Kisah-kisah penerjemahan Alquran ke bahasa Ibrani menarik disimak, di tengah pasang surut dialog umat Yahudi dan Islam. Bagaimana lika-liku kisahnya?
Menerjemahkan Alquran, tentu saja menjadi proses penting dalam misi penyebaran Islam, membangun peradaban keagamaan kita. Nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci umat muslim, tersebar ke seluruh penjuru dunia, berkat kerja keras penerjemah. Penerjemahan juga punya peran transmisi: penyebaran nilai-nilai.
Terjemahan Alquran di beberapa bahasa Barat khususnya bahasa-bahasa Eropa, belum pernah terjadi hingga tahun 1143, beberapa abad setelah Nabi Muhammad menyampaikan risalah Islam. Kita mengenal Peter the Venerable (Peter of Monthboissier, 1092-1156), Abbot of Cluny/Abbaye de Cluny Prancis, yang menuntaskan penerjemahan Alquran pada versi Latin pada tahun itu, pertengahan abad XII. Sejarah peradaban umat manusia, mengabarkan kepada kita tentang tarikh-tarikh penting dalam proses penerjemahan.
Pada kisaran 1674, Andrew Du Ryer (1580-1660) menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Prancis, yang kemudian digunakan menjadi standar terjemahan ke beberapa bahasa-bahasa Eropa.
Alexander Ross menapaki jalan terjemah Alquran ke bahasa Inggris pada tahun 1649, meski mendapat serangan kritikan bertubi-tubi karena dianggap ngawur dan mengandung kesalahan fatal. Kerja penerjemahan ke bahasa Inggris ini disusul oleh George Sala (1743), John Rodwell (1861), dan Edward Henry Palmer (1880).
Proses penerjemahan ke bahasa Inggris kemudian berkembang semarak pada abad XX: Marmaduke Pickthall (1930), Abdullah Yusuf Ali (1934), Richard Bell (1937), Arthur John Arberry (1955) hingga NJ Dawood (1956). Karya-karya mereka melengkapi khazanah penerjemahan Alquran ke publik internasional.
Bagaimana Alquran dipahami dan diserap komunitas-komunitas penutur bahasa Ibrani?
Khazanah intelektual Yahudi mengenal Saadiah ben Yosef al-Fayyumi (Saadia Gaon, 882-942), yang menerjemahkan kitab suci Yahudi ke bahasa Arab. Karya Saadia Gaon ‘Tafsir’, yang berisi tentang sumber-sumber teks Ibrani dan syarah dalam bahasa Arab, telah dibaca secara luas pada komunitas Yahudi-Arab pada masanya, bahkan hingga kini.
Maha karya Saadia Gaon juga menjadi role model bagi dalam proses transmisi nilai-nilai Yahudi ke komunitas penutur bahasa Arab pada abad pertengahan (Eve Woogen, 2012).
Saadia Gaon punya peran mengenalkan teks Yahudi ke bahasa Arab. Selang waktu beberapa abad kemudian, seorang akademisi Israel menerjemahkan Alquran ke bahasa Ibrani. Ia bernama Yosef Yo’el Rivlin (1889-1971), ayahanda presiden Israel, Reuven Rivlin, yang bekerja keras mengantarkan Alquran ke penutur Ibrani.
“Untuk kami orang-orang Yahudi, Alquran memiliki nilai penting, yang menjadi satu bukti di antara semangat Semitik. Alquran penuh dengan nilai-nilai profetik yang mana merupakan keunikan dari anak-anak Shem, dan itu memiliki ritme dari komposisi awal kami. Semuanya berasal dari warisan Shem (םשֵׁ). Alquran menggaungkan hasrat monoteistik untuk keindahan dan kemahakuasaan Allah. … sekarang, ketika orang-orang Yahudi telah bangkit dan kembali ke Timur, untuk semangat dan kehidupan, sekarang waktu yang tepat untuk menerjemahkan Alquran ke bahasa Ibrani,” demikian tulis Yosef Yo’el Rivlin (Alquran, v). Dalam teologi Yahudi, Shem (םשֵׁ) merupakan keturunan Noah/Nuh, yang silsilahnya berlanjut hingga Nabi Ibrahim.
Yosef Yo’el Rivlin lahir di Jerusalem, pada tahun 1889. Ia merupakan keturunan keluarga terpandang dari jaringan Ashkenazi-Lithuania yang bermukim di Jerusalem sejak tahun 1840. Sejak kecil, Rivlin punya minat besar pada bidang kebudayaan dan religius, yang kemudian berdampak pada perkembangan hidupnya selanjutnya.
Memulai belajar di Lemel School, yang mengkaji kebudayaan Jerman modern, Rivlin mengawali membuka cakrawala pengetahuan.
