Sedang Membaca
Ihwal Sarung: dari Mulai untuk Berdoa, Bergaya, hingga Bercinta
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Ihwal Sarung: dari Mulai untuk Berdoa, Bergaya, hingga Bercinta

Orang Indonesia, apapun suku dan agamanya, umumnya memiliki kain sarung. Sikap keterbukaan masyarakat Indonesia telah menjadikan sarung menjadi ciri pakaian orang yang “srawung” (bahasa Jawa yang artinya “gaul” atau “bergaul”).

Menisbatkan “sarung” dengan “srawung”” sangatlah logis sebab tak mudah menemukan jejak-jejak historis penggunaan istilah sarung untuk jenis pakaian tradisional. Dalam karya-karya sastra Nusantara, justru ditemukan pemakaian kata sarung erat hubungannya dengan kain penutup pada umumnya.

Misalnya dalam syair Hamzah Fansuri berikut ini:

“Hunuskan pedang, bakarkan sarung
Itsbatkan Allah nafikan patung”

Dalam Hikayat Dewa Mendu, cerita rakyat Natuna juga ada penyebutan kata sarung dalam pengertian satir atau hijab, seperti berikut ini:

“Asal binatang balik ke binatang
Adalah manusia terbuka sarung”

Begitu pula dalam Hikayat Maha Raja Gerebeg Jagat, kata sarung disebut dalam cerita “sarung jari Begawan Narada” yang identik dengan pembungkus.

Penggunaan istilah sarung untuk jenis pakaian yang dikenakan keseharian santri ditemukan dalam karya sastra awal abad XIX berjudul Hikayat Qadiroun. Karya sastra ini bercerita tentang orang Arab yang dianggap berperilaku aneh oleh masyarakat.

Baca juga:

Dia keliling kampung menawarkan sarung kepada masyarakat yang telah lama dilarang oleh lurahnya mengadakan pertunjukan kesenian rakyat, seperti wayang dan sebagainya.

Baca juga:  Islam di Banjar (1): Ritual, Makhluk Gaib hingga Tingkah Generasi Milenial

“Sarung cocok untuk orang dewasa dan anak-anak yang baru sunat,” teriak Qodiroun kepada warga kampung.

Pesan yang dapat ditangkap dalam cerita Qadiroun ini ialah sekalipun lurah di bawah tekanan kompeni melarang masyarakat bergerombol menonton pertunjukan, akan tetapi pergaulan sesama rakyat tak boleh redup. Caranya dengan membiasakan mengenakan sarung sebagai simbol masyarakat yang bergaul.

Bukti lain bahwa sarung merupakan pakaian estetis orang-orang yang bergaul didapati dari makna tersirat syair Sunan Kalijaga berjudul Cah Angon:

“Dodotiro dodotiro kumintir bedah ing pinggir
Dondomano Jrumatono kanggo sibo mengko sore”

Pengertiannya orang Jawa yang terbiasa memakai kain jarek supaya dijahit dan disambung menjadi kain sarung untuk pertemuan di waktu sore.

Dalam syairnya Sunan Kalijaga tidak menyebut sarung melainkan Dodot (pakaian) karena di masanya belum lahir istilah sarung. Hanya saja apa yang dikemukakan Sunan Kalijaga dapat ditandai sebagai cikal bakal kemunculan sarung. Tentu saja sarung bercorak batik yang lebih awal dikenakan para santri.

Sementara sarung bercorak tenun adalah hasil akulturasi antara kain Melayu dengan jenis pakaian Arab Yaman, yang disebut izar, wizar. Disebut demikian karena bahan dasarnya sama-sama dari kain yang sedikit kaku dan tebal. Sarung corak ini bukan dikenakan untuk keseharian melainkan dalam acara-acara maupun upacara tertentu.

Baca juga:  Masjid Keramat: Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Cara memakainya pun bukan untuk menutupi bagian tubuh antara pusar sampai mata kaki, tetapi lebih atas lagi. Masyarakat Melayu memakai sarung tenun untuk menutupi pinggang hingga paha sebagai alas celana. Sementara Arab Yaman umumnya memakai sarung hanya sampai betisnya yang luarannya masih dilapisi gamis.

Walaupun demikian, secara umum ada yang membedakan pemakaian sarung antara orang Indonesia dengan luar Indonesia. Perbedaan itu terletak pada cara menggulung bagian atas sarus atau biasa disebut bebedan. Bagi orang luar Indonesia bebedan tak dianggap penting, tapi bagi orang Indonesia bebedan menentukan penampilannya.

Semakin kecil dan ramping bebedan sarung orang Indonesia hal itu akan menambah kharisma pribadinya. Bahkan bahan dan corak sarung masih bisa dikalahkan oleh bentuk bebedan sarung seseorang. Makanya bebedan harus diperlihatkan agar dapat dipandang dan dicontoh orang lain. Itulah kekhasan mengenakan sarung orang Indonesia yang berbeda dengan bangsa lainnya sekalipun mereka memiliki pakaian izar, wizar sejenis sarung.

Di negara-negara lain bisa saja tukang becak mengenakan sarung dalam menjalani pekerjaannya, tapi di Indonesia sekalipun bersarung harus tetap modis dilihatnya. Oleh sebab itu orang yang menganggap kaum sarungan sebagai kampungan bisa jadi karena dia tak bisa memakai sarung dengan tampilan modis. Bagaimanapun juga kaum sarungan yang tampil modis pada dasarnya merupakan kelompok yang luas pergaulannya. Sarung multifungsi, untuk berdoa (salat), ronda, selimut, bahkan untuk menutupi tubuh saat bercinta (karena orang Pantur biasanya tidak punya selimut). Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top