Kesultanan Banten tercatat pernah memiliki mata uang asli yang sangat diperhitungkan para pedagang maupun pelancong asing. Sebagai kota besar di ujung barat pulau Jawa, Banten memiliki pelabuhan internasional Karangantu yang tak kalah penting daripada Malaka dan Sunda Kelapa Batavia. Secara otomatis mata uang Banten sangat bernilai sebagai alat bertransaksi di masa itu.
Sultan yang pertama kali mengadakan uang asli Banten adalah Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir Kenari (sultan ke-4 yang memimpin pada 1596-1651). Jenis mata uang logam asli Banten yang dikeluarkan bervariasi. Paling rendah disebut Picis, diatasnya lagi disebut Peku, dan Keti’. Deskripsi nilai mata uang asli Banten adalah 1 Keti’ sama dengan 100.000 Picis; 1 Peku sama dengan 200 Picis.
Picis Banten berbeda dengan Picis China yang dikeluarkan semenjak masa Raja China bernama Chuan Chou (abad ke-13). Sebab semenjak Malaka dikuasai VOC, dengan alasan khawatir terjadi inflasi di dalam negerinya, pemerintah China telah menarik mata uangnya dari peredaran pasar dunia. Sebagai gantinya dikeluarkan mata uang Chi’en.
Mata uang Chi’en asal China pertamakali masuk di Banten pada 1590. Sultan Abdul Mahasin sengaja membuat mata uang sendiri untuk menekan peredaran uang asing di pasaran. Di masa-masa awal kesultanan Banten, mata uang China yang disebut Chi’en yang paling banyak beredar, mengalahkan mata uang Arab, Turki dan Gujarat (real) dan Eropa (dollar).
Mata uang China mendominasi sebab banyak armada kapalnya yang berlabuh di pelabuhan Banten untuk memborong lada. Ada 4 kapal China yang kontinu singgah di Banten, di mana tiap kapalnya mampu mengangkut 300 ton lada. Di samping itu, menurut catatan J.P. Coen, ada 6 kapal yang melayani rute Tiongkok-Baten yang membawa orang dan barang dagangan senilai 300.000 Chi’en.
China menjadi mitra strategis kesultanan Banten dibandingkan bangsa lainnya. Hal ini sebagaimana digambarkan Roelofsz, bahwa China dengan armadanya mampu mengangkut 18.000 karung lada. Sementara Gujarat hanya 3.000 karung lada serta VOC tak lebih dari 9.000 karung. Bahkan pada tahun 1598 sudah ada 300 orang China yang menetap di Banten.
Kemungkinan besar sultan Banten membuat mata uang tersendiri agar dapat mengendalikan harga komoditasnya di pasar internasional, khususnya dari pengaruh China.
Sekalipun sultan tidak mewajibkan para pedagang bertransaksi dengan uang logam Banten. Hanya saja sultan Banten mewajibkan pembayaran biaya kepabean dan denda (pelanggaran administrasi maupun pidana) semuanya dengan mata uang asli Banten. Tak perduli apakah masyarakat lokal ataukah bangsa asing?!.
Hampir selama satu abad, mata uang Banten memiliki pengaruh besar. Hanya saja di masa sultan Banten ke-8, Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin (1690-1733) kesultanan Banten mengalami kemerosotan. Pengaruh VOC di Batavia sangat kuat, termasuk melambungkan nilai mata uang dollar.
Hal ini yang menyebabkan sultan Banten ke-8 ini memilih mengkonversikan mata uang asli Banten dengan mata uang Real yang digunakan pedagang Arab, Turki dan Gujarat. Semenjak itu nilai mata uang asli Banten anjlok dan tidak laku di pasaran. (RM)