Ia juga belajar tradisi ‘Etz-Chaim’ tentang Taurat dan Talmud, yang menjadi pondasi berpikirnya tentang nilai-nilai agama. Ia kemudian memulai petualangan untuk mengajar pada beberapa seminari lokal, di antaranya Hilfverein der Deutschen Juden. Minatnya yang besar pada pengetahuan, Rivlin juga tercatat pernah belajar di sekolah Islam Rawdat al-Ma’arif, yang didirikan di Jerusalem sejak tahun 1906.
Rivlin bertumbuh dalam lingkungan yang multikultur dengan multibahasa: Ibrani, Jerman, dan Arab Palestina. Ia mengenal karakter yang berbeda, saling belajar dari banyak budaya, hingga menyelami perbedaan-perbedaan watak manusia di lingkungan ia mengenal kehidupan. Endapan pengalaman inilah yang kemudian mengantarkan dirinya menjadi seorang yang mampu melintasi tradisi, menembus sekat-sekat perbedaan agama. Pada masa belia, Rivlin tumbuh dalam lingkungan yang berbahasa Yahudi, ‘old-Yishuv’.
Meski dipuji oleh beberapa akademisi karena kerja kerasnya menerjemahkan Alquran, karya Rivlin tidak lepas dari kritik. Ia dianggap menyodorkan karya dengan beberapa kesalahan fatal terkait ‘rasa bahasa’, hingga konspirasi ideologis di balik kerja intelektualnya. Faktor keterlibatan dalam misi zionis dan agenda-agenda politiknya turut mempengaruhi penilaian publik atas karya Rivlin.
Belakangan, Alquran diterjemahkan ke bahasa Ibrani oleh seorang muslim keturunan Arab-Israel: Subhi Ali Adawi. Ia telah mengajar Ibrani dan Arab selama lebih dari 40 tahun di sebuah sekolah di kawasan pemukiman Arab di Israel. Kini, Adawi menjadi seorang kepala sekolah di sebuah lembaga pendidikan menengah atas di kawasan Reineh.
Menurut Adawi, penerjemahan Alquranke dalam bahasa Ibrani selama ini memiliki kekurangan dalam beberapa aspek, di antaranya terkait ‘sense’, rasa bahasa, hingga ideologi di balik prosesnya.
Ia mengaku senang menjadi seorang muslim pertama yang menerjemahkan al-Qur’an ke bahasa Ibrani, khususnya untuk memberi alternatif versi Alquran yang selama ini menjadi rujukan orang-orang Yahudi berbahasa Ibrani.
“Penerjemahan Alquran tidak sekadar mengganti beberapa kata dengan kata lainnya, dengan kata yang setara pada bahasa targetnya (publiknya). Ini juga bermakna bahwa spirit dari bahasa itu bisa tersampaikan. Alquran memiliki kalimat-kalimat panjang, lekuk-lekuk bahasa, namun juga ide-ide yang terformulasi secara bagus. Ini merupakan kewajiban dari penerjemah untuk menjaga kohesifitas dari teks,” ungkap Adawi, sebagaimana dilansir Jerusalem Post (27/02/2016).
Lebih lanjut Adawi mengungkapkan pentingnya menerjemahkan Alquran hingga menjadi lentera bagi semua pemeluk agama, khususnya apa yang ia kerjakan dalam penerjemahan ke bahasa Ibrani.
Ia menargetkan agar komunitas Yahudi di Israel dan seluruh dunia, mampu menangkap pesan Alquran secara lebih tepat.
“Alquran itu hadiah terbaik untuk semua umat manusia. Di dalamnya, berisi tentang panduan untuk hidup yang lebih baik, yang dikombinasikan dengan kewajiban dan hukuman. Ada banyak bagian yang membahas tentang respek terhadap orang lain, juga ada pembahasan tentang nasihat kepada manusia untuk ‘pergi dan lihatlah’, untuk belajar dari peradaban atau tradisi orang lain. Lihatlah dari banyak penduduk, peradaban yang telah ada di sini,” Adawi berkisah.
Kerja penerjemahan tidak sekadar keinginan mengubah bahasa dan kata-kata.
Di balik penerjemahan, ada transmisi, penyebaran nilai-nilai. Juga, faktor ideologi dan konteks sosial-politik yang mempengaruhi resepsi atas karya-karya intelektual.
Pun juga, bagaimana Alquran diterjemahkan dalam bahasa Ibrani, yang diserap para pemeluk Yahudi. Kerja-kerja intelektual ini berperan penting untuk mendekatkan nilai-nilai, di tengah misi perdamaian konflik Israel-Palestina dan arus balik dialog Yahudi-Islam untuk masa mendatang. (atk)