas di era milenial ini. Tentu saja kita semua – diakui atau tidak – pernah mengalami emosi puas dan gembira ketika menyaksikan pihak lawan terpuruk atau terjengkang. Bahkan secara religius, senantiasa kita bersyukur melihat teman kita sakit, lantaran perasaan sakit itu tidak menimpa diri kita. Meskipun secara empatis, kita tidak menghendaki teman kita sakit.
Tetapi apapun kegagalan yang dialami pada tokoh penting dalam novel POB, tentu bukan bermaksud mensyukuri kegagalan dan kejatuhannya. Kita bisa memahami bagaimana ending novel tersebut, yang berusaha diciptakan keselarasan dan keseimbangan oleh penulisnya (melalui tokoh Kiai Muhaimin), bahwa masyarakat Indonesia harus segera bangkit dan menata diri. Seakan memberikan petuah dan solusi terbaik, meskipun gagal itu soal pilihan, tetapi kita pun masih juga diberikan pilihan lain agar terus maju dan membenahi diri (introspeksi diri).
Pada awalnya, pembaca seakan digiring untuk tertawa melihat ulah para tokohnya. Misalnya Taufik yang tertangkap polisi karena membobol kantor seorang pengusaha, Pak Majid yang gagal di dunia politik, Haji Mahmud yang gagal jadi ustaz di suatu pesantren, Poppy Ratnasari yang terjerat kasus narkoba, Haji Mahmud yang kalah dalam perjudian, maupun Bang Jali yang terpergok basah dihajar istrinya karena bercumbu mesra dengan seorang waria.
Gambaran schadenfreude dalam novel POB, seakan memperingatkan kita, bahwa fitrah manusia senantiasa menyukai kebaikan dan membenci keburukan. Dengan sendirinya, kita bisa merasakan senang ketika yang baik menang dan yang jahat kalah. Kita juga akan merasa gembira ketika mereka yang tertindas dibela, sementara para penindas mendapat hukuman yang setimpal.
Tentu saja POB bukanlah sejenis bacaan ringan yang menampilkan tokoh-tokoh heroik yang bersifat hitam-putih belaka. Ia bukanlah karya picisan yang hanya gemar menampilkan sosok jagoan dan penjahatnya, kebaikan melawan keburukan, pahlawan dan pecundang, akan tetapi suatu karya psikologis dan antropologis yang – menurut penulisnya – tak perlu buru-buru untuk memahaminya saat ini juga. Boleh jadi pembaca akan sanggup menangkap esensinya lima atau sepuluh tahun ke depan.
Novel POB bukanlah karya-karya genit dan ganjen yang gemar menampilkan kehidupan glamor di era milenial ini. Tipikal masyarakat Indonesia yang ditampilkan sebagaimana adanya. Mereka adalah orang-orang kalah yang kebanyakan tak mampu memoles citra diri. Mereka juga merasa tak tak dianggap dan tak diperhitungakan di era yang sarat kempetisi ini.
Meskipun cuma orang kampung Jombang yang yang norak, Poppy Ratnasari seakan tampil sebagai artis yang berlagak jadi orang kaya betulan. Dia seakan berhak atas segala kemakmuran yang dipertontonkan di tengah publik. Kita pun bisa menyaksikan di era medsos ini, bagaimana artis-artis kampung tengah disukai orang-orang berduit dan berpengaruh, seakan mereka memiliki segala modal sosial yang dicitrakan lewat berbagai artefak kemakmuran. Poppy seakan mampu menciptakan “vibe” sebagai orang berpunya. Dia berteman dengan artis-artis kaya dan terkenal dalam pergaulan malam yang sarat penipuan, hingar-ningar dan kecurangan.
Tokoh Poppy paralel dengan Sodik yang meninggalkan kampung Jombang, seakan membongkar jargon kosong kapitalisme tentang kemakmuran. Para kapitalis, dan kemudian disokong oleh industri budaya, biasanya mempromosikan kisah kerja keras dan pencapaian luar biasa dari individu-individu miskin yang memulai dari titik nol. Di sinilah penulis menampilkan sosok Sodik sebagai pekarja keras di perantauan. Berbeda dengan Tohir yang hanya penunggu masjid (marbot) yang kemudian mengalami baku-hantam dengan Yosef karena memperebutkan gadis pujaan hatinya (Jamilah).
Tokoh Sodik seakan mampu membuktikan bahwa kesuksesan bisa dicapai dengan kesungguhan dan kemampuan diri, bukan semata-mata romantisme omong kosong. Karena itu, dalam etos profesionalisme, belajar menguasai sesuatu secara sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran, adalah jalan terbaik untuk mencapai kesusksesan dan keberhasilan, ketimbang kita skeptis dan tergiur pada hal-hal yang bersifat instan belaka. (*)