Oleh: Munawir Aziz
Beberapa waktu kemarin, alhamdulillah bisa silaturahmi ke UIN Malang via online. Saya diminta mengisi sebuah kuliah untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman bagi mahasiswa baru UIN Malang. Ini silaturahmi yang kesekian, saking seringnya, ya via daring ke kampus ini. Beberapa pekan sebelumnya, ke kampus IAIN Kediri juga. Tapi tidak bisa menikmati kuliner kota itu tentu saja, karena diskusi berlangsung online menggunakan platform.
Pada agenda workshop di UIN Malang itu, situasi agak unik. Saya menyanggupi tema tentang integrasi sains, karena ada beberapa hal penting yang ingin saya sampaikan ke mahasiswa-mahasiswa UIN/PTKIN, juga teman-teman dosen dan pimpinan kampus. Ada kegelisahan intelektual yang saya rasakan, ketika melihat perkembangan ilmu-ilmu keislaman di Indonesia.
Beberapa tahun terakhir, ketika belajar di Inggris, saya mendapatkan kesempatan berharga untuk mengenali atmosfer akademik serta mengakses laboratorium pengetahuan yang demikian kaya di lintas kampus. Mudah ketemu dosen-dosen, juga bisa ketemu beberapa professor keren, via konferensi, kuliah umum, atau bahkan kalau beruntung–pas ngopi di kafe.
Nah, di antara yang menarik dalam perkembangan keilmuan di Inggris, yakni percepatan transformasi digital dan data, dalam proses dan skema pembelajaran. Data science tidak lagi menjadi satu mata kuliah tunggal, tapi justru melengkapi dan bahkan menjadi ‘backbone’ dari keilmuan lintas bidang. Pendekatakan multi dan interdisipliner menjadi dinamis.
Akademisi dilatih untuk mengenali dan kemudian akrab dengan penggunaan data, dari generate hingga analisi. Dan keilmuannya menembus batas, dari public policy hingga seni. Ini menjadi sangat menarik, karena keilmuan menjadi sangat dinamis dengan perkembangan teknologi komputasi, tren big data dan revolusi-revolusi teknonologi yang ada.
Data science menjadi fondasi untuk mentransformasi keilmuan-keilmuan lintas bidang. Maka, sejak awal, skills set untuk transformasi ini sudah berikan. Misal, fondasi coding skills, hingga analisis data menggunakan R, Phyton, dan sejenisnya. Ini tidak hanya bidang mathematik, atau statistik, tapi juga bidang politik, public health, bahkan musik. Sesuai yang menggairahkan, awesome!
Saya sendiri sebenarnya terpapar untuk belajar data science sejak hampir dua tahun terakhir. Saya beruntung dikelilingi orang-orang yang setiap hari bekerja sebagai data scientist. Teman-teman di PCINU United Kingdom juga sebagian bekerja di bidang data science, data engineering, juga data economics.
Istri saya juga sedang menyelesaikan project riset terkait mathematical modelling untuk supplay energi di Inggris. Ia tiap hari ngotak-atik Phyton beserta coding set untuk projeknya. Mumet, tapi saya yang dapat berkahnya: dapat luberan cerita tiap hari, tiap malam. Ini yang memancing saya mempelajari basis statistik, coding dan kemudian merefleksikan ke petualangan ilmu baru.
Terpapar informasi begini, saya terpancing untuk belajar. Saya memulai dari membereskan skill bidang statistik dan matematika dasar. Sebetulnya, agak sedikit trauma dengan statisik karena pernah gesekan dengan pengajar dulu pas kuliah. Beberapa tahun lalu belajar statistik (waktu itu program software SPSS) tapi modelnya dogmatik, tidak bisa diajak diskusi, hingga susah untuk mendapatkan penjelasan yang gamblang.
Akhirnya, ketemu kuliahnya Prof David Spiegelhalter, professor statistik dari Cambridge University. Buku terbarunya tentang statistik dan data (the Art of Statistics: how to learn form data) sangat asyik, juga kuliah-kuliahnya menghibur sekaligus bernas. Saya jadi yakin: materi statistik jika diajarkan orang yang tepat menjadi sangat asyik.
Lalu, setelah basic statistik rampung, bergeser ke coding skill. Ini memang butuh waktu panjang. Saya hampir tiap malam menghabiskan 1-2 jam untuk berlatih, setelah anak-anak tidur. Tidak ada waktu banyak, karena harus berbagi ngurus hal domestik dan merampungkan tugas-tugas lainnya
Intinya, saya jadi menikmati data science sebagai petualangan keilmuan. Belum menjadi expert, dan dalam proses, tapi setidaknya saya terus melangkah. Dan akhirnya, saya anggap ini sebagai skill. Sesuatu yang bisa dipelajari, asal ada komitmen, energi dan waktu. Kita bisa menyimak kuliah dasar di bidang ini dari Harvard University, kuliah-kuliah serial CS50 Bang David J Malan, yang sangat mempesona.
Naah, kembali ke bidang Social Science dan Islamic Studies. Saya kira, perlu ada lompatan untuk menghadirkan data science dalam bidang-bidang ini.
Saya ngecek kurikulum di beberapa kampus, data science sudah mulai diajarkan di kampus2 semisal ITS, ITB, UNAIR dan kampus-kampus lain. Tapi, jarang sekali di kampus-kampus PTKIN (UIN, IAIN, STAIN, dan kampus-kampus swasta bidang agama) memasukkan data science sebagai kuliah, atau bahkan fondasi riset.
Kelak, jikapun belum ada pendekatan data science di rumpun keilmuan PTKIN, dalam beberapa tahun ke depan, saya kira ini menjadi hal penting. Dan teman-teman bisa bersiap. Insya Allah, saya dan teman-teman PCINU lintas negara (dan terutama yang bergerak di bidang ini, siap membantu, siap ngobrol dan membahas utk mempertajam).
Kembali ke workshop di UIN Malang, saya bahas tentang al-Khawarizmi hingga sampai Alghorithm. Juga, bagaimana alghorithm, sekaligus computational thinking-nya, bagus untuk menguatkan fondasi logika. Di akhir sesi, saya kasih sedikit ‘game’, dari crawling data hingga analisis singkat. Hanya perlu 5-10 menit untuk data processing, dan kemudian bisa dianalisa, bahkan implikasi-implikasi untuk policy maker, jika bisa ditindaklanjuti. Saya ubah zoom meeting sebagai ‘laboratorium’. Hoopla!
Semoga kampus-kampus UIN/IAIN/STAI/PTAI bisa mentransformasi hal ini. Jadi, data atau bahkan bigdata, tidak hanya jargon, tapi memang benar-benar digunakan. Lebih lanjut, sangat menarik jika kuliah-kuliah bidang Islamic Studies di kampus-kampus ini menggunakan data science.
Berkah melimpah.